Sumber ilustrasi: pixabay
16 Mei 2025 09.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [16.5.2025] Meski suhu global terus meningkat dan perubahan iklim semakin terasa dampaknya, data dari satelit NASA menunjukkan bahwa Antartika justru mengalami penambahan es selama beberapa tahun terakhir. Temuan ini terungkap dalam sebuah studi yang dilakukan oleh para peneliti dari Universitas Tongji, Shanghai, berdasarkan pemantauan lapisan es Antartika selama lebih dari dua dekade.
Meskipun tren jangka panjang menunjukkan kehilangan es yang signifikan, antara tahun 2021 hingga 2023 terjadi penambahan massa es yang cukup besar. Para peneliti mencatat bahwa fenomena ini bukan berarti perubahan iklim global telah berbalik arah. Penambahan ini lebih menyerupai gangguan sementara dalam tren jangka panjang yang konsisten menurun.
Ilustrasi tren ini dapat digambarkan seperti lintasan ski panjang yang menurun dengan sedikit tanjakan di ujungnya. Grafik data massa es Antartika mencerminkan hal tersebut. Penambahan es yang tercatat baru-baru ini masih jauh dari cukup untuk mengimbangi kerugian besar selama hampir dua dekade sebelumnya.
Sebagian besar peningkatan massa es ini disebabkan oleh peningkatan curah hujan dalam bentuk salju dan sedikit hujan yang jatuh di wilayah Antartika. Curah hujan yang lebih tinggi ini menghasilkan pembentukan es baru. Namun, para ilmuwan mencatat bahwa tingkat penambahan ini telah melambat sejak awal 2024. Data terbaru NASA hingga awal 2025 menunjukkan tingkat massa es yang serupa dengan tahun 2020, sebelum lonjakan terjadi.
Lapisan es Antartika sendiri merupakan massa es terbesar di Bumi, bahkan lebih besar dari seluruh wilayah Amerika Serikat. Menurut Koalisi Antartika dan Samudra Selatan, lapisan es ini menyimpan sekitar 90 persen cadangan air tawar dunia. Antartika juga dikelilingi oleh es laut yang terbentuk dari air laut beku, yang mengalami ekspansi di musim dingin dan menyusut kembali ke garis pantai saat musim panas.
Studi yang dipublikasikan pada 19 Maret di jurnal Science China Earth Sciences ini menggunakan data dari satelit GRACE dan GRACE Follow-On milik NASA. Kedua satelit tersebut telah memantau perubahan massa es Antartika sejak 2002. Perubahan pada lapisan es ini sangat penting untuk dipantau karena mencairnya es akan menambah volume air laut, yang pada akhirnya mempercepat kenaikan permukaan laut secara global.
Data dari GRACE menunjukkan bahwa lapisan es mengalami kehilangan massa secara konsisten dari 2002 hingga 2020. Kehilangan tersebut meningkat dari sekitar 81 miliar ton per tahun antara 2002 dan 2010, menjadi sekitar 157 miliar ton per tahun pada periode 2011 hingga 2020. Namun, pola ini berubah antara 2021 dan 2023, ketika massa es justru bertambah.
Penambahan massa es dalam periode tersebut diperkirakan mencapai rata-rata 119 miliar ton per tahun. Empat gletser utama di wilayah Antartika Timur juga menunjukkan perubahan drastis dari kehilangan massa menjadi pertambahan massa. Para peneliti menyebut fenomena ini sangat dipengaruhi oleh anomali curah hujan ekstrem di wilayah tersebut.
Tom Slater, peneliti lingkungan dari Universitas Northumbria di Inggris, mengatakan bahwa fenomena ini bukan hal yang mengejutkan. Dirinya menjelaskan bahwa dalam iklim yang lebih hangat, atmosfer dapat menahan lebih banyak uap air, yang pada gilirannya meningkatkan peluang terjadinya hujan salju ekstrem seperti yang terjadi di Antartika Timur baru-baru ini.
Sebuah studi lain pada tahun 2023 yang ditulis oleh tim peneliti yang sama juga mencatat bahwa lonjakan curah hujan antara 2021 dan 2022 menjadi faktor utama meningkatnya massa es Antartika. Studi terbaru ini menunjukkan bahwa tren tersebut berlanjut setidaknya hingga akhir tahun 2023.
Namun demikian, para ilmuwan memperingatkan bahwa penambahan ini kemungkinan besar hanya bersifat sementara. Slater menegaskan bahwa mayoritas kehilangan es di Antartika terjadi karena gletser yang bergerak lebih cepat ke laut akibat suhu laut yang menghangat. Proses ini masih berlangsung, dan penambahan es karena salju sementara tidak cukup untuk menghentikan tren tersebut.
Perlu dipahami bahwa perubahan iklim global tidak terjadi secara merata di seluruh wilayah Bumi. Antartika, misalnya, memiliki suhu yang relatif stabil dibandingkan dengan Arktik yang telah menghangat empat kali lebih cepat dari rata-rata global. Meskipun es laut di Antartika dulunya cukup stabil, data terbaru menunjukkan tren penurunan yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir.
Pada tahun 2023, es laut Antartika mencapai titik terendah sepanjang sejarah. Para peneliti menyimpulkan bahwa kemungkinan besar hal ini tidak akan terjadi tanpa adanya pengaruh perubahan iklim. Di sisi lain, cakupan es laut global terus menyusut dan suhu global terus mencetak rekor tertinggi dalam beberapa tahun terakhir.
Sejak penandatanganan Perjanjian Paris pada tahun 2015, negara-negara dunia berkomitmen untuk menjaga kenaikan suhu global di bawah 1,5°C (2,7°F). Namun, target ini kini terancam gagal. Data dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus menunjukkan bahwa April 2025 adalah bulan ke-21 dari 22 bulan terakhir yang melampaui batas 1,5°C.
Buah Pikiran
Penemuan penambahan massa es di Antartika dalam periode 2021–2023 menunjukkan bahwa fenomena iklim tidak selalu berlangsung secara linier. Fluktuasi jangka pendek seperti ini merupakan bagian dari dinamika alam yang kompleks, dan justru memberikan wawasan penting tentang bagaimana sistem iklim merespons perubahan lingkungan global. Dalam hal ini, peningkatan curah hujan akibat atmosfer yang lebih hangat menjadi faktor utama terbentuknya es baru di Antartika Timur.
Namun demikian, hasil studi ini juga menegaskan bahwa fenomena tersebut bersifat sementara dan tidak menandakan pembalikan dari tren pemanasan global. Dengan mempertimbangkan konteks jangka panjang, kita dapat melihat bahwa Antartika tetap mengalami kehilangan es secara signifikan selama dua dekade terakhir. Oleh karena itu, studi ini memperkuat pentingnya pendekatan ilmiah yang menyeluruh dalam memahami perubahan iklim, serta perlunya kebijakan mitigasi dan adaptasi yang konsisten berdasarkan data yang akurat dan berkelanjutan. (NJD)
Sumber: Livescience