Sumber ilustrasi: Pixabay
2 Juli 2025 07.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [02.07.2025] Kabar ekonomi Indonesia terbaru. Ekspor Indonesia melonjak tajam pada Mei 2025 di tengah bayang-bayang pemberlakuan tarif tinggi oleh Amerika Serikat. Sementara itu, inflasi domestik tetap berada dalam kisaran yang aman, memberi sinyal positif bagi kebijakan moneter ke depan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan ekspor sebesar 9,68% secara tahunan (year-on-year) pada Mei, jauh melampaui ekspektasi pasar yang hanya memproyeksikan kenaikan 0,40%. Peningkatan ekspor ini didorong terutama oleh permintaan kuat atas produk minyak sawit dan baja.
Di sisi lain, impor juga tumbuh 4,14% pada periode yang sama mencerminkan permintaan dalam negeri yang meningkat terhadap barang konsumsi dan barang modal. Kombinasi tersebut membuat neraca perdagangan Indonesia mencatat surplus sebesar 4,3 miliar dolar AS pada Mei, melonjak dari posisi April yang hanya mencatatkan surplus sekitar 160 juta dolar AS yang merupakan angka terendah dalam lima tahun terakhir.
Kondisi ini terjadi menjelang tenggat 9 Juli 2025 yang merupakan batas waktu yang ditetapkan untuk negosiasi tarif antara Indonesia dan pemerintah Amerika Serikat. Pemerintahan AS di bawah Presiden Donald Trump mengancam akan memberlakukan tarif timbal balik hingga 32% terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Menurut Shahifa Assajjadiyyah, ekonom Bank Mandiri, lonjakan ekspor pada Mei didorong oleh strategi frontloading dari para eksportir yang ingin menghindari potensi beban tarif baru serta menambahkan bahwa terdapat efek antisipasi terhadap pemberlakuan tarif dari Trump, jadi tampaknya para eksportir mempercepat pengiriman barang.
Bersamaan dengan laporan perdagangan, BPS juga merilis data inflasi bulan Juni yang tercatat sebesar 1,87% secara tahunan. Angka ini sedikit lebih tinggi dari perkiraan, namun masih dalam target Bank Indonesia (BI) yaitu 1,5% hingga 3,5%.
Inflasi yang relatif moderat tersebut membuka ruang bagi BI untuk kembali memangkas suku bunga acuan guna mendukung aktivitas ekonomi domestik. Bank Indonesia sendiri sempat menahan pelonggaran suku bunga pada tinjauan kebijakan bulan lalu, namun memberi sinyal bahwa peluang untuk pemangkasan tetap terbuka.
Ekonom Maybank Indonesia, Myrdal Gunarto, menyebut kombinasi dari inflasi yang terkendali, surplus neraca perdagangan yang kuat, dan kestabilan nilai tukar rupiah memberi landasan kuat bagi BI untuk melanjutkan kebijakan stimulus moneter.
Pemerintah Indonesia pun tengah berupaya melonggarkan berbagai aturan impor serta menyederhanakan prosedur bagi barang-barang dan bahan baku tertentu, sebagai respons terhadap tekanan eksternal. Langkah ini dilakukan untuk menjaga daya saing dan mempermudah kegiatan usaha dalam negeri.
Secara keseluruhan data terbaru ini menunjukkan ketahanan ekonomi Indonesia di tengah ketidakpastian global. Lonjakan ekspor sebelum tenggat tarif AS mencerminkan kemampuan pelaku usaha nasional dalam merespons risiko global secara cepat dan strategis.
Akan tetapi ketergantungan terhadap komoditas ekspor utama seperti minyak sawit dan baja masih menjadi tantangan struktural. Diversifikasi produk ekspor dan penguatan industri hilir akan menjadi kunci untuk meningkatkan ketahanan jangka panjang.
Dengan inflasi yang terkendali dan neraca dagang yang kembali surplus besar, Bank Indonesia memiliki fleksibilitas lebih besar untuk melanjutkan kebijakan akomodatif. Langkah-langkah strategis dari pemerintah dalam merespons tekanan eksternal juga akan sangat menentukan arah ekonomi nasional dalam beberapa bulan ke depan. (NJD)
Diolah dari artikel:
“Indonesia exports surge ahead of tariff talk deadline, inflation subdued” oleh Stefanno Sulaiman dan Fransiska Nangoy