Keringat Tidak Terbentuk dalam Bentuk Tetesan?

Sumber ilustrasi: Unsplash

14 Agustus 2025 12.05 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [14.08.2025] Selama ini, kita sering membayangkan bahwa keringat keluar dari kulit dalam bentuk tetesan kecil yang mengalir seperti embun di kaca. Istilah “butiran keringat” atau “bulir keringat” bahkan telah melekat dalam bahasa sehari-hari. Akan tetapi, penelitian terbaru menunjukkan bahwa cara keringat terbentuk ternyata tidak sesuai dengan gambaran umum tersebut. Keringat tidak muncul dalam bentuk tetesan, melainkan membentuk lapisan tipis menyerupai genangan kecil di atas kulit.

Studi yang dipublikasikan pada Juli 2025 oleh tim dari Arizona State University berhasil mendokumentasikan proses terbentuknya keringat dengan tingkat presisi yang belum pernah dicapai sebelumnya. Melalui teknologi pencitraan termal inframerah canggih, para peneliti dapat memantau pori-pori individu dan mengamati bagaimana keringat keluar dan menyebar di permukaan kulit.

Peneliti utama, Cibin Jose, seorang insinyur mesin, menyatakan bahwa selama ini penelitian tentang keringat hanya dilakukan pada skala makroskopik, sementara dinamika keringat dari tingkat mikro ke makro belum banyak dijelajahi. Melalui pendekatan baru ini, timnya menemukan bahwa keringat awalnya muncul dari pori-pori sebagai genangan kecil yang dangkal, bukan sebagai tetesan. Ketika cukup banyak pori mengeluarkan keringat hingga meluap, cairan tersebut menyatu dan membentuk lapisan film tipis dengan ketebalan kurang dari 0,1 milimeter di permukaan kulit.

Dalam eksperimen, enam partisipan sehat diminta berbaring pada kursi khusus dengan suhu tubuh mereka diatur menggunakan selimut listrik. Saat tubuh dipanaskan, pori-pori di dahi peserta mulai mengisi dengan keringat. Ketika pori-pori tersebut penuh, cairan meluap dan menyebar ke sekeliling, membentuk pola lapisan keringat yang menyambung dengan pori lainnya. Proses ini berulang seiring perubahan suhu, memperlihatkan pola siklus berkeringat dan pendinginan.

Penelitian juga mencatat bahwa rambut-rambut mikroskopik di permukaan kulit memiliki peran dalam mempercepat penguapan. Ketika rambut tersebut menyentuh lapisan keringat, sebagian cairan akan menempel dan menguap lebih cepat dibandingkan keringat yang hanya berada di permukaan kulit.

Menariknya, setelah siklus pemanasan pertama selesai, permukaan kulit partisipan menyisakan lapisan garam dari keringat yang mengering. Saat tubuh kembali dipanaskan, garam ini memengaruhi proses pembentukan keringat berikutnya. Peneliti mencatat bahwa lapisan garam mempercepat penyebaran keringat melalui proses kapilaritas, yakni cairan meresap dan menyebar di antara kristal garam yang terbentuk dari siklus sebelumnya.

Proses ini mengindikasikan bahwa pengalaman berkeringat kedua dan seterusnya bisa berbeda dibandingkan dengan yang pertama dikarenakan kondisi permukaan kulit telah berubah. Keadaan ini berpotensi menjadi faktor penting dalam penelitian lebih lanjut terkait pengaturan suhu tubuh, hidrasi, dan efektivitas pendinginan tubuh melalui keringat.

Tim peneliti berharap metode yang mereka kembangkan dapat digunakan untuk mengeksplorasi lebih lanjut bagaimana karakteristik keringat berbeda-beda tergantung pada lokasi tubuh, tingkat aktivitas fisik, usia, dan kondisi kesehatan individu. Mereka juga melihat potensi besar dari temuan ini dalam pengembangan teknologi wearable, tekstil pintar, dan alat diagnostik medis berbasis pola keringat.

Penelitian terbaru dari Arizona State University mengubah pemahaman dasar tentang cara keringat terbentuk. Alih-alih keluar sebagai tetesan seperti yang selama ini dibayangkan, keringat ternyata muncul sebagai genangan dangkal dari pori-pori, yang kemudian membentuk lapisan film tipis di permukaan kulit. Penemuan ini dimungkinkan berkat teknologi termografi inframerah yang mampu mendeteksi kinerja pori-pori individu secara real-time.

Dengan adanya pemahaman baru ini, para ilmuwan membuka peluang untuk penelitian lanjutan mengenai regulasi suhu tubuh, diagnostik berbasis keringat, serta desain pakaian dan sensor pintar yang lebih responsif terhadap kondisi kulit. Studi ini menyoroti pentingnya mengevaluasi ulang asumsi yang telah lama diterima dan bagaimana pendekatan mikroskopis dapat menghasilkan terobosan besar dalam bidang fisiologi manusia.

Diolah dari artikel:
“Sweat Doesn’t Actually Form The Way We Thought, Study Finds” oleh Carly Cassella.

Link: https://www.sciencealert.com/sweat-doesnt-actually-form-the-way-we-thought-study-finds

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *