Lebaran

Lebaran sesungguhnya telah tidak dapat lagi hanya dilihat sebagai peristiwa keagamaan yang eksklusif, melainkan suatu peristiwa kebudayaan yang inklusif. Dalam lebaran, segala sukacita tumpah. Berbagai sikat atau pagar-pagar dibongkar, dan tinggallah ruang batin yang lebar, sehingga segala sesuatu yang sebelumnya menghambat dapat hilang dan digantikan dengan sikap baru – saling respek dan saling memaafkan.

Mungkin para ahli dapat membuat studi tersendiri, untuk melacak kapan kali pertama terjadi transformasi? Apakah proses berjalan begitu saja. Sebagai suatu peristiwa yang timbul dan hadir tidak terjelaskan. Atau, seperti apa? Jika para pemikir akan bergulat dengan berbagai teori tentang keunikan peristiwa kebudayaan, maka warga kebanyakan akan datang langsung menjadi bagian dari peristiwa. Mereka mengalami dan dari sana terbentuk pengetahuan.

Dari dalam rumah hingga ke luar, tampak peristiwa yang relatif seragam. Pribadi-pribadi, entah siapa pun, seperti mendapatkan kesempatan untuk keluar dan menjadi dirinya seutuhnya. Diri yang dimaksud adalah diri yang bisa diterima dan bisa menerima. Diri yang mengaku dan sekaligus bersaksi atas dirinya sendiri, bahwa dia bukanlah manusia sempurna, melainkan pribadi yang lengkap, termasuk kesalahan dan ketidaksempurnaan itu sendiri.

Jika kita melihat dari tempat ketinggian, maka akan terlihat bagaimana pergerakan manusia sebagai gerak kebudayaan. Tidak hanya gerak tubuh, akan tetapi gerak barang-barang panganan dan berbagai keperluan lainnya. Barang-barang tersebut digerakkan oleh energi saling berbagi, saling menerima dan saling memberi perhatian. Paket-paket rasa senang, rasa cinta dan rasa peduli, saling berseliweran membentuk formasi budaya tersendiri, yang sulit dijelaskan dengan akal budi, namun akan dapat ditemukan maknanya melalui pengalaman langsung.

Kita semua tahu, bahwa yang beredar bukan hanya panganan, akan tetapi juga kata dan untaian kata, yang membawa pesan dan makna. Dahulu, pesan dibawa langsung dan disampaikan secara lisan. Kini sejalan dengan perkembangan sarana komunikasi dan transportasi, dimana gerak manusia makin luas, membuat relasi tidak terbatas hanya di wilayah atau komunitas tertentu. Dahulu area pergaulan hanya di tingkat rukun tetangga atau hingga desa atau kampung. Kini telah lintas desa, kota dan bahkan antar pulau atau benua. Teknologi memungkinkan. Karena itu, kata dan makna lewat melaluinya.

Dunia yang terpisah dan retak, dalam momen lebaran menjadi menyatu atau tersambungkan. Lebaran menjadi semacam perekat kebudayaan, meskipun nampak instan dan cepat. Tentu ada harapan dimana setiap waktu dapat menjadi momen lebaran. Atau ruang kebudayaan yang memberikan kesempatan dimana segala yang tidak benar dapat diletakkan di tempat yang benar. Meskipun memang tidak dapat dipungkiri bahwa penyimpangan selalu saja hadir menjadi pelengkap dari ketidaklengkapan kehidupan. Terutama jika menyaksikan pertunjukan di atas tribun atau panggung ketinggian, tempat dimana keaslian makin sulit ditemukan.

Selamat lebaran. Mohon maaf lahir dan batin – desanomia 1 Syawal 1446 H.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *