Kebangkitan Epistemologi Desa

Sumber ilustrasi: pixabay

20 Mei 2025 12.20 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika percakapan atau bahkan kajian epistemologi merupakan arena publik, maka akan terbuka berbagai kemungkinan, yang tidak selalu didasarkan kepada apa yang telah menjadi “mapan” dan eksklusif. Sebagaimana diketahui bahwa dalam “arena tertentu”, pengetahuan berkembang dengan peralatan yang dibakukan, sedemikian sehingga penemuan suatu pengetahuan tertentu di luar “kebakuan” tersebut, akan mudah dieksklusi, dengan berbagai kategori, yang pada dasarnya adalah “penilaian”, bukan suatu dialog dengan arah eksplorasi. Dalam arena lain, yakni dalam kerangka ilmu kealaman, dialog terjadi dengan realitas itu sendiri, yang secara demikian pengetahuan akan diuji kesesuaiannya dengan realitas.

Atas dasar pandangan bahwa arena pemikiran merupakan ruang kemungkinan bagi publik, maka dengan sendirinya arena dimaksud pada dirinya secara inheren termuat kebebasan, laksana dalam dunia akademi terdapat ruang kebebasan akademik. Dengan pemahaman dan kesadaran itulah, hendak diajukan pemikiran yang disebut di sini sebagai epistemologi desa. Sebagaimana telah menjadi kelaziman bagi mereka yang terbiasa dengan topik tersebut, suatu epistemologi dimengerti sebagai disiplin filsafat. Suatu disiplin yang tidak hanya mempertanyakan bagaimana kita mengetahui, tetapi juga siapa yang berhak mengetahui dan dari mana pengetahuan dianggap sah. Dan dalam konteks inilah, hendak diajukan suatu tilikan ke suatu medan yang selama ini terabaikan dalam peta epistemik dominan: desa.

Desa dalam hal ini tentu bukan sebagai lokasi geografis atau entitas administrasi belaka, melainkan sebagai ruang epistemik yang melahirkan dan mempertahankan cara-cara mengetahui yang khas. Istilah “epistemologi desa” dimunculkan sebagai ungkapan untuk merujuk pada pengetahuan yang tumbuh dari pengalaman hidup, kebudayaan, dan relasi sosial komunitas desa. Jika selama ini desa hanya dilihat dalam kerangka administrasi, politik pemerintahan, lumbung suara ketika musim pemilu datang, atau obyek pertanian, mengingat desa menyediakan lahan, tenaga kerja dan sumber daya pendukungnya, maka kini tiba waktu untuk melihat desa sebagai komunitas epistemik.

Sangat disadari bahwa pandangan ini akan mengundang pertanyaan, dan mungkin persetujuan atau ketidaksetujuan. Karena itu, pandangan yang sedang disorong ke depan ini hendak diletakkan sebagai proposal epistemik. Dan persis dalam posisi itu, proposal akan diletakkan dalam momen historis, yakni kebangkitan nasional. Jadi secara sederhana ingin diajukan proposal, apakah mungkin melihat desa sebagai komunitas epistemik. Pertanyaan ini diajukan, dengan suatu pengandaian, bahwa pengakuan yang nyata atas kenyataan bahwa desa merupakan komunitas epistemik, pada gilirannya akan membawa implikasi yang luas dan mendasar. Yakni, desa akan mendapatkan kedudukannya secara utuh, tidak lagi sebagai obyek (atau ditulis subyek, namun dengan pandangan yang tetap meletakkannya sebagai obyek), melainkan sebagai subyek yang berpikir dan berbudaya. Desa dengan demikian berhak untuk merumuskan sendiri problem yang dihadapi, dan mengajukan jalan keluar sendiri, berdasarkan pikirannya sendiri. Inilah yang ingin disebut sebagai kebangkitan epistemologi desa.

***

Epistemologi desa, yang dimaksudkan di sini, bukanlah sekadar pengetahuan teknis tentang pertanian, ritual, atau pengobatan tradisional. Yang dimaksud mungkin sekali tidak kongruen dengan pemikiran mainstream tentang epistemologi. Yang dimaksud adalah pengetahuan yang tidak saja tentang hal mengetahui, melainkan juga terkait dengan hal berada. Artinya, cara hidup dan cara mengetahui yang terikat satu sama lain secara erat. Dalam dunia kehidupan desa, pengetahuan tidak bersifat terpisah dari praksis sosial, spiritualitas, dan lingkungan hidup. Ia hadir melalui tubuh yang bekerja, melalui cerita yang dituturkan, dan melalui interaksi ekologis yang terjaga selama generasi.

Ciri pertamanya, secara umum yang mungkin bisa diakses oleh siapa saja, adalah suatu pengetahuan yang berbasis pengalaman hidup (lived experience). Dengan kosa kata studi filsafat, mungkin akan dikatakan pengetahuan desa dibangun secara fenomenologis, yakni melalui interaksi langsung manusia dengan tanah, cuaca, tumbuhan, hewan, dan sesama manusia. Bagi yang terbiasa dengan metode ilmiah, maka dengan mudah mengatakan bahwa jenis pengetahuan ini berbeda dengan pengetahuan ilmiah, yang bergantung pada representasi, abstraksi, dan eksperimen laboratorium. Dalam epistemologi desa, pengalaman adalah sumber dan ukuran validitas.

Kedua, epistemologi dapat dikatakan bersifat komunal dan intergenerasional. Pengetahuan tidak (hanya) dimiliki individu, melainkan dikolaborasikan secara sosial dan diwariskan melalui ritus, cerita, nasehat dan praktik. Di sinilah letak karakter naratif dari epistemologi desa. Pengetahuan bukan disusun dalam proposisi-proposisi formal, tetapi dalam bentuk cerita rakyat, mitos, atau pepatah yang menyimpan kearifan hidup. Bagi yang tidak terbiasa, format narasi akan dilihat sebagai kelemahan. Sementara bagi mereka yang hidup di desa, narasi bukanlah kelemahan, melainkan ekspresi dari sebuah rasionalitas alternatif yang mengakar pada konteks historis dan sosial tertentu.

Lebih lanjut, epistemologi desa mungkin juga akan dilihat sebagai suatu pengetahuan yang juga menampilkan etika ekologis dan sosial. Epistemologi ini tidak menempatkan alam sebagai objek eksploitasi, melainkan sebagai mitra dalam kehidupan. Inilah bentuk pengetahuan yang menolak dikotomi subjek-objek dalam relasi pengetahuan, dan justru menekankan keterhubungan yang saling merawat. Dalam pengertian ini, epistemologi desa mungkin tampak tidak sejalan dengan struktur rasionalitas modern yang instrumental dan antroposentris.

***

Berbicara tentang kebangkitan epistemologi desa berarti menempatkan pengetahuan desa ke dalam ruang pengetahuan, mungkin mirip dengan ruang dimana studi filsafat berlangsung, sebagai sesuatu yang layak diakui, dipulihkan, dan dikembangkan. Istilah “kebangkitan” di sini tidak sekadar menunjukkan gerakan historis, melainkan sebuah proyek proposal epistemik, untuk mempertimbangkan kemungkinan baru untuk mengatasi ketimpangan epistemik yang berlangsung lama.

Pertama, dalam batas-batas tertentu, kebangkitan ini berarti dekolonisasi pengetahuan. Selama berabad-abad, epistemologi modern yang lahir “dari luar” telah mendominasi tata cara berpikir global. Pengetahuan lokal (dalam serial Dialog disebut tahupat – pengetahuan setempat), termasuk yang berasal dari desa, dianggap inferior, tak rasional, atau tidak ilmiah. Kebangkitan epistemologi desa hendak menyingkap hierarki ini dan memperlihatkan bahwa klaim universalitas pengetahuan tidak berdiri di atas kebenaran netral, melainkan pada relasi kuasa, atau sesungguhnya adalah struktur kekuasaan.

Kedua, kebangkitan epistemologi desa menuntut pengakuan atas pluralitas epistemik. Ini bukan berarti menolak sains atau modernitas, tetapi menolak dominasi satu model epistemik atas yang lain. Secara sederhana, epistemologi desa hadir sebagai pelengkap, dan bukan suatu koreksi terhadap cara mengetahui yang terlalu abstrak, dekontekstual, dan terlepas dari dunia-hidup manusia. Epistemologi desa adalah tawaran koeksistensi epistemik.

Ketiga, jika bisa diterima, maka suatu kebangkitan pada gilirannya akan membutuhkan revitalisasi praksis pengetahuan desa. Pengetahuan lokal bukan hanya untuk diarsipkan dalam jurnal antropologi, tetapi untuk dihidupkan kembali dalam kebijakan, pendidikan, dan kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu, epistemologi desa, harus dikembangkan dari dalam, oleh komunitas desa sendiri, bukan oleh agen luar yang memperlakukan desa sebagai “data”.

Sekali lagi, kebangkitan epistemologi desa berarti menghadirkan desa sebagai subjek epistemik, bukan sebagai objek pembangunan. Desa tidak sekadar tempat bagi proyek modernisasi, melainkan ruang bagi penciptaan dan penyebaran pengetahuan yang relevan bagi kehidupan manusia dan keberlanjutan ekologis. Dengan desa sendiri sebagai subyeknya.

***

Urgensi kebangkitan epistemologi desa terletak pada krisis epistemik global yang dihadapi umat manusia hari-hari ini: perubahan iklim, ketimpangan sosial, dan keterasingan manusia dari alam. Epistemologi modern, dengan pendekatan yang reduksionistik dan utilitarian, dapat dikatakan telah bertemu dengan bukti bahwa jika hanya mengandalkan satu bentuk epistemologi, tidak cukup untuk menjawab kompleksitas zaman. Pengetahuan yang bersumber dari dunia-hidup desa, yang menghargai relasi sosial dan ekologis, menawarkan alternatif yang tidak hanya lokal, tetapi juga universal dalam semangatnya.

Bagi yang telah menyadari akan perlunya kehadiran epistemologi, mungkin akan mengatakan bahwa kebangkitan epistemologi desa juga mendesak dari segi keadilan. Mengakui epistemologi desa berarti mengakui martabat komunitas yang selama ini dipinggirkan. Bahkan mungkin akan dikatakan bahwa pengakuan dan kehadiran epistemologi desa adalah langkah menuju “demokratisasi pengetahuan”, di mana semua komunitas memiliki hak untuk menjadi produsen pengetahuan, bukan hanya konsumen atau objek dari klaim kebenaran ilmu.

Beberapa langkah bisa dipertimbangkan untuk menginiasi langkah strategis mewujudkan kebangkitan epistemologi desa: 1. Membangun ruang kajian epistemologi desa dalam pendidikan tinggi, yang tidak sekadar mendokumentasikan, tetapi mengembangkan teori dari dan untuk komunitas lokal; 2. Mendorong kebijakan berbasis pengetahuan desa, khususnya dalam bidang pertanian, lingkungan, dan kesehatan, dengan menjadikan epistemologi desa sebagai sumber daya intelektual. 3. Menguatkan komunitas desa sebagai produsen pengetahuan, melalui pelatihan, teknologi “tepat guna”, dan kolaborasi setara antara akademisi dan warga desa. Dan 4. Menulis ulang narasi pengetahuan nasional, agar tidak lagi berpihak pada kota, modernitas, dan sains formal semata, tetapi membuka diri pada pluralitas epistemik. Dalam kerangka ini kebangkitan epistemologi desa tidak bisa dilihat sebagai romantik tentang masa lalu, tetapi proyek emansipatoris untuk masa depan. [Desanomia – 20.5.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *