Sumber ilustrasi: unsplash
19 Juni 2025 07.50 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Praktik spiritual juga memiliki dampak besar terhadap kesehatan. Dalam studi-studi yang dipimpin oleh Tyler VanderWeele dari Harvard, ditemukan bahwa orang yang rajin menghadiri kegiatan keagamaan memiliki risiko kematian lebih rendah hingga 30% dan lebih tahan terhadap deaths of despair seperti bunuh diri atau overdosis.
Efek positif ini juga terlihat pada remaja dan dewasa muda yang tumbuh dalam lingkungan spiritual. Terlihat bahwa mereka lebih jarang merokok, memakai narkoba, atau terinfeksi penyakit menular seksual. Temuan ini berlaku lintas agama dan budaya, termasuk dalam komunitas Yahudi dan Tao.
VanderWeele menyarankan tenaga kesehatan untuk mendukung partisipasi spiritual bagi mereka yang sudah memiliki keyakinan, dan memfasilitasi keterlibatan komunitas bagi mereka yang tidak. Menurutnya, jika kesehatan masyarakat mengabaikan aspek spiritual, maka kita sedang menutup mata terhadap kekuatan penting yang membentuk kesejahteraan manusia.
Optimisme, yakni keyakinan bahwa apa yang ada didepan kita nantinya akan membaik dilihat memiliki korelasi kuat dengan kesehatan yang lebih baik di usia tua. Penelitian menunjukkan bahwa orang yang optimis lebih kecil kemungkinannya mengalami penyakit kronis dan gangguan kognitif, serta lebih mungkin hidup hingga usia 85 tahun ke atas.
Pada wanita menopause, optimisme dikaitkan dengan fungsi fisik yang lebih baik, seperti kekuatan otot dan kemampuan berdiri tanpa bantuan tangan. Sementara pada tentara AS, optimisme menurunkan risiko hipertensi hingga 22% dalam tiga tahun.
Meski mekanisme biologisnya belum jelas, gaya hidup sehat yang biasa dilakukan oleh orang optimis tidak sepenuhnya menjelaskan hasil ini. Kubzansky tengah menyelidiki apakah mikrobioma usus juga berperan. Yang pasti, membangun sistem sosial yang memberi harapan bagi masyarakat bisa menjadi strategi kesehatan yang efektif.
“… fleksibilitas kerja dan keseimbangan hidup dapat menurunkan risiko penyakit jantung tanpa menurunkan produktivitas”
Bagi Lisa Berkman dari Harvard, bekerja bukan sekadar sumber pendapatan namun juga faktor penentu kesehatan. Lingkungan kerja yang memberikan kendali, jadwal yang manusiawi, dan dukungan sosial dari kolega terbukti menyehatkan tubuh dan pikiran.
Penelitian menunjukkan bahwa pekerja dengan sedikit kendali atas pekerjaan dan tuntutan rumah tangga berat (seperti orang tua tunggal) cenderung mengalami kematian lebih cepat. Cuti melahirkan yang memadai juga dikaitkan dengan penurunan risiko depresi di usia lanjut.
Kabar baiknya, semua ini dapat diubah. Studi Berkman menunjukkan bahwa fleksibilitas kerja dan keseimbangan hidup dapat menurunkan risiko penyakit jantung tanpa menurunkan produktivitas. Pemerintah juga dapat memperkuat kesehatan pekerja melalui kebijakan yang mendukung kestabilan kerja.
Penemuan ini memperluas cakrawala tentang apa yang sebenarnya membentuk kesehatan kita. Ia menunjukkan bahwa umur panjang tidak hanya bergantung pada makanan sehat atau olahraga, tapi juga pada keterhubungan sosial, kebiasaan memberi, spiritualitas, sikap mental positif, dan lingkungan kerja yang sehat.
Dari perspektif praktis, setiap orang bisa mengambil bagian: aktif dalam komunitas, menjadi relawan, mengelola stres dengan sikap optimis, dan mencari pekerjaan atau suasana kerja yang mendukung. Di sisi kebijakan, pemerintah dan sektor kesehatan seharusnya mulai memperhitungkan faktor-faktor ini secara sistemik. Berdasarkan temuan ini dapat dilihat bahwa untuk hidup lebih lama dan sehat, kita tak hanya perlu menjaga tubuh, namun juga jiwa, komunitas, dan makna hidup manusia. (NJD)
Sumber: Harvard T.H.Chan
Link: https://hsph.harvard.edu/news/the-importance-of-connections-ways-to-live-a-longer-healthier-life/