sumber ilustrasi: unsplash
Catatan untuk Pinurba Parama Pratiyudha
Tulisan Pinurba Parama Pratiyudha (Pinurba) berjudul Polimatik, Spesialisasi, dan Pertanian Desa (Desanomia.id, 27/3/2025), dapat dikatakan sebagai suatu terobosan intelektual yang baik dan penting. Sebagai akademisi aktif, Pinurba secara jujur menempatkan wong tani tidak lagi sebagai obyek pembangunan melainkan “manusia pembelajar” atau dapat dikatakan sebagai “intelektual”. Namun tentu, intelektual yang dimaksud di sini bukan dalam pengertian tradisional, melainkan pengertian baru, yang lebih komprehensif.
Pinurba menuliskan bahwa “wong tani adalah pembelajar kehidupan yang tidak mengenal batasan-batasan fakultatif dalam berpikir.” Ungkapan ini jelas merupakan pernyataan yang pada dirinya memuat kesaksian bahwa intelektualitas wong tani tidak sebatas yang dibayangkan kebanyakan orang, melainkan melampaui batas-batas spesialisasi. Lebih jauh Pinurba menulis, bahwa wong tani sejak dulu: “… mengembangkan pola pengetahuan yang tidak hanya berputar pada persoalan pertanian, akan tetapi mereka juga mengembangkan pengetahuan akan membaca situasi alam, membaca pola hujan, hingga mentranslasikan pertanian dalam kearifan sosial mereka.”
Keterpisahan dan Jarak
Hal yang tidak kalah menarik adalah bahwa sebagai akademisi, Pinurba ternyata juga memiliki pandangan kritis atas komunitasnya, yang dipandang makin “berjarak” satu sama lain, oleh sebab keterpisahan atau spesialisasi. Meskipun jelas menyebut diri universitas, akan tetapi dalam praktek adalah suatu multifakultas. Masing-masing pihak punya klaim tersendiri, baik terkait metode, atau substansinya.
Masalahnya tentu bukan ketika masing-masing sedang dalam pencarian keilmuan, yang besar kemungkinan menuntut pendalaman (mengerti lebih banyak atas hal yang terbatas). Masalah akan muncul ketika berhadapan dengan realitas sosial atau kehidupan nyata. Ketika mahasiswa para akademisi dilatih melalui KKN, dengan arah, selain makin mengerti kehidupan rakyat akan tetapi juga melatih mengintegrasikan ilmu dan membebaskan diri dari sikap eksklusif, dan sebaliknya memperkuat inklusifitas serta dialog.
Mungkin Pinurba ingin menggunakan lensa wong tani, untuk memperlihatkan suatu tantangan strategis bagi dunia akademi, yang tampak makin terspesialisasi ke dalam bidang-bidang yang eksklusif. Soalnya, apa yang salah dengan proses tersebut, terutama ketika ilmu “menuntut” proses pendalaman? Bukankah demikian itulah maksud dari institusi studi? Tentu masalah ini tidak bisa dijawab dengan sambil lalu. Kita membutuhkan kapasitas yang memadai untuk dapat mengurai masalah tersebut dan daripadanya masalah dapat diletakkan pada kedudukan yang benar.
Dan jika kembali menggunakan sudut pandang para produsen bahan pangan, maka suatu eksklusifitas menjadi hal yang kurang mudah dipahami. Mereka yang bergulat dalam produksi pangan, tentu punya pengalaman yang kompleks, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Pinurba. Bahkan bukan hanya di lapangan produksi tersebut. Dalam hidup sosialnya, sang subyek juga dituntut untuk menguasai banyak bidang lain, terutama yang langsung terkait dengan tata hidup bersama dalam suatu komunitas.
Pada titik inilah, kita (mungkin) bisa mengatakan bahwa kemampuan yang bersifat umum, atau suatu polimatik, merupakan keniscayaan mengingat hidup yang kompleks dan keadaan itu menuntut tanggung jawab bersama untuk mengasuhnya. Jika pulang kepada tradisi gotong royong, maka yang barangkali kurang dieksplorasi adalah bahwa tradisi tersebut tidak hanya bicara tentang bekerja bersama, melainkan juga membuka segala sekat sedemikian sehingga semua dimungkinkan mengerjakan semua. Gotong royong merupakan ruang inklusif.
Apakah dunia akademi memiliki dasar yang kuat yang memungkinkan suatu inklusifitas? Apakah seluruh cara kerja yang dikembangkannya memang akan membuka ruang kesempatan bagi perluasan pengetahuan? Apakah visi keilmuan memang mengarah kepada integrasi yang dapat merobohkan pagar-pagar pembatas keilmuan? Apakah sistem administrasi akademik, menjadi peralatan yang makin mengokohkan bangunan eksklusif atau sebaliknya, yakni membuat ilmu semakin dekat dengan realitas sosio-ekologi setempat, yang mengharuskanya lebih inklusif?
Bukan Person, Tetapi Komunitas (Kolektif)
Kekuatan Pinurba bukan hanya pandangannya yang menempatkan petani sebagai subyek yang berpikir, melainkan juga upanya mencari jalan keluar atas situasi yang dipandangnya perlu “perbaikan”. Ketika menempatkan wong tani sebagai dia yang berpikir, tentu secara implisit merupakan pernyataan bahwa produsen pengetahuan tidak hanya di dunia akademi, melainkan juga di jagat tani, yakni desa. Sikap ini sudah barang tentu merupakan pengakuan pula bahwa suatu sistem pengetahuan juga terbangun, meskipun tentu dengan cara yang sama sekali berbeda.
Masalahnya, apakah pengetahuan yang diproduksi wong tani dapat dikatakan cukup memadai? Jika dihadapkan pada kebutuhan dan kenyataan keterbatasan ruang ekologi, maka dapat dikatakan bahwa apa yang telah berkembang secara turun temurun masih membutuhkan penguatan. Pada sisi yang lain, Pinurba memandang bahwa dunia akademi, yang tidak bersentuhan dengan kenyataan kompleksitas produksi, membuatnya seperti berumah di atas angin. Mungkin sebagian mereka merasa telah menguasai segala hal. Padahal jika terjun langsung ke lapangan, sangat mungkin yang terjadi adalah kegagapan, dan bisa jadi kegagalan.
Oleh sebab itulah, pertemuan menjadi keniscayaan. Pertemuan itu sendiri mensyaratkan inklusifitas di kalangan akademi. Baik ke dalam maupun ke luar. Ke dalam artinya, mendorong dialog, kerjasama dan sinergi keilmuan atau pendekatan multidisipliner. Ke luar artinya, terbuka pada pusat-pusat pertumbuhan pengetahuan, yang dalam hal ini adalah desa. Keterbukaan dimaksud perlu diikuti dengan langkah yang dibayangkan oleh Pinurba sebagai kesediaan untuk “turun” dan berinteraksi langsung dengan wong tani dan komunitas desa.
Jadi, kebutuhan komunitas tani untuk meningkatkan kapasitas, diharapkan bertemu dengan di sisi dunia akademi yang membutuhkan cara baru yang lebih mencerminkan kemampuan polimatik ketimbang spesialisasi. Dengan bertemunya dunia akademi dengan jagat tani, maka akan terbangun suatu pergulatan pengetahuan dan sekaligus terbentuknya jaringan pengetahuan. Barangkali inilah yang dibayangkan Pinurba bahwa polimatik di masa depan bukan lagi sebagai suatu identitas dan kapasitas personal, melainkan identitas dan kapasitas kolektif (komunitas). Suatu pertemuan antara tradisi jagat tani dan tradisi keilmuan. Pinurba tengah membangun jembatannya. Kita perlu sambut dengan hangat dan antusias. [Desanomia – 5.4.25 – TM]