Mengapa para petani ketika terlibat dalam dialog dengan kalangan di luar sektor pertanian, khususnya dengan mereka yang dianggap para petani sebagai “golongan atas”, merasa diri “rendah” atau setidak-tidak tidak setara? Jika diperhatikan lebih jauh, rasa diri tidak sejajar, sangat terasa dari perkataan dan gesturnya. Sebaliknya, yang dianggap sebagai “golongan atas”, bisa berlaku rileks, seakan-akan memang berhadapan dengan kalangan yang ada di bawahnya.
Pertanyaan reflektif yang perlu diajukan adalah mengapa hal tersebut terjadi? Darimana datangnya perasaan yang menghinggapi golongan petani tersebut? Mengapa kerja besar atau kerja ajaib dari kaum tani, yakni memproduksi bahan makanan, tidak dianggapnya sendiri sebagai kerja penting dan berharga? Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Mengapa ada dikotomi antara kerja fisik (rendah) dan kerja intelektual (tinggi)?
Dibalik
Mengapa pandangan yang menganggap bahwa kerja tani adalah kerja fisik semata, merupakan pandangan yang tidak tepat atau pandangan yang sama sekali tidak sesuai kenyataan.
Satu. Produksi pangan adalah proses yang kompleks dan berlapis. Kerja dimaksud bisa dikatakan kerja “mencipta”: dari tidak ada menjadi ada. Kerja tersebut bukan jenis kerja biasa. Tidak sekadar menanam benih dan menunggu hasil panen, namun:
(1) melibatkan suatu pengetahuan yang dapat dikatakan sebagai pengetahuan ekologis. Suatu pengetahuan yang tidak instan, melainkan hasil pengamatan, percobaan dan praksis. Yakni bagaimana memahami pola iklim, kesuburan tanah, rotasi tanaman, interaksi hama dan predator serta lingkungan, hingga keberagaman tanaman.
(2) melibatkan suatu pengetahuan yang disebut dengan pengetahuan teknis praktis atau teknologi. Pada awalnya adalah alat-alat yang dikembangkan sendiri. Namun sejalan dengan ambisi peningkatan produksi, masuklah berbagai teknik yang pada dasarnya adalah intensifikasi atau bahkan transformasi dari teknik lokal, antara lain pengairan, pengolahan lahan hingga pemupukan.
(3) melibatkan pengetahuan yang dapat disebut sebagai pengetahuan sosial dan budaya. Jika kita punya kesempatan untuk bertemu dengan sistem pertanian lama, maka akan ditemukan bagaimana kerja tani terkait erat dengan norma sosial, ritus budaya, dan pola kerjasama dalam formasi gotong royong yang berbasis komunitas. Kegiatan bersyukur ketika panen cukup, merupakan refleksi dari kesadaran bahwa kerja tani adalah juga kerja dengan bantuan tangan Yang Maha Kuasa.
Kesemuanya itu, walau belum merupakan keseluruhan dari pengetahuan yang berkembang, sesungguhnya telah dapat memperlihatkan bahwa kerja tani adalah proses yang melibatkan pengamatan yang cermat, analisis lingkungan, serta pengambilan keputusan yang strategis — semua ini menuntut suatu kapasitas intelektual yang tinggi.
Dua. Produksi pangan tidak sekedar kerja teknis, tetapi juga etis. Dari kejauhan, petani barangkali hanya dilihat sebagai mesin mekanik. Karenanya mudah diduga jika muncul anggapan bahwa keseluruhan proses ujungnya hanya panen. Mereka yang berpandangan subsisten, akan menganggap bahwa petani hanya bertahan hidup. Bagi yang berpandangan bahwa petani adalah subyek rasional, maka yang dilihat hanya perkara untung dan rugi. Tidak ada pertimbangan lain.
Karena itu, terhadap kenyataan bahwa para petani yang bijak dan telah memahami cara kerja alam, akan lebih mempertimbangkan menjaga keseimbangan ekosistem dan regenerasi lingkungan. Hal ini untuk memastikan bahwa produksi tidak berhenti hanya pada hari ini melainkan untuk hari depan yang jauh. Apa yang menjadi pertimbangan para petani tidak diwujudkan bentuk teks yang bisa diakses, melainkan melalui praktek hidup yang mengalir begitu saja, menjadi suatu sistem sosial-budaya dan ekologi. Praksis tersebut mencerminkan keputusan yang berlandaskan nilai etis bukan sekadar kerja fisik.
Tiga. Kerja tani membutuhkan adaptasi yang tinggi. Tentu saja kita semua memahami bahwa lingkungan pertanian selalu dinamis — mulai cuaca tak menentu, ancaman hama, hingga fluktuasi pasar menuntut petani untuk terus menyesuaikan strategi mereka. Yang pertama ada potensi gagal panen. Yang kedua ada potensi harga jual di bawah biaya produksi. Artinya, ada potensi petani atau produsen pangan mengalami kerugian. Oleh sebab itulah dibutukan suatu kualitas tertentu dalam beradaptasi terhadap berbagai ketidakpastian yang inheren dalam proses produksi pangan. Kualitas dimaksud adalah kreativitas, inovasi dan terus-menerus belajar serta ketekunan dalam kerja.
Dari ketiganya sangat jelas bahwa kerja tani bukan (hanya) kerja fisik biasa, melainkan suatu kerja yang layak untuk disebut sebagai kerja intelektual. Masalahnya mengapa kenyataan ini seperti tenggelam, dan sebaliknya yang berkembang adalah penilaian yang menempatkan kerja tani sebagai kerja fisik rendahan? Beberapa hal dapat ditinjau:
Satu. Warisan kolonial dan feodal. Dalam tata kolonial dan feodal, kerja tani dipandang sebagai pekerjaan kasar yang dilakukan oleh kaum bawahan, sedangkan kaum atasan (penguasa dan tuan tanah) memposisikan diri sebagai pengendali hasil pertanian. Pandangan inilah, yang dalam batas-batas tertentu, dapat dikatakan memberi sumbangan dalam membentuk kesan bahwa kerja fisik di sawah dan ladang tidak memerlukan kecerdasan, hanya sekadar “kekuatan otot”.
Dua. Industri dan modernisasi pertanian. Jika sistem lama, terkait dengan pengendalian lahan dan tenaga kerja, maka pada sistem baru yang ditandai oleh modernisasi pertanian yang berbasis mekanisasi dan kimia secara bertahap menggeser pengetahuan lokal. Sistem pengetahuan lokal tidak mendapat tempat dalam sistem pengetahuan mainstream, akibatnya kerja tani dianggap kerja yang hanya mengandalkan otot, atau minus pengetahuan. Para petani dan pekerja, dipandang hanyalah pelaksana lapangan yang hanya menjalankan prosedur, dan bukan sebagai pihak yang mengendalikan pengetahuan formal. Akibatnya, aspek intelektual yang sebelumnya melekat pada praktik “pertanian tradisional” menjadi kabur atau tidak mendapatkan tempat.
Tiga. Urbanisasi dan bias kerja perkotaan. Apa yang disebut sebagai masyarakat modern cenderung mengagungkan pekerjaan yang berbasis kantor, teknologi, dan administrasi sebagai bentuk kerja intelektual. Kerja tani yang berhadapan dengan tanah, lumpur, dan matahari dipandang seolah-olah melakukan pekerjaan yang “jadul” dan tidak membutuhkan kecerdasan. Pendidikan modern yang lebih berorientasi pada kota ikut memperkuat stigma tersebut.
Empat. Sistem ekonomi yang tidak berpihak pada petani. Harga komoditas pertanian yang rendah, disertai minimnya perlindungan terhadap petani, memperkuat kesan bahwa kerja tani adalah pekerjaan “kasar” yang bernilai rendah. Akibatnya, meskipun kerja tani menuntut keterampilan dan pengetahuan yang mendalam, pendapatan yang diterima sering kali tidak mencerminkan hal tersebut. Sementara harga kebutuhan hidup terus merangkak naik. Hal ini mengakibatkan kerja tani dipandang sama sekali tidak menjanjikan kecukupan.
Depan
Apa yang tersisa di masa depan, jika proses yang ada terus berjalan dan tidak mendapatkan koreksi kebudayaan? Apakah pertanian pangan akan digantikan dengan robot-robot yang digerakkan oleh kecerdasan imitasi (AI)? Apa artinya itu semua? Benarkah keadaan itu adalah puncak kemajuan? Ataukah sebaliknya, suatu fase terendah dalam peradaban manusia? Suatu periode dimana manusia telah tidak dapat lagi memberi penghargaan kepada manusia, dan membiarkan dehumanisasi berjalan secara vulgar dan masif.
Tentu saja refleksi yang demikian ini mengandaikan masih adanya jiwa manusia dan kemanusiaan. Dalam pengandaian tersebut dimungkinkan suatu refleksi dengan ujungnya adalah koreksi kebudayaan. Yakni suatu kesadaran yang mampu melihat dengan jelas bagaimana dehumanisasi menyelinap dalam ide kemajuan. Dengan kesadaran itulah, kita bisa berharap ada upaya kebudayaan yang memulihkan kedudukan petani (dan nelayan) dan semua pihak yang bekerja langsung di sektor pertanian (baca: agromaritim).
Apa yang dibutuhkan? Kedudukan baru dari sistem pengetahuan lokal. Apa yang dimaksud dengan sistem pengetahuan lokal? Dalam suatu pemahaman tertentu, dapat dikatakan bahwa sistem pengetahuan lokal adalah seperangkat pengetahuan, praktik, dan kepercayaan yang berkembang dalam suatu komunitas melalui pengalaman langsung dan diwariskan secara turun-temurun.
Pengetahuan ini biasanya berakar pada hubungan yang mendalam antara manusia dengan lingkungannya, mencakup pemahaman tentang ekosistem, kesehatan tradisional, pertanian, ritual sosial, hingga nilai-nilai budaya yang mengatur kehidupan komunitas tersebut. Sistem pengetahuan lokal bersifat kontekstual, artinya pengetahuan ini dibentuk dan terus berkembang sesuai dengan kondisi geografis, sosial, dan budaya di mana komunitas itu berada.
Pengertian tersebut tentu saja memiliki tantangan tersendiri jika diletakkan pada pengetahuan yang bersifat universal. Kontekstualitas dari pengetahuan “lokal”, membuatnya tidak mendapatkan “sejajar” dengan pengetahuan yang bersifat universal. Hal ini berarti jika pengetahuan lokal hendak diberi tempat, sehingga para pekerja pertanian dapat dikatakan adalah juga produsen pengetahuan, maka tidak terelakkan pentingnya suatu cara pandang baru. Suatu cara pandang yang lebih memberi hormat pada apa yang disebut pengetahuan kontekstual. Untuk itu dibutuhkan:
Satu. Pengakuan kerja tani sebagai aktivitas intelektual. Kurikulum pendidikan harus menyoroti bahwa kerja tani tidak hanya berbasis kekuatan fisik, tetapi juga mengandalkan pengetahuan yang mendalam tentang ekologi, teknologi, dan strategi. Praktik pertanian tradisional yang berkelanjutan perlu diakui sebagai bentuk kearifan lokal yang berharga. Lebih jauh dari itu, perlu kiranya membangun narasi baru bahwa petani adalah penjaga ilmu pengetahuan ekologis yang berharga akan mengangkat martabat mereka dan umat manusia.
Dua. Pentingnya pembaruan ekonomi agar lebih mendukung petani dan seluruh pekerja produksi pangan berbasis pertanian (agromaritim). Kebijakan harga pangan yang adil harus diterapkan agar kerja petani memperoleh penghargaan ekonomi yang layak. Subsidi dan insentif untuk petani yang menerapkan praktik berkelanjutan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka. Dengan kondisi ekonomi yang lebih baik, kerja tani tidak lagi dipandang sebagai pekerjaan yang bernilai rendah.
Tiga. Peningkatan akses pengetahuan dan teknologi. Dalam batas tertentu perlu suatu program pelatihan berbasis komunitas yang menggabungkan pengetahuan tradisional dengan teknologi modern dapat memperkuat kapasitas intelektual petani. Peningkatan akses terhadap teknologi yang relevan dapat memperkaya strategi bertani yang berbasis observasi dan inovasi. Petani akan semakin dipandang sebagai intelektual dan sekaligus praktisi ilmu pengetahuan, bukan sekadar pekerja fisik.
Empat. Revitalisasi budaya dan identitas petani. Praktik budaya yang menghormati kerja tani — seperti festival panen, penghargaan terhadap petani teladan, atau dokumentasi warisan pertanian tradisional — dapat membangun kebanggaan kolektif. Mengangkat narasi bahwa petani adalah penjaga ekosistem akan memperkuat posisi mereka sebagai pihak yang berperan penting dalam keberlangsungan hidup manusia. Dengan demikian, masyarakat akan mulai menghargai kerja tani sebagai kerja yang memiliki makna ekologis, sosial, dan kultural yang mendalam. [Desanomia – 16.3.25 – TM]