Euro Menguat Sembilan Hari Berturut

Sumber ilustrasi: Unsplash

1 Juli 2025 15.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [01.07.2025] Euro menunjukkan penguatan luar biasa terhadap dolar Amerika Serikat (AS), mencatat kenaikan selama sembilan hari berturut-turut hingga akhir Juni 2025. Ini adalah rekor langka yang baru tercapai tiga kali sejak euro diperkenalkan pada 1999. Tren ini mengindikasikan pergeseran sentimen pasar yang kian meninggalkan ketergantungan terhadap mata uang dolar AS.

Kondisi ini terjadi di tengah ketidakpastian ekonomi yang semakin meningkat di Amerika, dipicu oleh kebijakan fiskal Presiden Donald Trump yang agresif namun tidak konsisten. Rencana “One Big Beautiful Bill” yang mencakup pemangkasan pajak dan peningkatan belanja negara masih belum jelas arah penyelesaiannya di Senat. Para investor mulai mempertanyakan keberlanjutan kebijakan AS dan mulai mencari alternatif yang lebih stabil.

Di sisi lain, indeks saham AS seperti S&P 500 tetap mencatat rekor baru, tetapi capaian itu terlihat jauh lebih rendah jika dihitung dalam euro atau mata uang lainnya. Di sinilah kepercayaan terhadap nilai dolar mulai tergerus. Dalam lanskap investasi global yang sedang berubah, euro dan aset Eropa kini diposisikan sebagai alternatif yang lebih aman dan menjanjikan.

Sinyal pergeseran kekuatan ekonomi terlihat jelas. Sepanjang 2025, euro telah menguat hampir 14% terhadap dolar. Namun terhadap mata uang lainnya, seperti pound Inggris, yen Jepang, dan franc Swiss, penguatannya lebih terbatas. Hal ini menandakan bahwa kejatuhan nilai dolar menjadi pemicu utama ketertarikan terhadap euro, bukan karena kekuatan fundamental euro itu sendiri.

Sentimen negatif terhadap AS juga tampak dari keputusan mendadak Kanada yang membatalkan rencana pajak digital terhadap raksasa teknologi AS demi melanjutkan negosiasi dagang. Sementara itu, Inggris mengumumkan kesepakatan dagang baru dengan AS telah berlaku, menurunkan sejumlah tarif impor. Namun kebijakan Trump yang agresif dalam tarif, dengan ancaman mengenakan 50% tarif terhadap seluruh barang Uni Eropa jika tidak ada kesepakatan sebelum 9 Juli, kian menambah ketidakpastian pasar.

Eropa justru memanfaatkan momentum ini untuk menegaskan kemandirian ekonominya. Pemerintah-pemerintah Uni Eropa, dipimpin oleh Jerman, telah berkomitmen untuk mengucurkan dana hingga €1 triliun untuk infrastruktur dan pertahanan, menandai pergeseran dari ketergantungan terhadap AS dalam hal keamanan dan stimulus fiskal.

Christine Lagarde, Presiden Bank Sentral Eropa (ECB), menyatakan bahwa inilah “momen milik euro.” Dirinya menyebut investor kini benar-benar melihat Eropa sebagai destinasi bernilai, seiring dengan semakin kuatnya arus modal ke bursa saham Eropa.

Data dari LSEG Lipper Funds menunjukkan lebih dari $100 miliar dana investor telah mengalir ke pasar saham Eropa hingga pertengahan 2025, naik tiga kali lipat dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Sementara itu, pasar AS mengalami arus keluar sebesar hampir $87 miliar, menunjukkan pergeseran signifikan dalam peta alokasi modal global.

Meskipun ketidakpastian ekonomi melanda,data ketenagakerjaan AS belum sepenuhnya mencerminkan perlambatan. Laporan non-farm payrolls untuk Mei menunjukkan pertambahan 139.000 pekerjaan, dan proyeksi untuk Juni memperkirakan kenaikan 129.000 yang masih di bawah batas 200.000 namun belum cukup untuk membunyikan alarm resesi.

Namun demikian, sinyal perlambatan mulai terlihat dari rendahnya angka perekrutan baru dan meningkatnya kehati-hatian perusahaan dalam ekspansi. Dalam jangka pendek, dampak tarif Trump terhadap rantai pasok, inflasi, dan daya beli masyarakat bisa memperburuk tekanan tersebut.

Sejumlah indikator lain mulai mencerminkan dampak negatif dari kebijakan fiskal ekspansif AS yang berisiko menambah defisit. Pengurangan tunjangan sosial dan pemutusan hubungan kerja di sektor pemerintahan menjadi potensi bom waktu yang dapat memperlambat ekonomi domestik.

Agenda kebijakan moneter turut menjadi sorotan, dengan pidato penting Ketua The Fed Jerome Powell di Forum Bank Sentral Eropa di Portugal. Isu utama yang akan dibahas adalah masa depan sistem keuangan global berbasis dolar, dan apakah peran itu bisa mulai digantikan oleh euro atau mata uang lainnya.

Tren penguatan euro bukan hanya soal dinamika valuta asing, melainkan simbol dari perubahan besar dalam arsitektur ekonomi global. Ketika AS terlihat goyah akibat kebijakan fiskal populis dan proteksionis, Eropa justru tampil lebih rasional dan terkoordinasi, menjadi pusat baru bagi aliran modal internasional.

Meski belum berarti dominasi dolar akan segera berakhir, tanda-tanda pelemahan kepercayaan terhadap AS sangat nyata. Ketika euro menjadi alternatif investasi yang lebih menarik, maka tekanan terhadap dolar akan semakin besar, terutama jika situasi politik AS semakin tak menentu menjelang pemilu berikutnya.

Tren ini membawa konsekuensi besar. Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, perlu lebih waspada terhadap fluktuasi nilai tukar dan arah arus investasi global. Diversifikasi cadangan devisa dan orientasi investasi ke kawasan Eropa bisa menjadi strategi untuk mengantisipasi ketidakstabilan AS. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dunia bisa saja memasuki era multipolar dalam sistem keuangan global, di mana euro, yuan, dan bahkan aset digital akan mulai berbagi panggung dengan dolar.

Diolah dari artikel:
“Morning Bid: The euro’s big beautiful moment ” oleh Amanda Cooper

Link: https://www.reuters.com/business/finance/global-markets-view-usa-2025-06-30/

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *