Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: Pandu Sagara
3 Juni 2025 08.40 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Salah satu soal yang menjadi refleksi dalam peringatan hari lahir Pancasila, adalah realitas kemiskinan dan ketimpangan sosial. Apa yang menjadi pertanyaan adalah mengapa kepentingan emansipasi sosial tidak menjadi garda terdepan dalam kebijakan publik. Apa yang diucapkan tidak dengan sendirinya menuntun pada keputusan yang operasional. Jika komitmen telah digariskan, langkah telah diayunkan, lantas mengapa maksud tidak dapat sampai dengan baik? Inilah yang menjadi pokok refleksi. Yakni apakah hal ini terkait dengan teknikalitas operasional kebijakan, ataukah terkait cara pandang kita terhadap realitas sosial?
Sebagian kalangan telah memberikan pandangan tentang operasionalisasi kebijakan, terutama apa yang seringkali disebut: (1) ketidakakuratan, atau salah sasaran; (2) data yang belum kunjung dapat disatukan, yang sering pula ditunjuk sebagai penyebabnya; dan (3) koordinasi dan sinkronisasi program, yang dipandang kurang mencerminkannya kerja dalam satu orkestrasi yang efektif dan efisien. Sebagian yang lain, melihat masalah yang ada sebenarnya melampui masalah operasional tersebut, melainkan terkait dengan cara pandang. Atau terkait dengan bagaimana masalah sosial dilihat.
Jika pokok kedua tersebut yang menjadi titik refleksi, maka soal berikut ini layak didorong ke depan, yakni bahwa di tengah apa yang disebut sebagai kemajuan pembangunan dan klaim penurunan kemiskinan yang terus digaungkan oleh otoritas, muncul pertanyaan mendasar: apakah angka kemiskinan yang selama ini digunakan benar-benar mencerminkan kenyataan di lapangan? Pertanyaan ini diajukan, karena relevansinya terkait dengan apa yang dilukiskan sebagai kenyataan dimana jutaan warga masih berjuang memenuhi kebutuhan dasar, terjebak dalam kerja informal, hidup tanpa jaminan sosial, dan tak jarang terlupakan dalam peta kebijakan nasional.
Kita selama ini mengandalkan garis kemiskinan berbasis pengeluaran minimum yang dihitung oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Garis ini mencerminkan ambang pengeluaran yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pokok makanan dan non-makanan, seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp 595.242 per bulan. Artinya, siapa pun yang membelanjakan lebih dari jumlah ini dianggap tidak miskin. Namun, angka ini menuai kritik karena dianggap terlalu rendah dan tidak merefleksikan biaya hidup layak, terutama di wilayah urban, pesisir, dan daerah terpencil yang memiliki karakteristik sosial-ekonomi berbeda.
Pandangan kritis ini mengemuka dalam berbagai diskusi kebijakan publik. Beberapa ekonom dan aktivis sosial menilai bahwa standar tersebut gagal menangkap kenyataan yang lebih kompleks. Garis kemiskinan yang rendah berdampak langsung pada penyempitan cakupan penerima bantuan sosial dan mengecilkan skala persoalan sosial yang sesungguhnya. Lebih parah lagi, ketika garis itu dijadikan alat ukur keberhasilan pembangunan, maka yang terlihat hanyalah gambar semu penurunan kemiskinan, sementara masyarakat tetap hidup dalam kekurangan struktural.
Bukan hanya garis pengeluarannya yang dipersoalkan, tetapi juga dimensi pengukuran itu sendiri yang terlalu sempit. Kemiskinan adalah gejala multidimensi. Seseorang bisa jadi secara statistik tidak miskin karena pengeluarannya di atas garis, tetapi tetap hidup dalam kondisi rawan—tidak memiliki akses terhadap air bersih, sanitasi, pendidikan bermutu, layanan kesehatan dasar, atau jaminan pekerjaan layak. Maka, pendekatan moneter saja tidak cukup. Dibutuhkan pengukuran kemiskinan yang melibatkan indikator sosial, lingkungan, dan institusional, sebagaimana yang digunakan dalam indeks kemiskinan multidimensi (IKM) oleh UNDP. [IKM merefleksikan deprivasi terhadap kapabilitas yang dialami oleh masyarakat miskin, seperti pendidikan, kesehatan dan standar hidup. – lihat https://theprakarsa.org/ikm/]
Perbandingan dengan standar internasional juga memperlihatkan disparitas yang signifikan. Bank Dunia, misalnya, menggunakan garis kemiskinan ekstrem sebesar US$2,15 per hari, serta garis US$3,65–US$6,85 per hari untuk negara berpendapatan menengah bawah seperti Indonesia. Jika standar ini yang digunakan, maka jumlah masyarakat miskin Indonesia jauh lebih besar daripada angka yang dilaporkan secara resmi oleh BPS. Di sinilah letak paradoks, satu kenyataan, dengan pendekatan yang berbeda-beda, akan diperoleh beberapa angka, dan tentu dengan beberapa kisah pula tentang kemiskinan. Ada versi yang menampilkan tren perbaikan, sementara versi menyingkap kerentanan yang tersembunyi.
Masalahnya menjadi semakin kompleks ketika kita mempertimbangkan kelompok masyarakat yang baru saja keluar dari status “miskin ekstrem.” Mereka yang kerap disebut sebagai “nyaris miskin” atau “hampir miskin” menghadapi dilema serius. Di atas kertas, mereka tidak lagi tergolong miskin sehingga tidak berhak menerima bantuan sosial. Namun, dalam praktiknya, mereka masih menghadapi biaya hidup tinggi, pendapatan tidak tetap, serta tidak memiliki cadangan ekonomi untuk menghadapi krisis. Kelompok ini sangat rentan mengalami kemiskinan kembali hanya karena satu kejadian kecil seperti sakit, kehilangan pekerjaan, atau naiknya harga kebutuhan pokok.
Sayangnya, kebijakan sosial kita belum cukup adaptif untuk mengantisipasi dinamika ini. Jaring pengaman sosial belum dirancang untuk mendampingi proses mobilitas sosial ke atas secara berkelanjutan. Fokus pemerintah cenderung pada “keluar dari kemiskinan,” tetapi lupa menjamin keberlanjutan setelah itu. Tanpa intervensi struktural yang berkesinambungan, masyarakat yang baru naik kelas sosial tetap hidup di tepi jurang kemiskinan, dan suatu saat bisa jatuh kembali.
Benang merah dari semua persoalan ini adalah perlunya redefinisi terhadap kemiskinan dalam konteks Indonesia kontemporer. Tidak cukup hanya menaikkan garis kemiskinan secara nominal. Lebih dari itu, kita butuh “transformasi” epistemologis, yaitu bagaimana kita memahami, mengukur, dan menangani kemiskinan sebagai fenomena sosial yang kompleks dan dinamis. Ini termasuk mempertimbangkan konteks spasial (desa, kota, pesisir, perbatasan), karakteristik kelompok rentan (perempuan, disabilitas, pekerja informal), serta dimensi nonmoneter (akses, kualitas hidup, partisipasi sosial).
Mendefinisikan ulang kemiskinan bukan sekadar urusan teknokratis, melainkan tindakan moral dan politik. Dalam sebuah negara yang menjadikan keadilan sosial sebagai dasar konstitusional, maka angka kemiskinan bukan hanya statistik pembangunan, tetapi juga cermin keberpihakan. Angka itu seharusnya berbicara tentang martabat manusia, tentang siapa yang terhitung dan siapa yang terpinggirkan. Tanpa pembaruan cara pandang ini, kita akan terus berkutat pada angka, sementara realitas kemiskinan terus berjalan dan makin kompleks. (dari berbagai sumber)