Enak

Sumber ilustrasi: freepik

12 Mei 2025 14.55 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Bagi mereka yang gemar kuliner, atau sering menonton video yang menyajikan semacam wisata kuliner, maka akan sering mendengar kata “enak”, yang diucapkan. Hal yang menarik adalah bahwa kata tersebut digunakan pada banyak peristiwa. Atau, dapat dikatakan bahwa “enak” tidak spesifik pada satu jenis pengalaman, tetapi bisa muncul saat:

  1. lidah menerima rasa yang lezat (makan durian, kue, soto, dll – enak),
  2. tubuh merasa lega dan santai (tidur siang – enak),
  3. jiwa merasa ringan dan bebas (jalan-jalan – enak),
  4. saat mendengar musik, menyentuh sesuatu yang lembut, berada dalam situasi sosial yang hangat (semuanya disebut: enak).

Jadi secara fenomenologis, “enak” adalah pengalaman keberlangsungan tubuh dan jiwa dalam keadaan harmonis dengan keadaan sekitarnya. Tidak ada ketegangan yang mengganggu. Tidak ada konflik dalam pencernaan rasa, posisi tubuh, atau suasana batin. Dari semua ini, nampaknya, perkataan enak bukan deskripsi obyektif, melainkan ekspresi dari kualitas pengalaman subjektif yang menyenangkan. Maka kata ini lintas indra, lintas konteks, bahkan bisa melampaui penjelasan rasional. Karena itu pula, “enak” kadang dipakai bahkan tanpa tahu persis apa yang enak itu—cukup dengan rasa puas: “pokoknya enak.”

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kata “enak” memperlihatkan keberadaan suatu jenis pengetahuan yang unik, yaitu pengetahuan berbasis pengalaman langsung, yang tidak sepenuhnya dapat direduksi atau dijelaskan oleh bahasa konseptual atau deskriptif. Ada yang mengatakan bahwa inilah pengetahuan implisit, atau dalam istilah Michael Polanyi: tacit knowledge. Dalam hal ini, kita tahu apa itu enak, tapi kita tidak selalu bisa mengatakan mengapa atau bagaimana sesuatu itu enak.

Beberapa hal dapat diangkat untuk menunjukkan keunikannya:

  1. Bersifat pra-reflektif. Pengetahuan “enak” muncul sebelum refleksi atau kategorisasi. Kita mengalami “enak” sebelum kita mengidentifikasinya sebagai rasa manis, gurih, atau suasana nyaman. Artinya, “enak” adalah bentuk kesadaran “tertatam”, yakni pengetahuan yang hidup dalam tubuh, bukan dalam pikiran konseptual.
  2. Tidak bisa dijelaskan tuntas. Meski kita bisa mencoba menjelaskan mengapa suatu makanan enak, karena gurih, manis, atau teksturnya lembut, penjelasan itu tak pernah menangkap penuh pengalaman “enak”-nya. Dua orang bisa makan makanan yang sama, satu bilang enak, satu lagi tidak. Maka “enak” bukan kualitas obyektif, melainkan kualitas relasional dan kontekstual.
  3. Bersifat afektif dan situasional. Pengalaman “enak” tidak hanya soal rasa atau suhu, tetapi juga suasana batin, konteks sosial, bahkan waktu. Soto yang enak saat hujan bisa jadi tidak enak saat terik. Maka “enak” adalah hasil resonansi antara tubuh dan dunia—bukan hanya data sensorik, tapi cara tubuh menjadi satu dengan keadaannya.
  4. Mengandung unsur keutuhan pengalaman. “Enak” tidak menunjuk bagian-bagian dari pengalaman, tapi pada keseluruhan yang tidak terpecah. Suatu totalitas rasa, suasana, ingatan, bahkan kedekatan emosional. Boleh dikatakan lebih dekat pada pengalaman estetis atau eksistensial daripada sekadar evaluasi.

Dengan demikian, enak bukan hanya kata, tapi jejak dari suatu cara mengetahui yang tak bisa diartikulasikan seluruhnya. Suatu bentuk pengetahuan yang hidup dalam pengalaman, bukan dalam pernyataan. Karena itu, mungkin tidak bisa diajarkan sebagaimana pengetahuan biasa, tetapi hanya bisa dialami.

****

Bagi kita yang masih punya rasa penasaran: mengapa kita tidak mampu mengungkapkan pengalaman yang kaya, dan malah mengungkapkan hal yang berbeda-beda dengan satu pernyataan yang sama, yakni: enak. Apa yang sebenarnya yang tengah terjadi? Kita dapat melanjutkan refleksi pada beberapa bagian berikut ini.

  • Pertama, barangkali kita akan mengatakan bahwa bahasa selalu datang terlambat. Bahasa bekerja dengan konsep, kategori, dan struktur yang dibentuk sesudah pengalaman terjadi. Sementara itu, pengalaman seperti “enak” muncul dalam waktu nyata, dalam momen sekarang yang utuh dan tak terbagi. Ketika kita mencoba mengungkapkan “enak”, kita sudah mulai mengganggu keutuhannya, dengan memilah-milah: apakah karena asin, manis, hangat, tenang, atau lainnya. Tapi upaya itu justru menjauhkan kita dari sumber rasa itu sendiri. Maka ada bentuk pengetahuan yang lebih awal dari bahasa, lebih dalam dari artikulasi: yakni pengalaman tubuh yang hidup.
  • Kedua, sebagian kita, sebagaimana telah dikatakan di atas, akan mengatakan adanya pengetahuan sebagai suatu kehadiran, dan bukan representasi. Dalam banyak tradisi pemikiran, pengetahuan dipahami sebagai representasi: sebuah cermin dari dunia dalam pikiran. Namun pengalaman “enak” tidak mewakili sesuatu, tetapi menghadirkan sesuatu. Kita tidak mengetahui “enak” sebagai sesuatu di luar kita, tetapi kita adalah pengalaman itu saat itu juga. Di sinilah kita temui pengetahuan sebagai bentuk “kehadiran yang mendalam”. Kita tidak tahu tentang enak, melainkan kita menjadi (merasa) enak. Hal ini menegaskan bahwa ada bentuk “tahu” yang bukan “tahu tentang”, tapi “tahu dengan” atau “tahu sebagai”.
  • Ketiga, adanya sesuatu yang dinyatakan sebagai: yang tak terkatakan bukan berarti tak diketahui. Ada kecenderungan dalam epistemologi klasik untuk menganggap bahwa apa yang tidak bisa dikatakan atau dijelaskan adalah belum diketahui. Namun pengalaman “enak” membalikkan anggapan itu. Enak seperti sedang menunjukkan bahwa yang paling mendasar dan pasti justru yang tidak bisa diucapkan. Kita tidak ragu bahwa tidur siang yang nyenyak itu enak. Kita tahu itu, bahkan dengan yakin. Akan tetapi ketika diminta menjelaskan mengapa, kita sering kesulitan. Maka “pengetahuan” bukan hanya soal artikulasi, tetapi juga soal penghayatan langsung. Yang tak terkatakan tidak berarti kabur; justru bisa jadi paling nyata.
  • Keempat, pentingnya menyadari bahwa tubuh merupakan sebagai “sumber pengetahuan”. Dalam pengalaman “enak”, tubuh bukan hanya objek yang merasakan, tetapi juga subjek epistemik. Tubuh tahu, tubuh mengenali, tubuh memberi sinyal bahwa sesuatu itu menyenangkan, pas, lega. Ini adalah bentuk pengetahuan pra-reflektif, yang tidak perlu disadari secara mental untuk menjadi sahih. Maka kita perlu mengakui bahwa ada dimensi pengetahuan yang hidup dalam tubuh, tidak bisa dimediasi oleh logika simbolik, namun tetap mendalam dan bisa diandalkan.
  • Kelima, lebih dari itu semua, enak sangat mungkin muncul sebagai simpul dari sejarah, konteks, dan keintiman. Kadang-kadang sesuatu terasa “enak” bukan hanya karena kualitas inderawi saat itu, tapi karena jejak pengalaman sebelumnya. Makan nasi goreng buatan ibu bisa terasa lebih enak bukan karena teknik masaknya sempurna, tetapi karena mampu membawa keintiman, kehangatan, atau rasa aman. Maka “enak” bisa menjadi simpul dari waktu, kenangan, dan konteks yang tak selalu bisa diurai. Ini bentuk pengetahuan yang tidak individualistik, melainkan inter-subjektif dan historis.

Dengan semua ini, kita mengerti bahwa “enak” nampaknya bukan sekadar kata biasa, tapi dapat menjadi pintu masuk untuk memahami bahwa pengetahuan tak selalu dapat dikatakan, namun tetap dapat dialami, dibagikan, dan dihayati. Kita mungkin tidak bisa menyusun teori tentang “enak”, tapi kita tahu persis kapan kita mengalaminya, dan itu sudah cukup menjadi pengetahuan. Jadi, apakah telah bisa dimengerti, mengapa enak tanpa terasa digunakan dalam banyak peristiwa yang berbeda-beda? [Desanomia – 12.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *