sumber ilustrasi: unsplash
14 Apr 2025 09.10 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Lautan yang mendominasi hampir tiga perempat permukaan Bumi selama ini dikenal dengan warna birunya yang ikonik. Namun, penelitian terbaru dari ilmuwan Jepang yang dipublikasikan di jurnal Nature mengungkap bahwa miliaran tahun lalu, lautan Bumi kemungkinan besar berwarna hijau. Bahkan, perubahan kimia di masa depan dapat membuat lautan berwarna ungu.
Penemuan ini terkait erat dengan perubahan komposisi kimia laut dan evolusi fotosintesis pada masa awal kehidupan di Bumi. Pada zaman Arkaikum dan Paleoproterozoikum, sekitar 3,8 hingga 1,8 miliar tahun lalu, kehidupan di Bumi hanya terdiri dari organisme bersel satu di lautan. Sementara itu, daratan belum ditumbuhi tanaman dan hanya terdiri dari batu dan sedimen berwarna abu-abu, coklat, dan hitam.
Besi yang larut dari batuan akibat hujan dan dibawa ke laut melalui sungai, serta aktivitas vulkanik bawah laut, menjadi kunci dalam perubahan warna lautan tersebut. Saat itu, atmosfer dan laut belum mengandung oksigen bebas. Namun, organisme pertama yang mampu menggunakan energi matahari mulai bermunculan dan mempraktikkan fotosintesis anaerob—yakni proses fotosintesis tanpa kehadiran oksigen.
Fotosintesis ini menghasilkan oksigen sebagai produk sampingan. Oksigen tersebut kemudian bereaksi dengan besi di laut. Baru setelah semua besi teroksidasi, oksigen bebas dapat mengisi atmosfer. Proses ini dikenal sebagai Great Oxidation Event yang menjadi titik balik ekologis penting dalam sejarah Bumi.
Penelitian baru ini mendapatkan dukungan dari pengamatan pada perairan di sekitar Pulau Iwo Jima, Jepang, yang menunjukkan warna kehijauan akibat keberadaan Fe(III) yang merupakan bentuk teroksidasi dari besi. Di perairan tersebut, ganggang biru-hijau—yang sebenarnya adalah bakteri fotosintetik purba—tumbuh subur.
Tim peneliti mencatat bahwa ganggang biru-hijau memiliki pigmen tambahan bernama phycoerythrobilin (PEB) selain klorofil. Hasil rekayasa genetika menunjukkan bahwa organisme ini tumbuh lebih baik dalam kondisi cahaya hijau. Menurut mereka, hal ini mengindikasikan bahwa pigmen tersebut mungkin telah berevolusi sebagai adaptasi terhadap lingkungan laut yang saat itu berwarna hijau akibat tingginya kandungan besi teroksidasi.
Simulasi komputer mendukung hipotesis ini, dengan menunjukkan bahwa oksigen hasil fotosintesis awal menciptakan cukup banyak partikel besi teroksidasi yang dapat memberi warna hijau pada permukaan laut. Ini menunjukkan bahwa planet yang tampak berwarna hijau pucat dari luar angkasa mungkin menjadi kandidat kuat sebagai tempat berkembangnya kehidupan fotosintetik awal.
Lebih lanjut, para ilmuwan menekankan bahwa perubahan warna lautan adalah proses bertahap. Zaman Arkaikum berlangsung selama 1,5 miliar tahun—lebih dari setengah usia Bumi. Sementara itu, sejarah munculnya kehidupan kompleks hanya mencakup sekitar seperdelapan sejarah Bumi.
Perubahan warna laut kemungkinan bersifat fluktuatif, yang bisa menjadi alasan mengapa ganggang biru-hijau berevolusi dengan dua jenis pigmen fotosintetik. Chlorophyll cocok untuk cahaya putih yang ada sekarang, sementara PEB memberikan keuntungan dalam kondisi cahaya hijau.
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa di masa depan, warna laut bisa kembali berubah. Jika kadar sulfur meningkat, misalnya akibat aktivitas vulkanik ekstrem dan kadar oksigen rendah, lautan bisa didominasi oleh bakteri sulfur ungu, menghasilkan warna laut ungu.
Lautan merah juga secara teori dapat terbentuk, terutama jika iklim tropis ekstrem menyebabkan peluruhan batuan yang membawa besi teroksidasi merah ke laut, atau ketika alga penyebab red tide menjadi dominan. Alga jenis ini umum ditemukan di wilayah pesisir dengan kadar pupuk tinggi, seperti daerah dekat saluran pembuangan.
Lebih jauh, seiring usia Matahari bertambah, sinarnya akan semakin kuat dan menyebabkan penguapan laut yang lebih tinggi serta peningkatan paparan sinar ultraviolet. Kondisi ini diperkirakan akan mendukung pertumbuhan bakteri ungu sulfur di perairan dalam yang kekurangan oksigen, sehingga menghasilkan warna ungu atau kecoklatan di wilayah pantai, dan menurunkan dominasi warna biru pada lautan.
Akhirnya, ketika Matahari berkembang menjadi raksasa merah dan menelan orbit Bumi, lautan akan menguap sepenuhnya. Ini mempertegas bahwa dalam skala waktu geologis, tidak ada yang bersifat permanen, termasuk warna laut.
Buah Pikiran
Penelitian ini menggugah pemahaman kita tentang betapa dinamisnya planet ini, bahkan dalam hal yang tampaknya sederhana seperti warna lautan. Warna laut ternyata merupakan cerminan langsung dari kondisi biologis dan kimiawi Bumi—menunjukkan betapa erat kaitannya kehidupan dengan lingkungan. Temuan ini juga memiliki implikasi astrobiologis penting: planet yang terlihat hijau dari kejauhan bisa menjadi indikator awal kehidupan fotosintetik, membuka kemungkinan baru dalam pencarian kehidupan di luar angkasa.
Di sisi lain, perubahan warna laut di masa depan bisa menjadi peringatan tentang dampak aktivitas manusia terhadap keseimbangan ekosistem laut. Dari meningkatnya kadar sulfur hingga limpasan pupuk ke laut, warna lautan dapat menjadi indikator perubahan yang lebih besar dan mungkin tidak diinginkan. Dalam menghadapi perubahan iklim dan degradasi lingkungan, pemahaman semacam ini seharusnya mendorong kita untuk lebih bijak dalam mengelola planet yang kita huni. Lautan biru yang kita kenal hari ini adalah hasil dari miliaran tahun evolusi—dan bisa saja berubah jika kita tidak menjaga keseimbangannya. (NJD)
Sumber: Livescience