Lapar Kerja

Sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: Pandu Sagara
14 Mei 2025 12.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika kita mendengarkan dengan seksama, mungkin akan terdengar suara sayup dari kejauhan, suara bisik-bisik, entah kepada siapa pesan hendak disampaikan: lapar kerja. Para ahli ekonomi yang setiap hari bergulat dengan statistik, mulai dari perkara tarif, defisit neraca perdagangan, hingga semua implikasi yang ditimbulkan oleh manuver perdagangan dalam bentuk perang tarif, tentu telah dengan jelas mengungkapkan bahwa bonus demokrasi, agar dapat menjadi masalah, ketika kita mampu mengurusnya. Peluang akan segera berubah menjadi ancaman. Apa yang mungkin telah disampaikan lewat angka-angka adalah kesenjangan lebar, dan mungkin akan terus melebar, antara permintaan dan ketersediaan.

Dalam hal ini, lapar kerja, tidak sekedar mengungkap dengan lebih vulgar kondisi pengangguran terbuka, akan tetapi realitas dari pertumbuhan angkatan kerja yang tidak direspon dengan pertumbuhan lapangan kerja. Jika semula sekolah dapat menunda angkatan kerja masuk ke dunia kerja. Kini, dengan akselerasi yang justru digunakan untuk menjadikan dunia akademi sekedar menjadi produsen tenaga kerja berpendidikan, justru seperti menjadi pukulan balik. Dunia akademi tidak lagi menjadi wadah dimana angkatan baru berkesempatan mengeksplorasi pengetahuan yang lebih luas, termasuk posisi mereka dalam tatanan negara bangsa, sebaliknya justru disempitkan hanya terarah kepada kesiapan untuk mengisi dunia kerja. Dan kini, tiba waktu dimana yang terpelajar dahaga kerja, sementara mata air kerja tidak tersedia secara cukup memadai dan berkualitas.

Soal ini hendak kita refleksikan, untuk melihat lebih dekat, apa yang sebenarnya terjadi. Mengapa tingginya jumlah individu yang bersedia dan mampu bekerja tidak memperoleh kesempatan kerja yang layak. Apakah keadaan ini merupakan suatu “ketimbulan” atau keadaan yang tiba-tiba muncul, atau sebenarnya keadaan ini telah diketahui dan respon telah dipersiapkan, hanya saja belum sepenuhnya dapat diatasi? Berbagai kasus yang belakangan terjadi, yang mungkin kerap diindentifikasi secara sederhana sebagai “kriminalitas”, sangat mungkin merupakan dampak yang tidak diinginkan ketika lapar kerja bergerak secara massif, namun tersembunyi. Jika yang terakhir yang terjadi, maka dapat dipastikan bahwa keadaan ini akan memberi dampak sistemik terhadap stabilitas sosial dan dinamika pertumbuhan ekonomi.

Ketidakpastian

Meskipun para ekonom mengatakan bahwa keadaan ekonomi sekarang ini, bukan pertama-tama sumbangan eksternal, melainkan merupakan sumbangan internal yang signifikan, namun kita tetap akan mulai dari kondisi nyata yang kini berlangsung, yakni apa yang disebut sebagai ketidakpastian ekonomi. Kita ketahui bersama bahwa kondisi tersebut muncul dari berbagai sumber: krisis finansial global, perubahan rezim kebijakan moneter, pandemi, hingga konflik geopolitik. Kondisi ini menciptakan ketidakpastian terhadap investasi, konsumsi, dan produksi. Secara sederhana dipahami jika dunia usaha menunda ekspansi dan perekrutan tenaga kerja, sementara rumah tangga mengalami tekanan pendapatan yang mendorong mereka mencari lebih banyak sumber penghasilan. Ketimpangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja inilah yang memicu lapar kerja.

Apakah keadaan itu sepenuhnya eksternal? Tentu saja tidak. Kita berpandangan bahwa suatu interaksi terjadi. Mudah bagi publik untuk mengetahui bahwa keadaan yang memicu lapar kerja, tidak berdiri sendiri, melainkan berkaitan erat dengan struktur ekonomi yang timpang. Pertama, dominasi sektor informal di negara berkembang menyebabkan sebagian besar pekerja berada di luar sistem jaminan sosial dan perlindungan hukum. Kedua, mismatch antara keterampilan tenaga kerja dan kebutuhan pasar kerja memperparah kondisi pengangguran terselubung. Ketiga, konsentrasi pertumbuhan ekonomi di sektor-sektor padat modal membuat penciptaan lapangan kerja tidak sebanding dengan laju pertumbuhan ekonomi yang menciptakan lapangan kerja yang layak bagi kemanusiaan.

Lapar kerja bukan lah tentang lapar kerja itu sendiri. Soal ini diperhatikan secara seksama, karena akan berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat. Pendapatan rumah tangga menjadi tidak stabil, daya beli menurun, dan risiko kemiskinan meningkat. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa keadaan ini dapat memicu ketegangan, kriminalitas, dan menurunnya kepercayaan terhadap institusi negara. Pada sisi ekonomi makro, potensi sumber daya manusia yang tidak tergarap optimal akan menurunkan produktivitas nasional dan mempersempit basis pajak. Sudah barang tentu, situasi ini akan membatalkan target pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Retorika politik tetap tinggal sebagai retorika, dan tidak menjelma menjadi kebenaran nyata di masyarakat dalam bentuk munculnya sumber-sumber kemakmuran rakyat.

Respons

Apa yang perlu dipikirkan sebagai jalan keluar? Mungkin dua jalur perlu dikaji lebih seksama. Pertama tentu lewat jalur legal formal, yakni menggunakan instrumen kebijakan publik. Untuk mengatasi lapar kerja dibutuhkan pendekatan multi-dimensi. Pertama, kebijakan fiskal ekspansif seperti proyek padat karya dapat menjadi solusi jangka pendek untuk menyerap tenaga kerja. Kedua, reformasi pendidikan dan pelatihan vokasi diperlukan agar terjadi penyesuaian keterampilan dengan kebutuhan industri. Ketiga, deregulasi usaha mikro dan pemberian insentif bagi sektor padat karya perlu dipercepat. Pembentukan koperasi desa, pemberdayaan UMKM, dan inisiatif yang memungkinkan pertumbuhan usaha rakyat, sangat berarti dan menjanjikan, sepanjang upaya tersebut bukan siasat politik elektoral. Lain dari itu, perlindungan sosial dan asuransi pengangguran harus diperkuat agar masyarakat memiliki jaring pengaman saat kehilangan pekerjaan.

Kedua, dengan mendorong inisiatif dan inovasi sosial, khususnya yang berbasis pada desa. Sebagaimana diketahui bahwa desa memiliki posisi strategis sebagai entitas sosial-ekonomi yang relatif otonom dan adaptif. Ketika ketidakpastian ekonomi melanda kota-kota besar dan sektor formal mengalami tekanan, desa menjadi tempat kembali bagi banyak tenaga kerja yang terkena PHK atau kehilangan sumber pendapatan. Oleh karena itu, respons berbasis desa terhadap fenomena lapar kerja sangat krusial dan berpotensi menjadi model pembangunan berbasis komunitas yang resilien.

Pertama, penggunaan Dana Desa dapat diarahkan secara lebih strategis untuk menciptakan lapangan kerja produktif melalui program padat karya tunai, pembangunan infrastruktur lokal, dan revitalisasi sektor pertanian. Pendekatan ini tidak hanya memberikan penghasilan langsung, tetapi juga meningkatkan kapasitas produktif jangka panjang desa. Apa yang perlu dihindari adalah intervensi politik, yang membuat nalar penciptaan kemakmuran ekonomi tidak bisa sepenuhnya berjalan.

Kedua, desa dapat menjadi inkubator ekonomi lokal (desa) melalui pengembangan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang bergerak di sektor-sektor potensial seperti wisata desa, pengolahan hasil pertanian, perdagangan, dan jasa. Bahkan dimungkinkan untuk mendorong desa dan jaringan desa (kawasan) bekerjasama dengan korporasi, sehingga kapasitas ekonomi menjadi lebih tinggi dan dengan demikian memungkinkan stabilitas dan keberlanjutan. Dengan pengelolaan yang baik dan transparan, BUMDes mampu menyerap tenaga kerja desa dan mengurangi ketergantungan terhadap pasar kerja urban.

Ketiga, penguatan modal sosial dan kelembagaan desa menjadi faktor penting dalam merespons lapar kerja. Solidaritas komunitas, gotong royong, serta kearifan lokal dapat dimobilisasi untuk mendukung individu atau rumah tangga yang terdampak, misalnya melalui program simpan pinjam, koperasi, atau pelatihan keterampilan berbasis lokal. Keempat, desa juga dapat menjalin kemitraan dengan pemerintah daerah, lembaga pendidikan, dan sektor swasta untuk menghadirkan pelatihan kerja, teknologi pertanian, serta akses pasar. Ini membuka jalan bagi transformasi desa menjadi pusat produksi dan kewirausahaan yang tidak hanya bertahan dalam krisis, tetapi mampu menciptakan pertumbuhan inklusif. Tentu bukan dalam skema untuk mempersiapkan desa menjadi kota.

Sebagai pelengkap, penting untuk menyadari bahwa kapasitas desa dalam menyerap tekanan ekonomi tidak bersifat seragam. Terdapat variasi yang signifikan antar-desa berdasarkan ketersediaan sumber daya alam, kualitas kepemimpinan lokal, aksesibilitas geografis, dan tingkat partisipasi warga. Oleh karena itu, pendekatan kebijakan perlu bersifat kontekstual dan berbasis data mikro untuk merancang intervensi yang efektif. Pada titik ini, penguatan sistem informasi desa dan kawasan, menjadi instrumen penting dalam menyusun perencanaan tenaga kerja yang adaptif. Dengan sistem data yang terintegrasi, desa dapat memetakan kebutuhan dan potensi tenaga kerja, serta merancang program pemberdayaan ekonomi secara lebih presisi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *