Formasi Kemajuan dan Keberlanjutan

Sumber ilustrasi: freepik

21 Mei 2025 11.40 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dalam percakapan tentang waktu dan sejarah, ada dua ide besar sering kali diposisikan dalam ketegangan yang sukar diperdamaikan, yakni kemajuan dan keberlanjutan. Kemajuan kerap dipahami sebagai pergerakan ke depan, transformasi, dan akumulasi; sedangkan keberlanjutan menandai kestabilan, kesinambungan, dan keterjagaan atas yang telah ada. Secara lebih analitik, kemajuan diasosiasikan dengan proyek-proyek perubahan yang bertujuan mengatasi keterbatasan masa kini, memperbaiki kekurangan masa lalu, dan menjangkau kondisi masa depan yang diidealkan. Ia beroperasi dalam logika inovasi, pertumbuhan, dan penaklukan terhadap ketidaktahuan atau keterbelakangan. Dalam paradigma ini, sejarah menjadi arena penumpukan capaian, dan waktu diperlakukan sebagai garis lurus yang tak bisa kembali, dimensi yang harus terus dilampaui.

Sebaliknya, keberlanjutan berakar pada prinsip ketahanan dan regenerasi. Ide ini menekankan pentingnya menjaga kesinambungan relasi, baik ekologis, ekonomi, sosial, maupun kultural, dalam jangka panjang. Keberlanjutan bekerja dalam horizon keberulangan, yakni melihat masa depan sebagai ruang perawatan, bukan ekspansi. Waktu dalam keberlanjutan bukanlah derap cepat ke depan, melainkan irama yang mempertahankan kohesi dan keberlangsungan. Dalam banyak kebudayaan bermukim, keberlanjutan diwujudkan dalam bentuk ritus, tradisi, dan relasi ekologis yang mempertahankan keseimbangan hidup, bukan mengubahnya secara radikal.

Dengan demikian, di antara kemajuan dan keberlanjutan terbentang jurang: kemajuan tumbuh dalam pemahaman bahwa perubahan adalah norma, sedangkan keberlanjutan berakar pada pemahaman bahwa stabilitas dan kesinambungan adalah kebutuhan dasar kehidupan. Kemajuan menjadikan waktu sebagai urutan peristiwa yang selalu harus ditinggalkan demi yang baru, sedangkan keberlanjutan menempatkan waktu sebagai siklus perawatan terhadap yang telah dan sedang ada. Benarkah keduanya hanya mungkin saling menegasi, dan tidak bisa daripadanya disusun suatu formasi yang saling menghargai?

Bagaimana menghadapi kenyataan ini? Kita sebenarnya dapat kembali kepada realitas kehidupan, khususnya dalam konteks kebermukiman, menunjukkan bahwa dikotomi ini bersifat reduktif dan tak memadai. Dalam praktik-praktik hidup yang berakar pada tempat, seperti pertanian lokal, sistem adat, dan relasi ekologis komunitas tradisional, kita menemukan dinamika yang tidak bisa direduksi pada pola mutlak progresif atau konservatif. Kehidupan bermukim menunjukkan bahwa perubahan dan kesinambungan tidak selalu saling menegasi, melainkan dapat saling menopang. Proses menanam dan memanen, misalnya, adalah keberulangan tahunan yang sarat inovasi lokal, adaptasi terhadap musim, serta perubahan teknik berdasarkan pengalaman. Dalam kehidupan semacam ini, transformasi terjadi justru karena kesinambungan dipertahankan, dan kesinambungan terjaga karena terbuka terhadap diferensiasi.

Kemajuan dan keberlanjutan, jika diposisikan dalam oposisi biner, justru gagal menangkap struktur dasar kehidupan yang senantiasa berirama dan bertransformasi. Oleh karena itu, diperlukan pemikiran ulang atas bentuk gerak yang lebih sesuai dengan kenyataan yang tidak sepenuhnya linier maupun siklikal. Hal ini penting, agar jangan sampai yang terjadi adalah praktek yang memuat kepalsuan. Keberlanjutan namun sebenarnya adalah “kemajuan” dan demikian sebaliknya.

Untuk kita perlu berpegang pada prinisp bahwa kemajuan dan keberlanjutan bukanlah gagasan yang harus saling menegasi. Justru, dalam tantangan zaman kini, krisis ekologis, fragmentasi sosial, dan marjinalisasii makna, kita dituntut untuk merumuskan formasi baru yang menyatukan keduanya tanpa menundukkan yang satu kepada kerangka epistemik yang lain. Untuk itu, diperlukan sebuah konsepsi yang lebih menggambarkan realitas gerak kehidupan yang kompleks, regeneratif, dan terbuka terhadap diferensiasi: bukan gerak linear, bukan pula gerak siklus, melainkan suatu gerak layaknya gerak sekrup: suatu siklis tetapi maju.

Gerak sekrup (rakrup) adalah bentuk gerak yang mengandung unsur pengulangan dan kemajuan sekaligus. Kembali ke bentuk yang serupa, namun tidak identik; bergerak maju, namun tidak memutus diri dari porosnya. Rakrup memungkinkan pembaruan yang setia, perubahan yang menjaga akar. Dalam kerangka ini, kemajuan tidak lagi dimaknai sebagai pertambahan kuantitatif, melainkan sebagai pendalaman kualitas; sementara keberlanjutan tidak dipahami sebagai stagnasi, tetapi sebagai kontinuitas yang hidup dan dinamis.

Dalam formasi rakrup ini, keberulangan bukanlah kebekuan, melainkan cara untuk menyalurkan ingatan, makna, dan struktur relasional. Setiap “putaran” adalah pengaktualan dari potensi keberlanjutan yang diberi bentuk baru oleh pengalaman, konteks, dan intensitas. Begitu pula, kemajuan tidak lagi menjadi agenda lepas landas dari masa lalu, tetapi cara untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dasar dalam konfigurasi yang lebih dalam dan luas.

Kita membutuhkan formasi rakrup karena dunia nyata tidak tunduk pada kronologi datar atau pengulangan membosankan. Kehidupan bermukim—baik dalam masyarakat adat, relasi ekologis, maupun ritme eksistensial, menunjukkan bahwa yang penting bukanlah bergerak cepat atau kembali ke masa lalu, melainkan bertahan dalam gerak yang memperdalam dan memperluas makna.

Dengan demikian, urgensi zaman ini bukan memilih antara kemajuan atau keberlanjutan, tetapi merumuskan cara keberadaan yang memungkinkan keduanya menyatu dalam tensi produktif. Formasi rakrup adalah tawaran cara ada dan etis atas cara hidup, yang tidak mengingkari masa lalu, tidak menaklukkan masa depan, tetapi menari bersama keduanya dalam irama yang setia sekaligus terbuka. Di dalam rakrup, kita tidak hanya bergerak; kita menjadi. [Desanomia – 21.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *