sumber ilustrasi: unsplash
21 Apr 2025 07.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Setiap tanggal 21 April, telah menjadi lajim diperingati sebagai hari Kartini. Bagi mereka yang punya kesempatan mengalami periode sebelum reformasi (1998) atau mereka yang sempat melakukan studi tentang peringatan hari Kartini, mungkin akan menemukan perbedaan. Bisa perbedaan yang bersifat seremonial, atau suatu perbedaan yang bersifat mendasar, yakni perbedaan dalam cara memandang peristiwa 21 April tersebut. Pada periode yang lalu, peringatan hari Kartini menjadi momen tampilnya pakaian daerah. Masing-masing daerah akan menampilkan pakaiannya tersendiri. Penampilan yang paling mencolok adalah penampilan perempuan, yang dalam hal ini menggunakan pakaian daerah dengan keanggunan dan kerumitan tersendiri. Pada umumnya penampilan perempuan menyerupai penampilan Kartini. Ada narasi tentang emansipasi, terutama merujuk pada buku Kumpulan surat-surat Kartini, yang diberi judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Bagi yang terlibat dalam studi dan terutama yang berjuang untuk melahirkan tata hidup yang adil dan setara, tentu merasakan bahwa peringatan hari Kartini, pada waktu yang lalu, tidak sekedar hanya peringatan hari lahirnya seorang tokoh perempuan, yang berjuang untuk emansipasi perempuan, melainkan menjadikan momen peringatan tersebut layaknya “pertandingan” narasi. Ada terasa upaya dari otoritas agar peringatan Kartini tidak melebar kepada masalah-masalah yang lebih mendasar, yang dapat dikatakan menjadi faktor penyebab lahirnya struktur ketidakadilan. Oleh sebab itulah, peringatan hari Kartini hanya menjadi peristiwa pertunjukan pakaian daerah, lomba busana dan di beberapa daerah lomba kegiatan domestik, seperti memasak, dan kegiatan lainnya. Ketika perubahan terjadi, maka narasi dominan mulai punya “tandingan” dengan narasi lain, yang lebih mengeksplorasi pemikiran Kartini ketimbang (hanya) “penampilan fisiknya” dalam foto yang sangat menyejarah.
Karena itu, ketika kita mencoba (kembali) untuk belajar dari Kartini, apa sebenarnya yang layak untuk menjadi bahan belajar? Dalam keterbatasan ruang dan daya eksplorasi, maka kita akan memilih sekurangnya tidak soal utama, yakni: Pertama, apa yang tidak dapat diingkari adalah kenyataan bahwa Kartini telah bersahabat dengan sangat baik, suatu persahabatan pikiran dengan pikiran dari “negeri lain”. Persahabatan pikiran tersebut berlangsung melalui media surat. Dan jika kita bicara tentang surat, maka hendaknya benar-benar dipahami bahwa surat kala itu, berbeda dengan surat di masa kini, dimana surat di masa kini telah dapat bertindak sebagai suatu percakapan langsung. Sedangkan percakapan masa lalu, lewat surat adalah jeda panjang – apalagi dengan transportasi yang masih mengandalkan perjalanan laut. Artinya butuh waktu berbulan-bulan untuk suatu percakapan. Yang dengan demikian, dapat dimengerti mengapa dalam surat-menyurat tersebut terdapat “susunan” dan “kedalaman”.
Kedua, surat-menyurat itu sendiri tidak mungkin berlangsung jika para pihak tidak dalam kesadaran akan kesetaraan manusia. Pada masing-masing pihak, menempatkan sahabatnya sebagai subyek yang memiliki pikiran, memiliki kehormatan dan memiliki masa depan. Sebaliknya, masing-masing pihak dalam kesadaran bahwa oleh karena subyek di hadapannya punya pikiran, maka untuk dapat bercakap-cakap harus ada kesediaan dari masing-masing pihak untuk terbuka pada pikiran lain. Keterbukaan atas pikiran lain, sangat penting, dan bahkan dapat dikatakan karena faktor itu pula para subyek dapat mengungkapkan pikirannya secara jernih, bebas dan penuh rasa percaya. Tentu keterbukaan pikiran bukan pertama-tama tentang pengungkapan pikiran, melainkan pada penerimaan pikiran lain. Bersedia menerima pikiran lain, adalah bentuk penghormatan yang tinggi, dan sekaligus merupakan “cara terhormat” untuk meningkatkan kualitas diri. Hanya dengan sikap terbuka, maka akan terbuka pula suatu horizon baru, yang lebih luas dan lebih banyak memberikan kemungkinan.
Ketiga, Kartini sebagai pribadi dalam system sosial yang bekerja kala itu, telah terbantu melalui keterbukaan pikirannya, yang melampui “tembok otoritas kala itu”, untuk melihat ke dalam secara lebih jelas. Bahwa apa yang dialaminya sendiri, sebenarnya bukanlah hal yang dapat dikatakan sebagai kemuliaan, melainkan keadaan yang mungkin dapat dikatakan sebagai “gelap”. Oleh sebab itulah, alih-alih melestarikan struktur dan pikiran yang menjadi “tempat hidupnya”, akan tetapi justru menyingkap dan meninggalkannya. Menyingkap dalam arti bahwa dengan terang pikirannya Kartini, memperlihatkan bagaimana relasi penuh ketidakadilan terjadi pada dirinya sebagai seorang perempuan. Meskipun mungkin jika dilihat dari luar tembok otoritas, khususnya jika dilihat dari warga kebanyakan, dia nampak hidup dalam “kecukupan”, namun dengan penyingkapannya, yang diperlihatkan bukan “bahagia”, melainkan sebaliknya. Surat-menyurat dalam hal ini menjadi semacam cara membebaskan diri dari struktur yang memuat ketidakadilan tersebut. Dia tidak ingin melestarikan struktur tersebut, tetapi ingin membebaskan diri daripadanya.
Keempat, rupanya, walaupun Kartini berkorespondensi dengan sahabatnya yang Eropa, namun hal tersebut tidak membuatnya kehilangan daya kritis dan ketajaman pandangan atas kenyataan yang berlangsung. Yang dimaksud adalah kenyataan kolonialisme yang tengah berlangsung, dan kenyataan penderitaan rakyat akibat dari dari kolonialisme tersebut. Kartini tentu memahami bagaimana kolonialisme bersimbiosis dengan feodalisme. Yang kolonial tidak perlu berhadapan langsung dengan warga, namun dengan memanfaatkan struktur yang tidak adil itulah kolonialisme dapat memperoleh keuntungan yang berlipat-lipat. Dalam kerangka tersebut, sangat terlihat bagaimana Kartini menolak untuk bodoh dan diam dalam aksi pembodohan yang berjalan sangat sistematik. Karena itu pula, sangat dipahami jika Kartini, sebagaimana para pejuang anti colonial pada masanya, yang melihat bahwa pendidikan merupakan salah satu jalan emansipasi. Tentu pendidikan bukan dalam pengertian saat ini yang menempatkan subyek didik sebagai “mereka” yang tengah hendak mengakses dunia kerja, melainkan Pendidikan yang membebaskan subyek dari struktur ketidakadilan.
Apakah ada aspek lain di luar keempat aspek di atas? Tentu saja ada. Eksplorasi lebih jauh sangat dibutuhkan. Mengapa? Agar kita memperoleh lebih kaya lagi pemahaman atas pengalaman Kartini yang hidup dalam tiga dunia sekaligus, yakni (1) dunia yang merendahkan martabat perempuan sebagai manusia, (2) dunia yang menempatkan warga kebanyakan sebagai mereka yang tidak berhak, karena segala sumberdaya ada dalam kuasa otoritas kultural, dimana warga kebanyakan hanya sebagai “orang kontrakan”, dan (3) dunia yang menempatkan warga kebanyakan sebagai layaknya “pengungsi” di negerinya sendiri. Kartini dalam posisinya tersebut menolak untuk “bodoh” dan terus-menerus “diperbodoh”, atau memiliki keyakinan bahwa dirinya berhak untuk tidak “bodoh”. Mungkin telah tiba waktu dimana lentera Kartini digunakan untuk melihat apa yang kini tengah berlangsung. [Desanomia – 21.4.25 – TM]