Sumber ilustrasi: unsplash
18 Juni 2025 13.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [18.6.2025] Kabar terbaru global. Harga minyak dunia melonjak lebih dari 4% pada Selasa (waktu AS) setelah ketegangan militer antara Iran dan Israel meningkat. Perkembangan ini menambah kekhawatiran pasar akan potensi gangguan pasokan energi global. Meskipun infrastruktur utama minyak dan gas belum terkena dampak besar, namun sentimen risiko mengalami pelonjakan yang signifikan.
Kontrak berjangka Brent ditutup di level $76,45 per barel, naik $3,22 atau 4,4%. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) AS menguat $3,07 atau 4,28% ke posisi $74,84 per barel. Kenaikan ini mencerminkan ketegangan yang terus berkembang di kawasan Timur Tengah, kawasan yang menjadi pusat utama distribusi energi global.
Salah satu pemicu lonjakan harga adalah kebakaran yang terjadi di ladang gas South Pars, yang dimiliki bersama oleh Iran dan Qatar. Kebakaran tersebut diduga akibat serangan udara Israel pada akhir pekan lalu. Sebagai dampaknya, Iran menghentikan sebagian produksi gas dari ladang tersebut. Selain itu, depot minyak Shahran milik Iran juga dilaporkan menjadi target serangan Israel.
Meningkatnya frekuensi serangan udara antar kedua negara membuat pasar global memperhitungkan kembali risiko geopolitik pada daerah tersebut dikarenakan selama ini menjadi faktor penentu harga minyak. Analis Price Futures Group, Phil Flynn, menyebut situasi ini sebagai konflik berkepanjangan, menyerupai perang Rusia-Ukraina dalam dampaknya terhadap pasar energi.
Menambah kekhawatiran adalah insiden tabrakan dua kapal tanker minyak di dekat Selat Hormuz, jalur pelayaran vital yang dilalui hampir sepertiga dari total perdagangan minyak dunia. Konflik yang sedang berlangsung juga disebut meningkatkan gangguan elektronik di kawasan, yang dikhawatirkan bisa memicu kesalahan navigasi lebih lanjut.
Meski demikian, analis dari Saxo Bank, Ole Hansen, menilai kemungkinan penutupan Selat Hormuz masih rendah. Menurutnya, baik Iran maupun Amerika Serikat tidak memiliki insentif untuk menutup jalur tersebut. Dirinya menjelaskan bahwa Iran akan kehilangan pendapatan ekspor, dan AS tentu ingin menjaga harga minyak tetap rendah guna mengendalikan inflasi domestik.
Akan tetapi ketidakpastian tetap mendominasi sentimen pasar. Analis Again Capital, John Kilduff, menyebut bahwa ketegangan ini telah menambahkan “premi keamanan” sekitar $10 per barel terhadap harga minyak. Kilduff mengatakan bahwa para pelaku pasar kini berspekulasi, bagaimana Iran akan bertindak bila merasa stabilitas kekuasaan mereka mulai terancam.
Ironisnya, lonjakan harga terjadi di tengah sinyal bahwa pasokan global justru masih mencukupi. Dalam laporan bulanan terbarunya, Badan Energi Internasional (IEA) menurunkan proyeksi permintaan minyak dunia sebesar 20.000 barel per hari dari bulan sebelumnya. Sementara itu, estimasi pasokan justru naik sebesar 200.000 barel per hari menjadi total 1,8 juta barel per hari.
Di sisi lain, para investor juga menantikan keputusan suku bunga bank sentral, termasuk Federal Reserve AS yang akan menggelar pertemuan Komite Pasar Terbuka pada hari yang sama. Kebijakan suku bunga sangat berpengaruh terhadap harga energi karena berkaitan erat dengan kekuatan dolar dan permintaan global.
Eskalasi konflik antara Iran dan Israel memiliki potensi besar mengganggu keseimbangan geopolitik di Timur Tengah. Kawasan ini adalah nadi pasokan energi dunia, dan setiap ancaman terhadap stabilitasnya akan langsung tercermin pada volatilitas harga komoditas, terutama minyak dan gas alam.
Jika ketegangan terus meningkat dan berdampak pada keamanan jalur pelayaran seperti Selat Hormuz, dunia bisa menghadapi lonjakan harga energi yang lebih besar, memperburuk tekanan inflasi global yang belum sepenuhnya mereda sejak pandemi dan konflik Rusia-Ukraina.
Bagi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada impor energi, kenaikan harga ini bisa menjadi beban tambahan, memicu inflasi, mempersempit ruang fiskal, dan memperlambat pemulihan ekonomi. Di sisi lain, negara-negara produsen minyak bisa mendapatkan keuntungan jangka pendek, meskipun dengan risiko jangka panjang berupa ketidakstabilan politik.
Meskipun indikator pasar menunjukkan pasokan yang memadai dan permintaan yang mulai menurun, ketegangan geopolitik membuat harga minyak tetap berada di level tinggi. Ini menandakan bahwa pasar sedang mengantisipasi skenario terburuk, bukan bereaksi terhadap kondisi saat ini. Dalam iklim seperti ini, pengambilan keputusan ekonomi dan strategi energi global semakin dipengaruhi oleh dinamika politik internasional. (NJD)
Sumber: Reuters