Indonesia Raya (3)

Sumber ilustrasi: pixabay

20 Juni 2025 10.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

IV.

Bangunlah djiwanja,
Bangunlah badannja,

Bagian tidak dapat dipahami secara terpisah dari struktur ekologis dan ekonomis yang telah ditegaskan sebelumnya dalam lagu Indonesia Raya. Seruan ini bukan sekadar ajakan moral atau semangat kebangsaan yang generik. Sebaliknya, mengandung suatu puncak epistemologis, namun bukan dalam pengertian konvensional tentang epistemologi sebagai teori pengetahuan yang netral, rasional, dan abstrak. Di sini, epistemologi hadir sebagai kesadaran yang terbentuk dari dan demi kehidupan yang bermukim — sebuah bentuk epistemologi tempat atau epistemologi yang menjelma dari dan dalam keterlibatan konkret dengan dunia.

  1. Epistemologi: keterlibatan. Dalam kerangka epistemologi konvensional — terutama yang diwariskan oleh tradisi Cartesian dan positivistik — pengetahuan dianggap sebagai hasil refleksi rasional dari subjek yang terpisah dari dunia. Namun seruan “Bangunlah djiwanja” menolak model ini secara implisit. Jiwa yang dimaksud bukan rasio murni, melainkan kesadaran yang hidup, terlibat, dan terbentuk dari pengalaman hidup di tanah yang dihuni. Suatu hasil dari “keberdiaman”, bukan sekadar “kontemplasi”. Pengetahuan di sini bukan abstraksi, melainkan artikulasi dari keterlibatan manusia dengan tanah air, rakyatnya, kerja dan sejarahnya. Pengetahuan semacam ini tidak datang dari “melihat dari luar”, tetapi dari “berdiam di dalam”. Jiwa dibangun bukan sebagai subjek metafisik, melainkan sebagai lokus historis dan ekologis dari makna yang terus dialami dan jalani.
  2. Jiwa sebagai medan epistemik dari keterlibatan ekologis dan ekonomis. Kesadaran (jiwa) yang hendak dibangun adalah struktur pengenalan diri dan dunia yang lahir dari relasi ekologis dan praksis ekonomi. Barangkali dapat dikatakan sebagai bentuk ekologi epistemik, di mana pengetahuan tidak bebas dari konteks, tetapi justru ditentukan oleh tempat tinggal, oleh tanah dan oleh hubungan dengan sesama dalam ruang kehidupan bersama. Jiwa ini mengenal dunia karena berakar — dalam tanah (ekologi), dalam kerja (ekonomi), dan dalam nilai-nilai historis komunitas (bangsa). Maka, epistemologi yang lahir darinya adalah epistemologi yang tertanam, suatu sistem pengetahuan yang tak terpisahkan dari tanah, tubuh, dan komunitasnya.
  3. Tubuh sebagai institusionalisasi pengetahuan. Seruan “Bangunlah badannja” mungkin sering ditafsirkan sebagai ajakan membangun kekuatan fisik atau semangat kerja. Namun dalam kerangka ini sebagai suatu epistemology, dari yang bermukim, dan dalam optik ini, tubuh bukan hanya medium dari tindakan, melainkan wujud konkret dari institusionalisasi epistemologi. Tubuh di sini mencerminkan: Satu, praktik hidup yang terstruktur (kerja, relasi sosial, budaya). Dua, institusi sosial dan politik (lembaga, hukum, sistem ekonomi). Dan tiga, materialisasi dari kesadaran (manifestasi dari “jiwa” yang telah dibangun).
    Dengan kata lain, “badan” adalah tempat di mana pengetahuan mengambil bentuk. Suatu sistem pendidikan, organisasi sosial, struktur produksi, bahkan arsitektur dan ritual budaya. Tubuh bukan hanya mengaktualkan jiwa, tetapi menginstitusionalisasikan epistemologi, menjadikannya bagian dari hidup yang dijalani bersama dalam kerangka ekologi dan ekonomi.

Membangun jiwa dan badan adalah tindakan epistemik yang menciptakan dunia — dalam bentuk dunia yang bisa dihuni, dijalani, dan diwariskan. Dengan demikian, bagian ini dapat dikatakan merupakan ekspresi yang menunjukkan bahwa pengetahuan bukanlah titik awal, melainkan titik kulminasi dari proses historis dan ekologis: dari keberadaan yang membumi, kehidupan yang dikelola, menuju kesadaran yang bermakna dan berlembaga.

V.

Untuk Indonesia Raya.

Bagian ini bukan sebagai tambahan biasa, melainkan sebagai puncak teleologis — yaitu ungkapan tentang tujuan akhir (telos) dari keseluruhan struktur konseptual yang dibangun dalam Indonesia Raya. Ungkapan tersebut merupakan bentuk padat dari visi kebangsaan, yang mengintegrasikan dan mensintesiskan tiga dimensi dasar: ekologi, ekonomi, dan epistemologi. Dalam kerangka filosofis, baris ini menandai arah historis dan etis dari interaksi manusia dengan tanahnya, dengan sesamanya, dan dengan pengetahuannya.

  1. Pertama, sebelumnya telah ditegaskan bahwa bangsa Indonesia berdiri di atas tanah tumpah darah, tanah yang tidak netral, tetapi menyatu dengan eksistensi manusia. Dalam konteks ini, “Indonesia Raya” bukanlah dominasi atas yang lain, melainkan perwujudan dari kesatuan ekologis yang hidup dan bermartabat. Tujuan ekologis di sini adalah terciptanya tanah air yang tidak terdegradasi, tetapi dijaga sebagai tempat tinggal yang bermakna dan berkelanjutan.
  2. Kedua, frasa tersebut juga menyiratkan dimensi ekonomi sebagai kebangkitan tubuh bangsa — yakni realisasi kapasitas kerja, kreativitas, dan daya produksi yang kolektif. “Indonesia Raya” merupakan lukisan penuh makna dari kesejahteraan dan kedaulatan ekonomi, bukan hanya dalam makna material, tetapi juga dalam makna etis: bangsa yang mampu menghidupi dirinya sendiri tanpa menindas atau ditindas. Otoritas penyelenggara dengan sendirinya bukan simbol kekuasaan mutlak, tetapi simbol kedaulatan dan kemandirian dalam membentuk masa depan.
  3. Ketiga, pada tingkat epistemologis, “Indonesia Raya” adalah penanda dari bangsa yang sadar akan dirinya sendiri — bangsa yang tidak hanya hidup, tetapi tahu mengapa dan untuk apa hidup. Suatu simbol dari refleksi kolektif yang menghasilkan arah dan tujuan, bukan bangsa yang bergerak tanpa visi, tetapi bangsa yang telah membangun jiwanya, mengetahui maknanya, dan menginstitusionalisasikan pengetahuannya.
  4. Keempat, baris ini menyatukan keterlekatan pada tanah, pengelolaan dan pembangunan kehidupan, kesadaran yang terarah, dan daripadanya terbentuk horizon historis yang disebut “Indonesia Raya”: bangsa yang tidak sekadar hidup, tetapi berdaulat, bijaksana, dan mampu membimbing dirinya sendiri.

VI.

Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Tanahku, neg’riku jang kutjinta!
Indonesia Raya,
Merdeka, merdeka,
Hiduplah Indonesia Raya.

Apa yang dapat kita ambil dari larik ini adalah semacam peneguhan eksistensial atas seluruh dimensi yang telah dianalisis sebelumnya: ekologis, ekonomis, epistemologis, serta teleologis. Secara teknis musik, nampak pengulangan, namun kita memandangnya sebagai suatu reafirmasi total atas makna kebangsaan sebagai kehidupan yang telah mencapai bentuk kemerdekaannya yang utuh.

Pertama, refrain dimulai dan diakhiri dengan seruan “Indonesia Raya”. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, frasa ini mengandung makna sebagai telos nasional, yakni bentuk tertinggi dari aktualisasi ekologis (tanah hidup dan dijaga), ekonomis (bangsa yang produktif dan mandiri), dan epistemologis (bangsa yang sadar dan berpengetahuan). Indonesia Raya bukan sekadar cita-cita, tetapi pernyataan keberadaan yang harus dihidupi dan ditegaskan terus-menerus dalam kesadaran kolektif.

Kedua, seruan “Merdeka, merdeka” tidak hanya menyatakan kemerdekaan politis, tetapi mengumandangkan kemerdekaan sebagai suatu keberadaan yang penuh dan aktif. Diulang dua kali, kata ini menegaskan bahwa kemerdekaan bukan sesuatu yang terjadi sekali dan selesai, melainkan kondisi eksistensial yang terus diperjuangkan, diperbarui, dan dijaga. Dalam kerangka ini, kemerdekaan adalah dinamika hidup antara tanah, rakyat, dan kesadaran.

Ketiga, baris ini mengembalikan perhatian pada relasi primordial antara manusia dan tanah air, yang menjadi dasar dari seluruh struktur makna lagu. Cinta pada tanah dan negara bukan bersifat abstrak atau ideologis, tetapi berakar dalam keterlekatan ekologis dan tanggung jawab etikal. Dengan menyebut “tanahku” terlebih dahulu, lalu “negeriku”, lirik ini mempertegas bahwa bangsa tumbuh dari tanah — bahwa cinta kebangsaan tumbuh dari penghayatan yang mendalam terhadap tempat di mana kita bermukim, bekerja, dan mengetahui.

Keempat, “Hiduplah Indonesia Raya,” adalah seruan kehidupan — bukan hanya eksistensi biologis, tetapi kehidupan yang bernilai, berdaya, dan bermakna. Suatu ungkapan yang menyatakan bahwa Indonesia Raya bukan hanya ideal, tetapi harus hidup sebagai realitas yang dijalani: di tanah yang berkelanjutan, dalam masyarakat yang berkeadilan, dan dalam budaya pengetahuan yang reflektif. Ini adalah bentuk eksistensialisme kebangsaan: Indonesia tidak hanya ada, tetapi harus hidup sebagai bangsa yang tahu, bekerja, dan menjaga tanahnya.

VII.

Refleksi

  • Segenap uraian dari awal, hingga bagian VI, pada dasarnya adalah suatu refleksi dengan perspektif, yang memungkinkan melihat “Indonesia Raya” sebagai perwujudan dari keseluruhan gerak historis bangsa: dari berdiri di atas tanah airnya (ekologi), membangun kehidupan produktif (ekonomi), membentuk kesadaran dan lembaga-lembaga pengetahuan (epistemologi), menuju pencapaian sebuah keadaan raya — yaitu kondisi di mana semua dimensi eksistensi bangsa mencapai keutuhan dan kematangannya. Indonesia bukan hanya besar secara teritorial, melainkan penuh makna secara ontologis dan etis: suatu masyarakat yang hidup dalam relasi yang adil dengan tanahnya, dengan sesamanya, dan dengan pengetahuan yang mengarahkan hidupnya, menjadi lebih baik dan lebih bermakna.
  • Di sinilah makna kemerdekaan menemukan dimensi terdalamnya. Kemerdekaan bukan sekadar kebebasan negatif (bebas dari penindasan atau penjajahan), tetapi kebebasan positif: kemampuan untuk mewujudkan potensi sebagai bangsa, membentuk dunia bersama yang adil, berpengetahuan, dan berkelanjutan. Maka, Indonesia Raya adalah titik temu antara kemerdekaan sebagai kebebasan, dan kemerdekaan sebagai tanggung jawab. Secara begitu, tidak hanya bermakna politis, tetapi merupakan proyek kebudayaan dan peradaban —bangsa yang sadar akan tanahnya, membangun kehidupannya, dan menjaga warisan pengetahuannya, secara berkelanjutan.
  • Hendak kembali ditegaskan bahwa makna terdalam dari Indonesia Raya adalah (a) keutuhan eksistensial bangsa: menyatu dengan tanah, dengan kerja, dan dengan kesadarannya; (b) puncak kemerdekaan: bukan hanya kebebasan dari, tetapi kebebasan untuk membentuk dunia yang adil, berpengetahuan, dan bermakna; (c) tanggung jawab historis dan etis. Merdeka sepenuhnya artinya bermukim, bekerja dan berpikir serta berkebudayaan. Indonesia Raya adalah nyanyian eksistensial [ekologis, ekonomis, dan epistemologis], sebuah visi dunia yang dihuni bersama dalam kebebasan yang bermartabat. [Desanomia – 20.6.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *