Hidup dari Desa, Belajar dari Alam: Perspektif Sosiologis tentang Konservasi dan Ketahanan Komunitas (2)

Sumber ilustrasi: pixabay

Oleh: Dr. Muhammad Hamid Anwar, M.Phil.
8 Juni 2025 16.05 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Arus Urbanisasi dan Ketimpangan Pembangunan

Dalam dua dekade terakhir, Indonesia mengalami percepatan urbanisasi yang signifikan. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS, 2023) menunjukkan bahwa lebih dari 56% penduduk Indonesia kini tinggal di kawasan perkotaan. Fenomena ini bukan hanya mencerminkan perubahan demografis, tetapi juga perubahan sosial dan kultural yang mendalam. Kota—dalam berbagai bentuknya—menjadi simbol modernitas, kemajuan, dan harapan. Sementara itu, desa mulai ditinggalkan, baik secara fisik oleh penduduk mudanya, maupun secara simbolik dalam narasi pembangunan nasional.

Arus urbanisasi yang terjadi bukanlah proses yang netral. Dalam pandangan sosiologi pembangunan, urbanisasi sering kali merupakan konsekuensi dari ketimpangan struktural antara desa dan kota. Pusat-pusat kota tumbuh pesat karena akumulasi modal, infrastruktur, dan akses terhadap sumber daya, sementara desa kerap dibiarkan stagnan dalam sistem yang memosisikannya sebagai penyedia tenaga kerja kasar dan bahan baku semata. Ini menegaskan pandangan Wallerstein (1974) dalam teori sistem dunia, bahwa periphery (pinggiran) seperti desa terus-menerus dieksploitasi demi kebutuhan core (pusat), yaitu kota dan industri global.

Modernisasi desa yang diupayakan selama Orde Baru melalui program-program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Transmigrasi, meskipun niatnya baik, pada banyak kasus gagal menciptakan kemandirian desa. Sebaliknya, pendekatan top-down dan seragam tersebut cenderung melemahkan sistem sosial lokal yang telah mapan. Akibatnya, banyak desa yang mengalami kehilangan daya hidup sosial (social vitality), terutama karena generasi muda lebih memilih pindah ke kota demi akses pendidikan, pekerjaan, dan gaya hidup yang dianggap lebih modern.

Fenomena ini dikenal dalam kajian sosiologi sebagai depopulasi desa dan dislokasi identitas komunitas. Ketika anak muda meninggalkan desa, tidak hanya terjadi kekosongan fisik, tetapi juga kekosongan dalam regenerasi nilai-nilai lokal. Misalnya, turunnya jumlah petani muda di Indonesia menjadi salah satu indikator konkret. Data dari Kementerian Pertanian (2022) menyebutkan bahwa rerata usia petani Indonesia saat ini berada di atas 50 tahun. Artinya, dalam satu generasi mendatang, sektor pangan nasional terancam karena tiadanya penerus di tingkat desa.

Tak hanya itu, migrasi dari desa ke kota kerap kali berujung pada pemiskinan baru (new poverty) di kawasan urban. Banyak penduduk desa yang tidak berhasil beradaptasi dengan kerasnya hidup di kota, berakhir sebagai pekerja informal, tinggal di permukiman kumuh, dan mengalami alienasi sosial. Hal ini memperkuat argumen Saskia Sassen (2014) tentang “urban exclusion”, yaitu proses di mana kota tumbuh bukan sebagai ruang inklusif, tetapi sebagai ladang pemisahan dan penyingkiran terhadap warga miskin urban, yang notabene banyak berasal dari desa.

Dengan demikian, urbanisasi yang tak terkendali bukan hanya ancaman terhadap struktur sosial desa, tetapi juga terhadap kohesi sosial bangsa secara keseluruhan. Ketika desa ditinggalkan, bangsa kehilangan sumber nilai, solidaritas, dan kearifan ekologisnya. Maka dari itu, perlu ada reorientasi paradigma pembangunan, di mana desa tidak lagi dipandang sebagai “wilayah yang tertinggal”, melainkan sebagai poros utama pembangunan berkelanjutan.

Potensi Strategis Desa dalam Menjawab Krisis Modernitas

Krisis modernitas yang melanda masyarakat urban saat ini—mulai dari alienasi sosial, kerusakan ekologis, hingga krisis pangan dan spiritual—telah menimbulkan kebutuhan untuk meninjau ulang arah pembangunan dan gaya hidup. Dalam konteks ini, desa muncul bukan sebagai entitas pasif yang tertinggal, tetapi sebagai ruang alternatif yang menawarkan solusi berbasis nilai-nilai lokal, ekologis, dan komunal. Desa menyimpan potensi strategis yang jika dikembangkan secara kontekstual, dapat menjadi fondasi bagi model pembangunan berkelanjutan yang lebih adil dan berakar pada kearifan lokal.

1. Potensi Sosial-Budaya: Modal Sosial dan Tradisi Komunal

Salah satu kekayaan utama desa adalah modal sosial berupa jaringan solidaritas, nilai gotong royong, dan praktik kolektif yang telah mentradisi selama ratusan tahun. Menurut Robert Putnam (2000), modal sosial menjadi kunci vital dalam menciptakan kohesi sosial dan partisipasi warga dalam pembangunan. Di desa, kegiatan seperti kerja bakti, arisan, ronda, dan musyawarah masih menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari.

Berbeda dengan masyarakat urban yang cenderung terfragmentasi, masyarakat desa memiliki ikatan sosial yang erat, yang secara efektif dapat mendorong pembelajaran kolektif, resilien terhadap bencana, dan pengambilan keputusan yang demokratis berbasis adat. Tradisi lokal seperti musyawarah mufakat, sistem adat, atau hukum komunitas—yang dalam konsep Elinor Ostrom (1990) disebut sebagai institusi bersama (common property institutions)—telah terbukti ampuh dalam mengelola sumber daya secara berkelanjutan.

2. Potensi Ekologis: Sistem Pertanian Lestari dan Pengelolaan Alam

Desa memiliki kedekatan historis dan praktis dengan alam. Sistem pertanian subsisten, kehutanan rakyat, dan pengelolaan air berbasis komunitas adalah bentuk relasi ekologis yang organik, yang kini justru dianggap sebagai solusi atas kerusakan lingkungan akibat pertanian modern berbasis kimia dan monokultur. Banyak praktik tradisional seperti subak di Bali atau uma di Mentawai yang merepresentasikan hubungan timbal balik antara manusia dan alam.

Kajian Agrawal (2001) menunjukkan bahwa masyarakat lokal sering kali memiliki indigenous knowledge yang jauh lebih adaptif dalam menjaga kelestarian lingkungan dibandingkan pendekatan teknokratis negara. Dengan kata lain, desa dapat menjadi pusat pengembangan ekonomi ekologis, misalnya melalui agroekologi, ekowisata berbasis masyarakat, dan konservasi berbasis kearifan lokal.

3. Potensi Ekonomi: Kedaulatan Pangan dan Ekonomi Sirkular

Krisis pangan global menjadi pengingat pentingnya kedaulatan pangan berbasis lokal. Desa memiliki semua prasyarat dasar untuk kembali menjadi penopang ketahanan pangan nasional. Lahan, air, pengetahuan bertani, dan tenaga kerja tersedia di desa. Yang dibutuhkan hanyalah inovasi, dukungan kebijakan, dan pendampingan teknologi yang kontekstual.

Lebih jauh, konsep ekonomi sirkular—yang menekankan pada penggunaan kembali, produksi berkelanjutan, dan pengurangan limbah—sejatinya telah lama dipraktikkan masyarakat desa. Praktik seperti membuat kompos, mengolah sisa panen, serta memperbaiki dan menggunakan ulang barang adalah bentuk nyata dari ekonomi rendah karbon yang kini justru didorong secara global.

4. Potensi Spiritual dan Pendidikan Nilai

Desa juga merupakan ruang pembelajaran nilai, spiritualitas, dan etika ekologis. Banyak komunitas adat dan desa-desa tradisional yang menjaga praktik hidup berimbang antara kebutuhan duniawi dan kesadaran spiritual. Ivan Illich (1971) dalam kritiknya terhadap industrialisasi pendidikan, menyatakan bahwa pendidikan sejati harus berakar dari kehidupan sehari-hari dan berbasis pengalaman. Desa, dalam konteks ini, menjadi tempat terbaik untuk pendidikan kontekstual yang menyatu dengan alam dan budaya.

Dengan demikian, desa bukanlah ruang kosong yang menunggu intervensi, melainkan ruang penuh kehidupan dan potensi yang dapat menjadi poros baru dalam menjawab krisis peradaban modern. Memahami desa secara utuh berarti mengakui bahwa solusi masa depan bangsa tidak melulu datang dari kota atau teknologi tinggi, tetapi bisa tumbuh dari ladang, hutan, sungai, dan kearifan lokal yang diwariskan antargenerasi di desa. (bersambung)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *