sumber ilustrasi: freepik
Oleh: Pandu Sagara
6 Mei 2025 14.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Pada triwulan pertama tahun 2025, Indonesia memasuki masa yang penuh dengan tanda tanya besar terhadap arah perekonomiannya. Data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi nasional hanya mencapai 4,87 persen secara tahunan (year-on-year), lebih rendah dibandingkan dengan 5,03 persen pada kuartal sebelumnya dan 5,11 persen pada periode yang sama tahun lalu.
Angka-angka ini bukan sekadar statistik yang menggantung di udara, tetapi menandai perlambatan yang nyata dalam denyut ekonomi nasional, terutama pada titik-titik vital seperti konsumsi rumah tangga dan penyaluran kredit konsumsi. Seiring dengan itu, pengangguran justru mengalami kenaikan menjadi 7,28 juta orang.
Dua gejala ini, yakni perlambatan ekonomi dan kenaikan pengangguran, bagi para ahli ekonomi, tentu dipandang bukan suatu kebetulan yang berdiri sendiri. Keduanya saling terikat dalam simpul krisis yang menuntut perhatian lebih dari para perancang kebijakan dan pelaku ekonomi.
Salah satu penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia selama ini adalah konsumsi rumah tangga. Dalam struktur Produk Domestik Bruto (PDB), konsumsi rumah tangga menyumbang sekitar 54,53 persen. Namun, pada triwulan I-2025, sektor ini hanya tumbuh sebesar 4,89 persen. Ini adalah penurunan dari 4,98 persen pada triwulan sebelumnya, dan dari 4,91 persen pada triwulan I-2024. Padahal, triwulan pertama tahun ini mencakup bulan Ramadan—periode yang secara historis meningkatkan konsumsi. Artinya, daya beli masyarakat sedang melemah, atau setidaknya terkekang oleh ketidakpastian dan ketegangan ekonomi.
Kelemahan daya beli ini tercermin pula dalam penurunan penyaluran kredit konsumsi oleh perbankan. Kredit konsumsi, termasuk Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dan Kredit Kendaraan Bermotor, adalah indikator penting dari optimisme masyarakat terhadap masa depan finansial mereka. Dalam kondisi normal, ketika ekonomi tumbuh dan pendapatan cenderung stabil, masyarakat lebih percaya diri untuk mengambil utang konsumsi jangka panjang. Namun, dalam situasi saat ini, lembaga perbankan justru mencatat perlambatan signifikan dalam sektor kredit konsumsi. Ini bukan hanya cerminan kehati-hatian perbankan, tetapi juga sinyal bahwa masyarakat menahan diri dari belanja besar akibat rasa tidak aman terhadap kondisi ekonomi ke depan.
Kondisi ini makin diperparah oleh kenyataan bahwa jumlah pengangguran di Indonesia meningkat. Menurut BPS, hingga Februari 2025, jumlah penganggur mencapai 7,28 juta orang, meningkat sekitar 83 ribu orang dibandingkan dengan Februari 2024. Angka ini mengkhawatirkan karena mencerminkan dua gejala sekaligus: meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan belum optimalnya penciptaan lapangan kerja baru. Terlebih lagi, komposisi pengangguran didominasi oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (SMA) dan kelompok usia muda—segmen yang justru seharusnya menjadi kekuatan utama dalam menghadapi bonus demografi Indonesia.
Dalam situasi ini, tanggapan otoritas ekonomi dan politik, dapat dikatakan sebagai tanda positif adanya kesadaran, meski masih berada pada tahap awal respons. Menteri Ketenagakerjaan menyatakan akan berkoordinasi dengan BPS untuk mendalami data pengangguran tersebut, serta sedang menyelesaikan pembentukan satuan tugas pemutusan hubungan kerja (Satgas PHK) yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Sementara itu, Komisi IX DPR RI menyoroti pentingnya revitalisasi pelatihan kerja serta penyesuaian antara dunia pendidikan dan kebutuhan industri. Isu mismatch atau ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dengan permintaan pasar kerja kembali muncul sebagai problem struktural yang tak kunjung terselesaikan.
Keterkaitan antara perlambatan ekonomi dan pengangguran bukanlah hubungan linear yang sederhana, tetapi merupakan hubungan timbal balik yang saling memperparah. Melemahnya pertumbuhan ekonomi menyebabkan pelaku usaha menahan ekspansi, bahkan melakukan pengurangan tenaga kerja. Akibatnya, tingkat pengangguran meningkat. Di sisi lain, peningkatan pengangguran berarti berkurangnya pendapatan rumah tangga, yang akan menurunkan konsumsi dan permintaan barang dan jasa. Hal ini pada gilirannya kembali menekan pertumbuhan ekonomi. Dalam ekonomi makro, keadaan ini dapat dikatakan sebagai ini “lingkaran setan” yang apabila tidak segera diputus akan menjerumuskan perekonomian ke dalam stagnasi berkepanjangan.
Karena itu, mengandalkan stimulus konsumsi semata tidaklah cukup. Pemerintah harus mengambil langkah-langkah menyeluruh dan progresif. Pertama, kebijakan ketenagakerjaan harus diarahkan pada penciptaan pekerjaan yang bersifat padat karya, terutama di sektor-sektor yang menyerap tenaga kerja muda dan lulusan menengah. Kedua, investasi pada pendidikan vokasional dan pelatihan kerja yang relevan dengan industri masa depan harus segera digiatkan. Ketiga, akses kredit bagi usaha mikro dan kecil (UMKM) perlu ditingkatkan, karena sektor inilah yang secara historis menjadi penyerap tenaga kerja terbesar dalam masa-masa krisis.
Lebih dalam lagi, perlu ada refleksi struktural atas arah pembangunan ekonomi Indonesia. Apakah kita masih terus bergantung pada konsumsi domestik tanpa memperkuat sektor produksi? Apakah dunia kerja Indonesia cukup lentur untuk menampung perubahan industri digital dan transisi hijau? Apakah kebijakan fiskal dan moneter kita telah dalam orkestrasi yang baik untuk merespons krisis yang sifatnya kompleks dan multidimensi?
Bagi publik luas, ekonomi yang melambat dan tenaga kerja yang semakin rentan, merupakan kondisi yang tidak sehat. Ada potensi krisis. Pengalaman yang lalu, memberitahu kita bahwa krisis tidak datang secara tiba-tiba, dan karena itu tidak dapat diatasi dengan langkah instan. Barangkali ini waktu yang tepat untuk memeriksa kembali pembangunan nasional: dari sekadar pertumbuhan angka, menjadi pembangunan yang bertumpu pada keadilan sosial, kemandirian ekonomi, dan ketahanan kerja. Jika tidak, angka-angka yang kita baca hari ini hanyalah permulaan dari krisis yang lebih dalam.