Hamemayu Hayuning Bawana: Spiritualitas Ekologis dalam Falsafah Jawa

Oleh: Untoro Hariadi

Falsafah Jawa Hamemayu Hayuning Bawana menawarkan perspektif unik tentang hubungan antara manusia dengan alam semesta. Konsep ini tak sekadar menjadi untaian kata-kata bijak, tetapi merupakan panduan hidup yang mendalam dan terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat Jawa. Sebagai kewajiban untuk “memperindah keindahan dunia” agar tercipta kehidupan yang aman dan tenteram, falsafah ini telah membentuk cara pandang, perilaku sosial, dan pengembangan pengetahuan lokal masyarakat Jawa selama berabad-abad.

Dalam konteks spiritualitas budaya, Hamemayu Hayuning Bawana merupakan ekspresi budaya yang dihayati orang Jawa di tengah-tengah jagad rame (dunia ramai). Falsafah ini mengajarkan laku kebatinan yang senantiasa berorientasi pada kesejahteraan dunia. Di tengah realitas hidup yang penuh dengan tawar-menawar, bias, dan perhitungan untung-rugi, falsafah ini mengajak untuk mengendapkan nafsu agar hidup lebih terkendali dan terarah.

Menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat (1984), prinsip Hamemayu Hayuning Bawana menunjukkan bahwa orang Jawa senantiasa berusaha untuk menciptakan keharmonisan antara mikrokosmos dan makrokosmos, antara jagad cilik (dunia kecil/manusia) dan jagad gedhe (dunia besar/alam semesta). Keharmonisan ini menjadi tujuan utama yang membentuk seluruh aspek kehidupan masyarakat Jawa, termasuk dalam pengelolaan sumber daya alam dan sistem sosial.

Berbekal ajaran para wali dan leluhur, masyarakat Jawa mengimplementasikan nilai-nilai ini dalam prinsip nyawiji (satu tujuan), greget (penuh semangat), dan sengguh ora mingkuh (tidak akan bergeser meski banyak rintangan). Inilah esensi dari Hamemayu Hayuning Bawana – upaya melindungi keselamatan dunia baik secara lahiriah maupun batiniah.

Keberlanjutan Pangan

Dalam kehidupan desa Jawa, implementasi Hamemayu Hayuning Bawana terlihat jelas dalam sistem pertanian tradisional. Masyarakat Jawa tidak sekadar bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan pangan, tetapi melakukannya dengan kearifan yang menjaga keseimbangan ekosistem. Praktik pertanian seperti sistem tumpang sari, penggunaan pupuk organik, dan perhitungan musim pranata mangsa mencerminkan pemahaman mendalam tentang keberlanjutan ekologis.

Ki Hadjar Dewantara (1967), pernah menyatakan, bahwa orang Jawa tidak pernah memandang alam sebagai objek yang harus ditaklukkan, melainkan sebagai sahabat yang harus dihormati dan diajak bekerja sama. Pandangan ini tercermin dalam praktik pertanian tradisional Jawa yang dikenal dengan sistem “mrica kepyar” (lada yang tersebar), di mana petani menanam berbagai jenis tanaman secara bersamaan dalam satu lahan untuk memaksimalkan penggunaan tanah tanpa mengeksploitasinya berlebihan.

Siklus tanam yang mengikuti perhitungan kosmologis Jawa dalam pranata mangsa memberikan panduan bagi petani untuk menentukan waktu yang tepat untuk menanam, merawat, dan memanen tanaman. Sistem pranata mangsa membagi setahun menjadi 12 mangsa (musim) yang masing-masing memiliki karakteristik alam tertentu. Pengetahuan ini memungkinkan petani untuk bekerja selaras dengan ritme alam, bukan melawannya.

R.M. Soedarsono (2002) menjelaskan, bahwa pranata mangsa bukan hanya sistem kalender pertanian, tetapi juga cerminan kesadaran kosmik masyarakat Jawa yang memahami bahwa manusia adalah bagian dari alam semesta yang harus hidup harmonis dengan segala unsurnya. Dengan mengikuti pranata mangsa, petani Jawa dapat mengoptimalkan hasil panen tanpa harus melakukan eksploitasi berlebihan terhadap tanah dan sumber daya alam lainnya.

Praktik pertanian tradisional Jawa juga mengenal konsep “nyabuk gunung” (sabuk gunung), yaitu sistem terasering yang dibuat untuk mencegah erosi tanah di lereng perbukitan. Teknik ini tidak hanya memungkinkan pemanfaatan lahan miring untuk pertanian, tetapi juga melindungi ekosistem pegunungan. Nyabuk gunung merupakan manifestasi konkret dari falsafah Hamemayu Hayuning Bawana, di mana manusia bukan hanya mengambil manfaat dari alam tetapi juga menjaga kelestariannya (Purwadi, 2011).

Dalam pengelolaan air, masyarakat Jawa tradisional mengembangkan sistem irigasi yang dikenal dengan “subak” (di Bali) dan “dharma tirta” (di Jawa), yang mengatur distribusi air secara adil dan merata. Sistem ini dikelola secara komunal dengan prinsip “patut, patuh, patulung” (layak, taat, dan saling membantu). Sistem irigasi tradisional mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa dalam mengelola sumber daya air secara berkelanjutan dan berkeadilan (Sartono Kartodirdjo, 1993).

Ritual-ritual seperti sedekah bumi (merti desa) bukan sekadar upacara, melainkan manifestasi rasa syukur dan komitmen untuk menjaga keselarasan dengan alam. Dalam ritual ini, masyarakat membawa hasil panen terbaik mereka sebagai persembahan dan ungkapan terima kasih kepada bumi yang telah memberikan penghidupan, sambil memohon keberkahan untuk musim tanam berikutnya.

Pengetahuan lokal tentang varietas tanaman adaptif lokal juga menjadi bagian penting dalam sistem pertanian berkelanjutan masyarakat Jawa. Berbagai jenis padi lokal seperti mentik wangi, rojolele, dan cianjur memiliki ketahanan alami terhadap hama dan penyakit sehingga mengurangi kebutuhan akan pestisida kimia. Prof. Dr. Suhardi (2008) menyatakan, bahwa keanekaragaman padi lokal Jawa merupakan hasil dari proses seleksi alamiah dan budaya yang panjang, mencerminkan kearifan ekologis masyarakat Jawa dalam beradaptasi dengan lingkungannya.

Ekologi Spiritual

Masyarakat Jawa memandang alam bukan hanya sebagai sumber daya material, tetapi juga memiliki dimensi spiritual yang harus dihormati. Dalam pandangan dunia Jawa, alam memiliki roh dan kekuatan yang harus dihormati dan diperhatikan melalui ritual dan praktik yang tepat (S. de Jong, 1976). Konsep “nyawiji ing manungso, manungso nyawiji ing alam, alam nyawiji ing Gusti” (manusia bersatu dalam kemanusiaan, manusia bersatu dengan alam, alam bersatu dengan Tuhan) menggambarkan pandangan holistik masyarakat Jawa tentang keterkaitan antara manusia, alam, dan dimensi spiritual. Ranggawarsita (1873), menyatakan bahwa sejatining urip iku tan lyan among jumbuhing kawulo lan Gusti (Hakikat hidup tidak lain adalah bersatunya hamba dengan Tuhan), yang menekankan kesatuan spiritual ini.

Dalam praktek bercocok tanam, dimensi spiritual ini ditunjukkan melalui berbagai ritual seperti “wiwit” (upacara sebelum panen) dan “metri sawah” (upacara sebelum mengolah sawah). Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa-Putra, dalam penelitiannya tentang “Ekologi Simbolik Masyarakat Jawa” (2006), menjelaskan bahwa ritual-ritual pertanian ini bukan sekadar takhayul, melainkan bentuk ekspresi rasa hormat terhadap alam dan pengakuan atas keterbatasan manusia dalam menghadapi kekuatan alam.

Penutup

Falsafah Hamemayu Hayuning Bawana pada hakikatnya adalah pandangan hidup yang komprehensif, menyatukan dimensi ekologis, sosial, dan spiritual dalam satu kesatuan yang tak terpisahkan. Dalam menghadapi berbagai krisis kontemporer—baik krisis ekologi, sosial, maupun spiritual—kearifan lokal Jawa ini menawarkan alternatif paradigma yang lebih berkelanjutan dan humanis.

Dengan demikian, falsafah Jawa ini bukan sekadar warisan kultural yang perlu dilestarikan, tetapi juga kearifan universal yang relevan untuk diaktualisasikan dalam konteks kontemporer. Sebagai ungkapan yang menyandikan kewajiban manusia untuk senantiasa memperindah keindahan dunia dan melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin, Hamemayu Hayuning Bawana tetap menjadi panduan moral yang mengarahkan masyarakat Jawa—dan potensial bagi masyarakat global—menuju keberlanjutan yang sejati dan bermakna.

Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *