Kembang Pete

sumber ilustrasi: pixabay

17 Apr 2025 08.15 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Suatu sore, di persimpangan jalan, ketika lampu lalu lintas bekerja, musisi jalanan mengalunkan “Kembang Pete” Iwan Fals, dengan kualitas suara yang mirip. Tentu yang mendengar tergerak untuk melihat sang pelantun, karena suaranya yang sanggup membawa pesan yang tersusun dalam teks:

Kuberikan padamu setangkai kembang pete
Tanda cinta abadi namun kere
Buang jauh-jauh impian mulukmu
Sebab kita tak boleh bikin uang palsu

Kalau di antara kita jatuh sakit
Lebih baik tak usah ke dokter
Sebab ongkos dokter di sini, terkait di awan tinggi

Cinta kita cinta jalanan, yang tegar mabuk di persimpangan
Cinta kita cinta jalanan, yang sombong menghadang keadaan

Belum sempat berlanjut, lampu hijau memaksa gerak, meninggalkan suara penuh makna. Kita tidak tahu, apakah yang bernyanyi menyanyikan secara persis maksud dari pencipta lagu tersebut? Apa sebenarnya yang berkecamuk dalam diri pencipta lagu, sehingga yang muncul adalah teks tersebut. Apakah pencipta lagu menyampaikan apa yang ada dalam perasaannya, ataukah perasaan tersebut sekedar menjadi saluran dari ragam perasaan di luar sana, yang setiap hari harus berjuang untuk kelangsungan hidup, martabat dan cintanya?

Jika yang terakhir yang tengah berlangsung, mengapa seperti itu? Bukankah tata negara mengatakan bahwa rakyat punya wakil rakyat, yang hak adanya dan seluruh fasilitas yang dimilikinya, terkait langsung dengan kehidupan rakyat. Mengapa bukan para wakil rakyat yang bersuara agar kebijakan membuat hidup rakyat semakin mudah, sehingga hari-hari mereka adalah rasa senang, dan bukan perjuangan harian, dengan ketidakpastian. Mengapa lagu yang menjadi pembawa pesan? Dan apa sebenarnya pesan yang hendak disampaikan lewat “udara” tersebut?

Ruang Ekonomi

Apabila lirik lagu kita biarkan mengalir dalam diri, dan dibiarkan untuk menjelaskan dengan caranya sendiri, barangkali terungkap beberapa soal berikut: Pertama, tentang rasa batin, yang nampak gundah, karena ternyata tempatnya bermukim tidaklah seperti yang diharapkannya. “Kuberikan padamu setangkai kembang pete // Tanda cinta abadi namun kere” Mengapa ruang yang ada hanya menyediakannya kembang pete, dan bunga mawar merah? Akhirnya, harus dikatakannya bahwa kendati hanya kembang pete, tetapi itulah tanda “cinta abadi”, dan karena hanya kembang pete, maka dikatakannya: kere.

Kita merasa keadaan tidak berdamai dengan “rasa batin”. Ada cinta, tetapi juga ada pengakuan akan “ketidakmampuan” structural untuk ambil bagian dalam ruang ekonomi uang, yang mungkin tanpa disadari penghuninya telah menstandarkan cinta, hubungan, dan kehidupan dengan nilai tukar. Ekspresi cinta telah menjadi fungsi daya beli. Ungkapan lirik tersebut, barangkali dapat dipahami sebagai kesaksian bahwa relasi manusia telah dikonstruksi oleh apa yang bisa dibeli, diberikan, atau dipamerkan. Kembang pete merupakan bentuk kesadaran bahwa subjek yang tidak memenuhi standar nilai dominan.

Kedua, “Buang jauh-jauh impian mulukmu // Sebab kita tak boleh bikin uang palsu” – bagian ini seperti hendak menegaskan bahwa masalahnya bukan hanya kenyataan dimana relasi batin, telah berubah menjadi relasi layaknya jual beli, melainkan juga daya beli ternyata menjadi dasar keabsahan atas keberadaan. Apa yang disebut sebagai Impian muluk, sebenarnya tidak dibatalkan karena tidak realistik, atau terlalu tinggi, melainkan karena daya dukung “legal” tidak dimilikinya. Ketika dikatakan bahwa “sebab kita tak boleh bikin uang palsu”, mungkin pertama-tama bukanlah tentang tindak kriminal (yang memang demikian itu seharusnya, bahwa pemalsuan merupakan perbuatan melawan hukum), melainkan menyiratkan bahwa satu-satunya bentuk impian yang sah adalah yang kompatibel dengan ruang ekonomi yang ada. Keadaan seakan-akan telah menuliskan ketentuan bahwa impian ideal adalah impian dengan jaminan finansial yang memadai, termasuk cinta.

Ketiga, “Kalau di antara kita jatuh sakit // Lebih baik tak usah ke dokter // Sebab ongkos dokter di sini, terkait di awan tinggi” – bagian ini masuk lebih dalam, bukan hanya kesulitan rasa batin untuk terungkap, melainkan juga perawatan tubuh fisik ketika penyakit datang tanpa diundang. Sakit tidak lagi berarti kondisi yang membutuhkan perawatan, tetapi masalah finansial. Publik pada umumnya tentu tidak senang untuk masuk ke dalam kerumitan system, yang hampir secara keseluruhan telah menjadi fungsi daya beli. Para terpelajar ada yang menyebut keadaan ini sebagai bentuk menuju sempurna dari praktek privatisasi sektor kesehatan. Negara dalam hal ini juga seperti tidak punya daya, karena pelaksanaan konstitusi, seperti dengan mudah dapat diinterupsi oleh nalar ekonomi. Tubuh warga, bukan bagian dari berkah, melainkan menjadi beban ekonomi. Karena itulah, lirik menyarankan jika sakit tidak usah ke dokter. Administrasi tidak merawat tubuh warga, melainkan memfilter mana yang layak dirawat, berdasarkan kriteria ekonomi dan produktivitas.

Kempat, “Cinta kita cinta jalanan, yang tegar mabuk di persimpangan // yang sombong menghadang keadaan” – bagian ini terasa bahwa sang subyek, yakni dia yang bermukim di lapis bawah struktur sosial, merasa perlu menyatakan posisinya, terhadap apa yang dirasakannya sebagai marjinalisasi. Cinta jalanan berangkali adalah jenis proklamasi yang marjinal, bahwa kendati syarat-syarat formal tidak dipenuhinya, tetapi dia juga punya hak untuk “hidup” dan merdeka. Mereka tentu harus bertahan dengan tegar, kendati “mabuk” atau dalam keadaan kehilangan arah, atau terombang dalam ketidakpastian dan persimpangan. Karena ruang tidak memberi mereka janji yang dapat dipegang. Namun toh: “Sombong menghadang keadaan” – suatu keteguhan dalam merawat hak, yang walaupun dalam marjinalitas masih memiliki kehormatan sebagai warga bangsa.

Keempat bagian tersebut, tentu hanya sebagian yang bisa kita peroleh dari kekayaan makna yang terkandung dalam lirik, yang mungkin beresonansi dengan mereka yang bermukim berdesak-desakan di lapis bawah piramida sosial. Kini, telah mungkin telah hampir tiga dekade, sejak lirik lagu tersebut dipersiapkan. Dan telah demikian banyak subyek yang melantunkannya di udara, dan mungkin telah demikian banyak telinga yang mendengarkannya. Namun, keadaan tidak kunjung membaik, dan malah sebagian mengatakan yang terjadi kini adalah pemburukan. Mungkinkah ini adalah tanda bahwa sudah waktu dipikirkan kembali ruang ekonomi kita. Agar ekonomi tidak dibiarkan abstrak tanpa “rumah”. Barangkali masalah akan dapat diatasi jika ekonomi menyadari bahwa dirinya seharusnya berumah, dan rumah idealnya adalah realitas sosial-ekonomi setempat. Itulah desa. [Desanomia – 17.4.25 – TM]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *