Geplak Bantul

sumber ilustrasi: wikipedia

18 Apr 2025 11.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Dalam suatu obrolan lebaran (1446 H) lalu, terdapat potongan deskripsi berikut: Seorang pelancong dari ibukota menggerutu, kesal, karena datang dari jauh hendak mencari Geplak Bantul di Bantul. Setelah sampai pusat oleh-oleh, apa yang dicarinya tidak ditemukan. Tidak ada “Geplak Bantul”, yang ada “Geplak” biasa. Sempat yang bersangkutan bertanya, dan dijawab oleh sang penjual bahwa Geplak yang dijualnya adalah Geplak Bantul. Sang pelancong, tidak bisa menerima, dan bertanya: Apa buktinya bahwa Geplak tersebut adalah Geplak Bantul, dan bukan Geplak lain yang dijual di situ (Bantul)? Rupanya sang penjual hanya menjawabnya dengan senyuman. Akhirnya Geplak yang dicari tidak ditemukan di Bantul, melainkan di Ibukota.

Asal

Apa itu geplak yang menjadi bahan cerita di atas? Jika ditanyakan ap aitu geplak, maka dengan spontan (bagi yang mengetahui) akan mengatakan bahwa geplak adalah makanan tradisional khas dari daerah Bantul (salah satu kabupaten dari empat kabupaten yang ada di DIY). Mengapa harus ada atribut tradisional? Mengapa tidak disebut saja panganan khas Bantul, tanpa atribut tradisional? Masalah ini, bisa saja hanya sekedar kelatahan Bahasa, namun bisa juga memang suatu spontanitas terarah. Maksudnya, memang begitulah cara orang kebanyakan memberi atribut pada makanan yang datang dari daerah-daerah yang jauh dari Ibukota atau yang datang bukan dari kota metropolitan.

Pada periode lalu, sekitar medio 80an, tentu ini hanya kepada mereka yang jadul, pernah terjadi suasana dimana menyebut daerah asal ataun tanah kelahiran dikaburkan, dengan cara tidak menyebut spesifik daerahnya. Misalnya, mereka yang ada di sekitar Jakarta, tidak menyebut bahwa yang bersangkutan berasal dari sekitar Jakarta, tetapi dari daerah sekitar Jakarta. Ketika ditanya lebih rinci, mungkin yang bersangkutan akhirnya menyebutkan lebih spesifik daerahnya. Demikian juga dengan mereka yang ada di sekitar kota Yogyakarta. Memang, para pendatang, kala itu, tidak punya pemahaman yang utuh, yang dapat membedakan wilayah propinsi, kota dan kabupaten, mengingat wilayahnya yang tidak luas. Ketika ditanya dimana rumahnya, maka secara spontan disebut: Yogya. Jika pertanyaan dibuat lebih rinci: Yogya-nya dimana? Pertanyaan tersebut, akan memaksa yang bersangkutan untuk menyebut lebih rinci alamatnya.

Apabila pengalaman atau cerita tersebut, dipikirkan ulang, dan dibuat menjadi bahan refleksi, mungkin akan punya arti tersendiri. Mengapa mereka yang berasal dari daerah-daerah yang tidak masuk dalam kategori “kota”, tidak sanggup secara spontan menyebut daerah asalnya? Ada kesan, atau bahkan mungkin telah terbentuk citra, bahwa daerah di luar kota adalah daerah terbelakang, jadul, dan rendah? Akibatnya mereka yang datang dari daerah yang disebut sebagai “pinggiran”, akan dengan sendirinya menyembunyikan “identitas”nya. Sebaliknya, mereka yang datang dari Ibukota, akan dengan sendirinya mengungkapkan diri dengan penuh rasa percaya dan bahkan mungkin dengan kebanggaan tersendiri. Darimana kesemuanya itu? Siapa yang memulai, sehingga muncul jenjang atau hirarki asal-usul: ada yang tinggi dan ada yang rendah, ada yang maju dan ada yang terbelakang. Apakah yang demikian itu adalah hal baik, ataukah tidak baik?

Bahkan, jika penelusuran boleh diperluas, besar kemungkinan akan ditemukan pula suatu tentang bagaimana dunia pendidikan, juga mengalami hal yang relatif sama. Ada lembaga pendidikan yang dipandang lebih tinggi derajatnya dari lembaga pendidikan yang lain. Dahulu ada yang mendapatkan atribut “ndeso”, namun kini mungkin telah mentransformasikan citra “ndeso”, menjadi lembaga “world class”. Bangunan fisik yang semula “menyatu” dengan komunitas, menjadi area eksklusif, yang tidak tertandingi dengan sekitarnya. Potongan cerita ini tentu hanya sebagian dari kompleks kecenderungan membentuk hirarki: unggul – rendah, maju – terbelakang, pintar – bodoh, adiluhung – jelata, modern – tradisional, dan seterusnya. Soalnya, siapa pemulai semua itu? Apakah yang demikian itu adalah hal baik, ataukah tidak baik?

Geplak

Mungkin dengan potongan cerita tersebut, kita dapat sedikit memahami, mengapa atribut tradisional disematkan pada panganan daerah, dalam hal ini adalah geplak dari Bantul, yang disebut sebagai panganan tradisional. Namun, apakah makna pada empat atau lima dasa warsa yang lalu, masih tetap bertahan, sebagaimana makna di masa lalu? Jika, kita datang dan “merasakan” makna dalam percakapan para pelancong, maka mungkin akan terasa berbeda. Daerah asal, kendati dengan kategori konvensional disebut terbelakang, akan menjadi “keunggulan” tersendiri. Mungkin karena itu, penyebutan daerah asal menjadi penting, sebagaimana menyebut geplak dengan Geplak Bantul. Sayangnya, sebagaimana potongan cerita di atas, sang pelancong tidak menemukan Geplak Bantul di Bantul.

Geplak sendiri, menurut sang empunya kisah, sebenarnya adalah tentang “gula”. Jika mengulik laman kemendikbud, dikatakan bahwa panganan ini telah dikenal sejak abad ke-19. Ada yang mengatakan bahwa geplak punya kaitan erat dengan keberadaan perkebunan tebu, kelapa dan pabrik gula pada masa kolonialisme. Tentu perlu riset tersendiri untuk mengungkapkannya. Apa bila benar demikian, bahwa geplak terkait dengan sejarah kolonialisme, maka mungkin dapat dikatakan bahwa pada diri geplak “tersimpan” kisah kelam bangsa ketika berada dalam kolonialisme perkebunan. Pengetahuan akan masa lalu, tentu bukan untuk membuat panganan menjadi memori kelam, melainkan untuk membangkitkan kesadaran baru, agar daripadanya lahir daya emansipasi, dan bukan sebaliknya – melestarikan hirarki, yang bertentangan dengan jiwa kemerdekaan. Secara demikian, geplak dapat hadir secara lebih otentik.

Geplak yang telah dikenal (luas) sebagai panganan oleh-oleh khas Bantul, dikabarkan oleh laman website Desa Srihardono, diproduksi pengrajin geplak dari Dusun Piring dan Dusun Jonggrangan, Pundong, Bantul. Panganan ini terbuat dari parutan kelapa dan gula, baik gula merah (gula jawa) maupun gula pasir (gula tebu). Cita rasa manis dan tekstur lunak. Bagi yang kurang terbiasa dengan manis, rasa geplak akan terasa sangat manis. Bentuknya bulat dan dikenal dengan warnanya yang beragam dan mencolok. Dahulu, menurut cerita, hanya dua, yakni putih (warna gula tebu) dan coklat (warna gula Jawa). Kini, ada warna merah, kuning, hijau, dan warna lainnya, melengkapi warna putih, dan coklat. Dari segi rasa, tidak hanya manis, tetapi telah berkembang rasa pelengkap, seperti rasa durian, sirsak, jahe, stroberi, vanila, dan rasa lainnya. Dapat dikatakan, bahwa produksi geplak, telah memasuki ladang industri, sehingga minat konsumen ikut menjadi pertimbangan dalam produksi.

Apa yang dapat dikatakan di sini, bahwa geplak sesungguhnya telah berkembang. Dari yang semula, mungkin hanya menjadi panganan instan untuk para pekerja, kemudian menjadi panganan khas, yang menjadi identitas daerah, dan kini telah bergerak lebih jauh, yakni menjadi bagian dari suatu industry kuliner. Hal yang patut menjadi perhatian adalah bahwa perkembangan tersebut, pada akhirnya akan sepenuhnya membuat geplak berubah menjadi komoditas, yang terpisah dengan “asal” dan menjadikan keotentikan hanya sebagai siasat pemasaran, ataukah geplak akan bertahan sebagai produk dengan akar budaya dan historis.

Geplak Bantul

Apakah perkembangan ke arah industri merupakan masalah? Atau, sesuatu yang alamiah saja. Dari kecil menjadi besar. Dari sederhana menjadi kompleks. Geplak, yang semula hanya ada di di Bantul, kemudian menyebar, bahkan mengisi lapak di sentra oleh-oleh di kota-kota besar. Oleh karena itulah, ada yang secara jenaka dalam potongan deskripsi di atas, mempersoalkan: apakah Geplak Bantul bisa ditemukannya di Bantul? Dan ternyata, ketika dia mencari, barang yang dicarinya tidak ditemukan. Benarkah Geplak Bantul tidak ada di Bantul? Atau, yang tidak ada hanya “lebel”, bukan geplak itu sendiri. Soalnya, mengapa Geplak Bantul tidak merasa perlu menampilkan dirinya sebagai Geplak Bantul di Bantul itu sendiri? Apakah ketiadaan Geplak Bantul di Bantul, merupakan hasil dari kesadaran, atau tindakan alamiah saja. Yakni, untuk apa geplak di Bantul, di tempat asal dan di sentra produksinya, menyebut diri adalah Geplak Bantul?

Sebagian dari kita mungkin akan mengatakan, bahwa akan menjadi peristiwa yang absdurd, ketika Geplak Bantul di Bantul berupaya secara sengaja menunjukkan ke-Bantul-annya. Mengapa dikatakan demikian? Karena semua yang hadir adalah Bantul, dan dalam Bantul, untuk apa mengatakan diri Bantul? Dalam batas tertentu, kita mungkin bisa mengatakan untuk apa orang desa di desa, menyebutkan dirinya sebagai “orang desa”. Dalam ruang asal, ruang tempat segala sesuatu telah dikenali, diterima, dan dianggap wajar, identitas tidak perlu diperlihatkan. Cukup ada. Hadir, bukan tampil. Jika subyek membutuhkan tampil, dan merasa bahwa kehadiran tidak cukup memadai, maka sangat besar kemungkinannya bahwa sesuatu tengah terjadi.

Hendak ditegaskan di sini bahwa identitas, dalam pengertian tersebut, bekerja dalam keheningan, dalam pengenalan diam-diam yang tidak membutuhkan label. Yang otentik tidak butuh deklarasi. Apalagi suatu deklarasi terus-menerus. Ketika deklarasi identitas muncul di ruang asal, kita menduga, sebagaimana disebutkan di atas, bahwa sesuatu sedang berlangsung. Sangat mungkin peristiwa menampilkan diri merupakan tanda akan adanya yang retak, sesuatu yang telah bergeser. Jika seseorang di desa masih berkata “aku ini orang desa”, maka mungkin ada yang berubah dalam struktur penghayatan. Desa tidak lagi hadir sebagai desa. Atau, sang subyek yang mendeklarasikan dirinya telah melihat desanya dengan mata luar. Subyek diam-diam telah bukan lagi sebagai orang desa dalam pengertian yang paling otentik.

Dengan kata lain, penegasan identitas di tempat asalnya sendiri adalah tanda akan keterasingan yang baru. Ketika Geplak Bantul di Bantul masih harus menyebut dirinya “Geplak Bantul”, itu bukan lagi performa identitas, melainkan simtom akan terjadinya dislokasi makna: ruang asal sudah tidak lagi sepenuhnya menjadi asal, karena telah dipenuhi oleh pandangan luar, oleh cara berpikir dari luar, oleh kebutuhan akan label dan pasar. Barangkali inilah ironi kemajuan dan gerak komoditifikasi identitas: apa yang dulu alami kini menjadi tontonan; apa yang dulu hadir, kini harus tampil. Identitas yang dahulu hidup dalam kebiasaan, kini dihidupkan kembali lewat promosi. Maka kita pun bertanya: apakah yang kita sebut “otentik” hari ini, sungguh masih otentik, atau justru hanya bayang-bayang dari kerinduan akan otentisitas yang telah menjauh? [Desanomia – 18.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *