Sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Pandu Sagara
1 Juni 2025 09.35 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Jika ekonomi Pancasila dapat dipahami sebagai sistem ekonomi yang menempatkan manusia, bukan keuntungan atau modal, sebagai pusat perhatian kegiatan ekonomi, maka tentu saja usaha mencapai keadilan sosial akan sangat dimungkinkan. Masalahnya jika pengertian ekonomi tidak demikian itu.
Bagi kita ekonomi seharusnya adalah refleksi dari cara manusia mengelola kehidupan, sumber daya, dan hubungan sosial dalam suatu ruang hidup yang nyata. Dalam konteks kita sebagai bangsa, pendekatan ekonomi yang hanya meniru model kapitalisme liberal atau sosialisme sentralistik terbukti tidak memadai untuk menjawab kebutuhan rakyat dan kompleksitas ekosistem sosial yang ada.
Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sistem ekonomi yang tidak hanya efisien dan produktif, tetapi juga adil, manusiawi, dan sesuai dengan kepribadian bangsa. Di sinilah relevansi Ekonomi Pancasila sebagai sistem yang berpijak pada realitas sosio-ekologis dan nilai-nilai dasar bangsa menjadi sangat penting.
Ekonomi Pancasila perlu dipahami sebagai hal yang tidak berangkat dari abstraksi teoritis belaka, tetapi dari kenyataan konkret masyarakat, yang hidup dalam keberagaman budaya, keterikatan dengan alam, serta tradisi gotong royong yang kuat. Sistem ini menawarkan jalan tengah yang menolak ekstrimisme ideologi pasar bebas maupun negara totaliter.
Suatu sistem ekonomi yang mengedepankan demokrasi ekonomi, yaitu partisipasi aktif rakyat dalam kegiatan ekonomi, dan menempatkan koperasi serta usaha rakyat sebagai tulang punggungnya. Dalam hal ini, pertumbuhan bukanlah tujuan utama, melainkan sarana untuk mencapai kesejahteraan yang merata dan berkeadilan.
Ciri khas utama dari sistem ini adalah keberpihakannya pada keadilan sosial. Distribusi kekayaan dan akses terhadap sumber daya harus diatur sedemikian rupa agar tidak terjadi ketimpangan struktural yang merusak tatanan sosial. Oleh sebab itu, negara memiliki peran strategis, bukan sebagai pelaku tunggal ekonomi, tetapi sebagai penjaga keadilan, fasilitator, dan pelindung kepentingan rakyat, khususnya kelompok rentan. Fungsi ini tidak bisa digantikan oleh mekanisme yang cenderung berpihak pada yang kuat dan bermodal besar.
Dalam kerangka ini, ekonomi tidak bisa dilepaskan dari konteks ekologis. Tanah, air, hutan, dan udara bukan sekadar input produksi, melainkan bagian dari kehidupan itu sendiri. Oleh karena itu, pendekatan pembangunan harus mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem dan menjaga harmoni antara manusia dan alam.
Ekonomi yang mengejar pertumbuhan tanpa batas justru akan merusak fondasi tempat ekonomi itu berlangsung. Maka, orientasi ekonomi yang berwatak sosio-ekologis bukan hanya sebuah pilihan moral, tetapi kebutuhan strategis untuk menjaga keberlangsungan kehidupan bangsa.