Konfigurasi Gerak Rotasi dan Maju

Sumber ilustrasi: Pixabay

27 Juli 2025 19.40 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [27.07.2025] Dalam kerangka memahami dinamika negara-bangsa, tampak bahwa kekuasaan dan pemerintahan tidak bergerak semata-mata dalam garis lurus menuju masa depan, maupun berputar secara stagnan dalam siklus kekuasaan yang berulang. Geraknya adalah gabungan yang lebih kompleks dan subtil: suatu susunan gerak rotasi dan gerak maju. Ini adalah pola spiral, di mana kekuasaan berputar dalam lingkaran kelembagaan dan siklus legitimasi, namun juga berusaha melaju ke depan dengan membawa proyek-proyek perubahan dan kemajuan.

Rotasi dalam penyelenggaraan negara muncul dalam berbagai bentuk: pemilihan umum yang berlangsung secara periodik, siklus legislasi yang selalu kembali merevisi dan memperbaharui hukum, rotasi birokrasi, bahkan fluktuasi dalam wacana publik. Dalam rotasi ini, terdapat unsur stabilitas: sistem hukum tetap menjadi kerangka yang mengatur meskipun pemerintahan berganti; struktur kelembagaan tidak runtuh ketika rezim berubah. Negara mempertahankan semacam “poros” yang memungkinkan rotasi terjadi tanpa kehilangan bentuk. Poros ini bisa berupa konstitusi, nilai-nilai dasar ideologis, ataupun kontrak sosial yang menjadi fondasi legitimasi kekuasaan.

Namun jika negara hanya berputar tanpa arah, akan terjebak dalam bentuk kekuasaan yang reaktif dan repetitif, di mana kebijakan dibentuk bukan oleh visi, melainkan oleh kebutuhan sesaat atau tekanan populis yang bersifat siklik. Oleh karena itu, gerak maju menjadi dimensi penting yang menyempurnakan konfigurasi ini. Gerak maju dalam negara-bangsa tercermin dalam pembangunan ekonomi, pencapaian teknologi, transformasi sosial, dan upaya mewujudkan cita-cita keadilan yang lebih inklusif. Negara tidak hanya menjaga tatanan yang ada, tetapi juga melampauinya—berupaya mencapai keadaan yang dianggap lebih baik, lebih adil, dan lebih sejahtera.

Namun gerak maju ini tidak pernah sepenuhnya linier. Setiap langkah ke depan selalu disertai oleh tarikan ke belakang: oleh sejarah, oleh kebiasaan sosial, oleh konflik kepentingan, bahkan oleh trauma kolektif. Negara modern tidak berjalan seperti kereta di atas rel lurus, melainkan seperti makhluk hidup yang tumbuh melalui proses asimilasi dan negosiasi. Dalam konteks ini, rotasi dan gerak maju bukanlah arah yang saling bertentangan, melainkan dua gerakan yang saling mengisi. Rotasi memberikan ruang untuk refleksi dan regenerasi, sedangkan gerak maju memberikan arah dan tujuan.

Di dalam demokrasi, misalnya, rotasi pemerintahan melalui pemilu memungkinkan adanya penyegaran legitimasi dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan. Namun jika tidak disertai visi yang melampaui siklus elektoral, rotasi semacam ini bisa menjadi sirkus kekuasaan belaka, di mana janji terus diulang, tetapi struktur ketidakadilan tetap abadi. Sebaliknya, negara yang terlalu berorientasi pada gerak maju, tanpa membuka ruang rotasi kekuasaan, rentan menjadi otoriter: kekuasaan terus melaju tanpa kontrol, dan rakyat kehilangan mekanisme untuk mengoreksi arah perjalanan.

Konfigurasi ideal bukanlah keseimbangan statis antara rotasi dan gerak maju, melainkan ketegangan dinamis yang terus dikelola dengan kebijaksanaan. Negara yang dewasa secara politik adalah negara yang mampu menahan godaan stagnasi siklis, namun juga berhati-hati terhadap ilusi kemajuan yang mengabaikan keterbatasan struktural dan keragaman sosial. Dalam hal ini, tugas negara bukan hanya menjalankan kekuasaan, tetapi juga menavigasi gerakannya sendiri—menjaga agar rotasi tidak menjadi pusaran, dan agar gerak maju tidak berubah menjadi loncatan buta ke dalam ketidakpastian.

Sejarah bangsa-bangsa menunjukkan bahwa konfigurasi ini selalu unik, tergantung pada konteks budaya, pengalaman sejarah, dan struktur kekuasaan yang terbentuk. Namun prinsip dasarnya tetap sama: kekuasaan yang hanya berputar akan tenggelam dalam kelelahan, dan kekuasaan yang hanya melaju akan kehilangan akar. Hanya dengan merangkul keduanya, negara dapat berjalan—mengikuti irama spiral waktu, yang berputar namun juga bergerak, mengulang namun juga melampaui, kembali namun tidak pernah persis sama. Dalam spiral inilah, nasib dan harapan suatu bangsa dibentuk dan diuji. (NJD)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *