Kembali ke Desa

Sumber ilustrasi: pixabay

Oleh: Untoro Hariadi
25 Apr 2025 14.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Memudar

Di suatu sore yang teduh, saya duduk bersama beberapa anak muda di teras rumah kayu di pinggiran desa. Mereka datang dari kota—bukan sekadar pulang untuk liburan, tapi benar-benar kembali. Bukan hanya mencari ketenangan, tapi membangun ulang harapan.

“Aku capek hidup kota,” ujar seorang teman dengan mata menerawang. “Kerja pagi sampai malam, uang habis buat sewa dan transportasi. Rasanya kosong.”

Pengakuan itu bukan cerita tunggal. Ia menjadi narasi kolektif dari generasi yang mulai mempertanyakan janji kota: kemajuan, kemakmuran, dan kebebasan. Kota yang dulunya menjadi magnet kini mulai kehilangan daya tarik. Survei Katadata Insight Center (2023) menyebutkan bahwa 47% anak muda produktif ingin hidup dan bekerja di daerah asal, jika tersedia akses dan kesempatan yang layak.

Hidup di kota tidak lagi identik dengan keberhasilan. Banyak yang terjebak dalam rutinitas kerja yang menjemukan, pengeluaran tinggi, keterasingan sosial, serta beban psikologis akibat kompetisi yang tiada henti. Kota memberi kesempatan, tetapi seringkali tanpa kualitas hidup yang layak.

Pandemi COVID-19 juga menjadi penggugah kesadaran. Banyak orang mulai menyadari bahwa bekerja bisa dilakukan dari mana saja, bahwa kedekatan dengan keluarga dan alam adalah hal yang tak tergantikan. Pandemi menghidupkan kembali imajinasi tentang desa sebagai ruang alternatif.

Asing

Namun desa hari ini bukan tempat yang sepenuhnya siap menjadi ruang harapan. Model pembangunan selama ini justru memperlemah akar-akar desa. Desa didesain menyerupai kota kecil: pembangunan fisik digenjot, lahan dikomersialkan, dan masyarakat didorong untuk mengejar logika pasar. Semua bergerak cepat, namun sering kali tanpa arah yang memihak warga.

Pembangunan kerap datang dari luar, dari atas, dan melupakan suara warga. Tanah-tanah produktif dialihfungsikan menjadi kawasan industri, hutan-hutan dibuka demi pertambangan, dan sumber daya air mulai diprivatisasi. Banyak warga menjadi penonton di tanah sendiri, terpinggirkan oleh logika investasi.

Pendidikan formal dan media arus utama juga menanamkan anggapan bahwa desa adalah tempat ketertinggalan. Nilai-nilai lokal seperti gotong royong, kemandirian pangan, atau kesederhanaan dianggap tak relevan. Padahal justru nilai-nilai itulah yang menjadi fondasi ketahanan di tengah krisis global.

Akibatnya, banyak desa kehilangan jati dirinya. Anak muda yang ingin bertani tidak lagi memiliki lahan. Pengetahuan lokal tidak diwariskan. Sistem produksi pangan tergantikan oleh produk instan. Desa menjadi bagian dari rantai konsumsi global tanpa kendali.

Titik Balik

Namun arah itu mulai dibalik oleh gelombang anak muda yang memilih kembali ke desa. Mereka datang bukan karena kalah di kota, melainkan karena ingin membangun kehidupan yang utuh. Mereka membawa ide, teknologi, dan semangat untuk merawat kehidupan, bukan sekadar mengejar keuntungan.

Di Bantul, sejumlah anak muda menginisiasi terbentuknya “Desanomia Kampus Tani”, suatu gagasan yang bertujuan untuk mewujudkan Desa Cukup Pangan berbasis sumber daya, sistem sosial dan sistem pengetahuan setempat. Gagasan ini dikolaborasikan dengan komunitas dan Pemerintah Desa Patalan, terutama dalam hal penyediaan lahan. Walaupun gagasan ini baru saja dijalankan, namun respon dari masyarakat, praktisi, peneliti dan akademisi sangat positif.

Di Kulon Progo, komunitas “Gubug Pangan” menjadi contoh nyata. Anak-anak muda mengelola pertanian organik dengan filosofi cukup dan berbagi. Mereka tidak hanya menjual hasil panen, tapi juga membagikannya ke warga yang membutuhkan, tanpa harga pasar yang menindas.

Di Banyuwangi, gerakan digitalisasi desa memungkinkan petani memasarkan produk mereka melalui platform online. Anak muda menjadi penghubung antara desa dan pasar, sekaligus pelindung nilai-nilai lokal.

Gerakan ini tidak besar, tapi terus tumbuh. Di berbagai daerah, kita menemukan pemuda desa yang mengelola ekowisata, membangun sekolah komunitas, membuka perpustakaan kampung, hingga menghidupkan kembali budaya lokal. Mereka menciptakan makna baru tentang “tinggal di desa”.

Ruang Hidup

Desa bukan hanya tempat tinggal, tetapi ruang hidup yang utuh. Ia adalah sekolah, tempat kerja, tempat ibadah, dan ruang sosial sekaligus. Desa menyimpan kemungkinan besar untuk menjadi pusat inovasi sosial, pertanian berkelanjutan, pendidikan alternatif, dan ketahanan pangan.

Namun hal ini hanya mungkin jika pembangunan berpihak pada warga. Kita butuh pendekatan pembangunan yang mendengarkan suara lokal, melindungi sumber daya alam, dan merawat solidaritas sosial. Desa tidak perlu menjadi kota kecil. Ia cukup menjadi desa yang kuat dengan jati dirinya.

Desa adalah rumah bersama—ruang hidup yang dibangun bukan hanya dengan batu dan semen, melainkan dengan nilai dan rasa. Di sanalah tanah menjadi sumber pangan, dan air menjadi sumber kehidupan. Tanah dan air bukan komoditas, melainkan warisan yang harus dijaga dan dimanfaatkan secukupnya, sesuai prinsip hidup selaras dengan alam. Ketika desa mampu mengelola sumber dayanya dengan arif, maka keberlangsungan generasi mendatang bisa dijamin.

Kekayaan desa tidak diukur dari seberapa besar investasi yang masuk, tapi dari bagaimana desa dapat mencukupi hidup warganya dengan sumber daya yang ada. Pengelolaan yang bijak atas tanah dan air akan menjaga daya dukung lingkungan tetap lestari. Inilah yang membedakan desa dengan kota: orientasinya bukan eksploitasi, tapi keberlanjutan; bukan pertumbuhan tak terbatas, tapi keseimbangan dan cukup.

Penutup

Kembalinya anak-anak muda ke desa bukan sekadar fenomena sosial, tapi tanda perubahan arah berpikir. Ketika ruang urban kehilangan makna, desa muncul sebagai ruang harapan: tempat orang bisa hidup lebih cukup, lebih terhubung, dan lebih bermakna.

Namun harapan itu perlu disiapkan. Desa tidak serta merta menjadi ruang ideal. Ia perlu dibangun dengan kesadaran, bukan dengan penyeragaman. Perlu dijaga agar tetap menjadi milik warganya sendiri.

Karena kembali ke desa, pada akhirnya, bukan tentang berpindah tempat. Tapi tentang membangun cara hidup yang baru—lebih manusiawi, lebih membumi.

Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *