Kurban

Sumber ilustrasi: freepik

Oleh: Syamsudin, M.A.
6 Juni 2025 19.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Kurban adalah praktik penyembelihan hewan ternak sebagai bentuk ibadah dalam agama Islam, yang dilakukan pada hari raya Idul Adha hingga hari-hari Tasyrik (tanggal 10–13 Zulhijah dalam kalender Hijriah). Di balik tindakan lahiriah tersebut, tersimpan makna yang melampaui batas ruang ibadah: kurban adalah simbol eksistensial dari pengorbanan, pengujian iman, dan komitmen terhadap nilai yang lebih tinggi. Dalam konteks masyarakat modern, kurban seharusnya tidak berhenti sebagai kenangan atas peristiwa religius maskorba lalu, melainkan menjadi inspirasi yang aktif mendorong pembaruan sosial dan keadilan kolektif.

Peristiwa Nabi Ibrahim yang bersedia mengorbankan anaknya atas perintah Allah SWT, lalu digantikan dengan seekor domba, adalah kisah yang menyentuh wilayah iman, keikhlasan, dan transformasi nilai. Sebagian guru mengatakan bahwa peristiwa “penyembelihan” tersebut bukan hanya narasi ketundukan, tetapi juga pelajaran tentang keberanian melepaskan ikatan-ikatan duniawi yang melemahkan moral dan kemanusiaan. Dalam perspektif ini, kurban menjadi simbol revolusi batin yang menuntut pembebasan dari ego, kekuasaan, dan kepemilikan yang menindas.

Di dalam kehidupan sosial, pengorbanan semacam itu dapat dibaca sebagai panggilan untuk membebaskan masyarakat dari struktur yang tidak adil. Bila kurban adalah bentuk ibadah yang menghubungkan manusia dengan Tuhan YME, maka seharusnya dapat ikut memandu tindakan nyata yang menghubungkan manusia dengan manusia, dalam bentuk solidaritas, empati, dan keadilan. Dengan kata lain, praktek berkurban yang didasarkan pada keimanan, akan terinternalisasi sedemikian sehingga yang berkurban tidak akan membiarkan ketimpangan sosial berlangsung tanpa pembatalan. Kurban, dalam makna yang hidup, menuntut kita untuk menolak sistem yang menindas dan menggantinya dengan tatanan yang lebih adil.

Namun demikian, apa yang diharapkan seringkali tidak hadir. Dalam realitas pembangunan, nilai-nilai dalam konsep “kurban” tidak muncul, dan kerapkali yang hadir justru kebalikannya. Mereka yang paling lemah, masyarakat miskin kota, petani kecil, dan komunitas adat, malah kerap harus “berkorban” demi proyek-proyek yang diklaim sebagai kemajuan. Lahan mereka “dibebaskan” untuk Pembangunan, ruang hidup mereka dipersempit, dan suara mereka diabaikan. Dalam kondisi ini, konsep “berkorban” tidak lagi menjadi bentuk ketaatan yang memuliakan hidup, melainkan alat legitimasi atas kekuasaan yang tidak berpihak.

Karena itu, perlu ada reinterpretasi “kurban” sebagai sumber moral yang menghidupkan kesadaran sosial. Kurban bukan tentang siapa yang paling banyak memberi, melainkan siapa yang paling berani melepaskan privilege untuk membangun keadilan. Dalam tafsir yang lebih mendasar, kurban menantang kita untuk menyembelih ego kolektif: keserakahan, apatisme, dan kesombongan struktural yang membelenggu perubahan.

Pembaruan sosial tidak lahir dari hitungan untung-rugi, melainkan dari kerelaan berkurban demi sesama. Dalam arti ini, kurban bukan perayaan tahunan yang selesai dalam satu hari, tetapi proses spiritual dan politis yang terus-menerus menguji integritas dan keberpihakan kita. Kurban yang hidup adalah kurban yang membela yang lemah, menumbuhkan kesetaraan, dan membangkitkan harapan.

Maka, setiap peringatan Idul Adha bukan sekadar seremonial. Akan tetapi merupakan momen refleksi untuk bertanya: apa yang perlu kita korbankan hari ini agar hidup bersama menjadi lebih adil dan bermartabat? Di sanalah kurban menemukan relevansinya, sebagai ibadah yang menyucikan, sekaligus gerakan yang membebaskan.

Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi 45

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *