Gempa Bumi Bantul, Sembilan Belas Tahun Lalu

Sumber ilustrasi: id.wikipedia

27 Mei 2025 12.35. WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Hari ini, sembilan belas tahun yang lalu, terjadi peristiwa sejarah: gempa bumi. Jika Wikipedia dapat dijadikan rujukan, maka kita akan mendapatkan keterangan sebagai berikut:

Gempa bumi Yogyakarta atau Gempa bumi Bantul 2006 adalah peristiwa gempa bumi tektonik yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah pada Sabtu pagi hari pukul 05:53:58 WIB, berpusat sekitar 10 kilometer (6,2 mi) dari Pundong. Guncangan gempa berlangsung selama 57 detik, dan menyebabkan kerusakan parah secara lokal. Menurut BMKG gempa tersebut berkekuatan 5.9 pada Skala Richter (ML). Sementara Survei Geologi Amerika Serikat melaporkan bahwa gempa terjadi sebesar 6.3 pada Skala magnitudo momen (Mw), dengan kedalaman 12,5 km (8 mi) dan Intensitas maksimum Mercalli mencapai IX (Hebat). Gempa tersebut diduga akibat dari pergeseran Sesar Opak.

Keterangan tersebut, pada dirinya, tentu saja tidak punya banyak makna. Bagi mereka yang pagi itu ada di Lokasi, dan merasakan sendiri bagaimana bumi bergetar dan sekelilingnya juga ikut bergetar, maka keterangan tersebut tidak banyak maknanya. Mengapa? Karena apa yang dialaminya demikian banyak. Bahkan ketika dirinya belum menyadari bahwa sesuatu telah terjadi. Kini peristiwa tersebut telah menjadi masa lalu. Untuk itu, sangat baik jika masa lalu kembali diajak berdialog, agar kita memperoleh Pelajaran, atau hikmah, sehingga ke depan yang dilakukan benar-benar menunjukkan bahwa kita mampu belajar dari yang lalu.

Dua Sumber

Jarang menjadi perhatian, bahwa pada hari itu, atau dekat pada momen tersebut, DIY, sebenarnya tengah bersiap menghadapi kemungkinan peristiwa vulkanik, yakni ada potensi Gn. Merapi mengalami erupsi. Jadi sebagian warga yang ada di utara DIY, tengah berjaga-jaga, dalam waspada, menghadapi kemungkinan erupsi tersebut. Oleh sebab itu, ketika ada gempa, yang dibayangkan adalah gempa yang bersumber dari aktivitas vulkanik dan bukan teknonik.

Namun, nyatanya sebagaimana diungkapkan di atas, bahwa gempa bumi yang terjadi adalah peristiwa tektonik dengan episentrum dekat Pundong, disebabkan oleh pergeseran Sesar Opak. Sebagai peristiwa alam biasa, gempa akan tidak menimbulkan dampak ketika skalanya kecil. Namun dalam kasus 27 Mei tersebut, dicatat bahwa skala dan intensitas, tergolong tinggi, karena itu membawa akibat kerusakan besar pada bangunan-bangunan tidak tahan gempa, dan korban jiwa dalam jumlah yang besar. Durasi yang relatif panjang, yakni 57 detik, membuat keparahan meningkat.

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa yang disebut kerawanan adalah hal yang nyata, dan ada bersama hidup warga. Memang yang menjadi persoalan adalah ketika literasi tidak diselenggarakan secara sengaja dan terencana. Tanpa literasi, maka kesiapan semua pihak menjadi “kurang”, baik warga maupun otoritas. Otoritas yang sadar akan realitas “ring of fire”, tentu akan membuat kebijakan yang dalam segala seginya mempersiapkan diri. Demikian halnya dengan warga, sebagai komunitas yang ada di wilayah “ring of fire”.

Ketahanan

Bagi para korban yang ketika itu ada di lokasi, maka seluruh perhatian akan tertuju pada bagaimana menyelamatkan diri, baik pribadi, keluarga maupun anggota komunitas. Serangan gempa susulan, membuat suasana makin “panik”, dan mencekam. Tidak hanya itu, suasana segera diliputi duka yang mendalam. Bukan hanya karena seluruh fasilitas dan asset warga mengalami kerusakan, baik parah, sedang maupun ringan. Lebih dari itu, kesedihan mendalam juga langsung menyergap, karena korban jiwa dari waktu ke waktu bertambah jumlahnya. Inilah suasana eksistensial yang tidak mungkin hilang dalam ingatan komunitas.

Ada tiga hal yang mungkin dapat menjadi refleksi, terkait dengan kapasita ketahanan warga. Pertama, tentu adalah kondisi sosial-ekonominya. Kedua, realitas rumah hunian, yang kelak baru disadari warga dan otoritas, bahwa rumah yang ada tidak tahan gempa. Hal ini pula yang disebut sebagai faktor utama yang menyebabkan jumlah korban yang besar. Ketiga, ketidaksiapan sosial, yang mengakibatkan pada momen awal benar-benar membuat panik, terlebih sumur-sumur warga ketika itu, di beberapa tempat airnya meluap, sehingga warga berpikir bahwa keadaan akan diikuti dengan datangnya air dari Selatan. Kenyataan ini seharusnya dapat menjadi petunjuk bagi otoritas dan warga untuk lebih bersiap secara kolektif (komunitas) menghadapi keadaan buruk yang tidak diinginkan.

Ke Depan

Dalam suasana mengenang yang telah lalu, kita mungkin perlu menempatkan gempa bumi, tidak sekedar sebagai suatu peristiwa geologi biasa. Pada satu sisi, tampak bahwa kejadian dan korban yang timbul akibatnya, menunjukkan suatu kenyataan ketimpangan struktural, lemahnya manajemen risiko, dan terbatasnya perlindungan terhadap kelompok rentan. Dan pada sisi yang lain, peristiwa tersebut justru mengungkap apa yang dapat disebut sebagai ketangguhan sosial (resilience) masyarakat, yang ditunjukkan oleh semangat gotong royong, munculnya relawan lokal, dan solidaritas antarwarga.

Yang disebut relawan lokal, sebenarnya hanya bisa dikenali, oleh pengalaman langsung para korban, ketika hendak membangun rumah sementara. Dalam suasana serba terbatas, baik bahan baku, alat dan tenaga, tanpa diduga dan sangat membanggakan, sekaligus mengharukan, adalah datangnya bantuan dari warga dari wilayah sekitar, seperti dari daerah Magelang dan sekitarnya. Bantuan tersebut datang begitu saja, dan dengan bantuan tersebut, warga korban dapat dengan cepat membangun kembali hunian sementara, karena bahan baku, alat dan tenaga manusia yang relatif cukup. Kerelawanan ini tidak tampak, tetapi sangat dirasakan kehadirannya oleh warga korban.

Dalam kerangka itulah, dapat diusulkan dua tindakan ke depan, yakni: Pertama, tentu kepada otoritas, agar peristiwa 19 tahun lalu, benar-benar menjadi titik tolak bagi kebijakan yang benar-benar mencerminkan kesadaran bahwa kita ada di ring of fire. Misalnya, dalam hal tata ruang, memperkuat kesiapan warga, terutama terkait dengan hunian tahan gempa, dan tentu cadangan logistik serta literasi yang tidak pernah berhenti. Kedua, tentu kepada warga dan dunia akademi, agar peristiwa tersebut menimbulkan urgensi bagi pembangunan kesiapan komunitas yang berbasis sains dan kearifan setempat. (Siti Badriyah, dari berbagai sumber).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *