Lokasi Budidaya Padi Tertua Dunia

Penemuan arkeologis pada tahun 1997 mengungkap temuan penting mengenai asal-usul budidaya padi. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh tim arkeolog Jepang dan Tiongkok, kawasan Sungai Yangtze di Tiongkok tengah diduga merupakan lokasi tertua budidaya padi di dunia. Jika temuan ini terbukti akurat, maka sejarah domestikasi padi — yang sebelumnya diyakini berawal dari wilayah Asia Tenggara atau Tiongkok utara — kemungkinan harus ditulis ulang.

Temuan ini dipresentasikan dalam Simposium Internasional tentang Pertanian dan Peradaban (International Symposium on Agriculture and Civilizations) yang diselenggarakan di Nara, Jepang, pada tanggal 13–14 Desember 1996. Penemuan tersebut menunjukkan bahwa kawasan Yangtze tengah, khususnya di Provinsi Hubei dan Hunan, berperan penting sebagai pusat awal domestikasi padi ribuan tahun silam.

Penemuan Bukti Awal Budidaya Padi

Penelitian ini dipimpin oleh Syuichi Toyama, seorang arkeolog lingkungan dari Universitas Kogakukan, Jepang. Toyama dan timnya menganalisis data radiokarbon dari 125 sampel yang mencakup butiran padi, sekam, sisa tanaman, hingga cetakan butiran padi pada tembikar yang ditemukan di lebih dari 100 situs arkeologi sepanjang Sungai Yangtze yang memiliki panjang sekitar 5.400 kilometer.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sampel padi tertua yang ditemukan memiliki usia sekitar 11.500 tahun dan terkonsentrasi di wilayah Yangtze tengah. Sementara itu, sampel yang ditemukan di wilayah hulu maupun hilir Sungai Yangtze umumnya lebih muda, dengan rentang usia antara 4.000 hingga 10.000 tahun.

Toyama berpendapat bahwa pola tersebut mengindikasikan bahwa budidaya padi kemungkinan besar pertama kali muncul di Yangtze tengah sebelum menyebar ke kawasan lainnya.

Pendapat ini mendapat tanggapan positif dari sejumlah pakar arkeologi. Ofer Bar-Yosef, arkeolog dari Peabody Museum, Universitas Harvard, menilai bahwa temuan tersebut cukup meyakinkan karena didasarkan pada data yang konsisten dari berbagai situs arkeologi.

Pandangan serupa disampaikan oleh Bruce Smith, arkeolog dari Smithsonian Institution, yang menyoroti bahwa bukti-bukti mengenai kawasan Sungai Yangtze sebagai lokasi awal budidaya padi semakin menguat dalam dekade terakhir. Sebelumnya, bukti tertua yang ditemukan terkait budidaya padi di wilayah tersebut hanya berusia sekitar 8.000 tahun.

Lebih lanjut, hasil temuan ini berpotensi membantah teori yang selama ini menyebut bahwa budidaya padi pertama kali muncul di wilayah yang membentang dari Laos utara, Thailand utara, Myanmar, barat daya Tiongkok, hingga wilayah Assam di India.

Lebih Tua dari Budidaya Millet dan Jelai

Penemuan ini juga menunjukkan bahwa budidaya padi di Yangtze ternyata lebih tua dibandingkan dengan budidaya millet (jenis biji-biji serealia yang mencakup jewawut dan gandum gembur) di Tiongkok utara, yang diperkirakan dimulai sekitar 7.800 tahun lalu. Selain itu, usia sampel padi ini bahkan lebih tua dibandingkan domestikasi jelai (barley, salah satu tanaman serealia utama di Asia Barat) yang mulai dibudidayakan sekitar 10.000 tahun lalu.

Menurut Bar-Yosef, memahami kapan dan di mana padi pertama kali dibudidayakan sangat penting untuk menjelaskan faktor lingkungan, iklim, dan sosial yang memengaruhi munculnya revolusi pertanian di masa lalu. Ia menilai bahwa pertanyaan terkait pemicu dan proses perubahan yang melahirkan revolusi pertanian di Tiongkok sekitar 10.000 tahun silam masih belum sepenuhnya terjawab.

Indikasi Peradaban Kuno di Sungai Yangtze

Selain bukti awal budidaya padi, para peneliti juga melaporkan penemuan sisa-sisa pemukiman kuno yang diduga merupakan salah satu kota tertua di Tiongkok.

Penemuan ini terjadi di situs bernama Longmagucheng, yang berlokasi sekitar 35 kilometer barat daya Chengdu, di Provinsi Sichuan. Di lokasi tersebut, tim arkeolog menemukan struktur benteng tanah yang mengelilingi area seluas 1.100 x 600 meter.

Di pusat area tersebut, terdapat sebuah platform tanah bertingkat tiga yang diperkirakan berfungsi sebagai tempat upacara keagamaan atau pusat pemerintahan.

Menurut Yoshinori Yasuda, ahli geografi yang memimpin tim peneliti Jepang, hasil penanggalan radiokarbon pada tanah yang diambil dari tembok dan platform tersebut menunjukkan bahwa situs ini berusia sekitar 4.500 hingga 5.000 tahun. Jika benar, maka temuan ini akan lebih tua daripada pemukiman yang sebelumnya ditemukan di sepanjang Sungai Kuning, yang selama ini diyakini sebagai pusat awal peradaban Tiongkok.

Penelitian ini merupakan hasil kolaborasi antara Pusat Penelitian Internasional untuk Studi Jepang di Kyoto, Universitas Sichuan, dan Departemen Arkeologi Kota Chengdu. Proyek ini sepenuhnya didanai oleh perusahaan teknologi Jepang, Kyocera Corp, sebagai bagian dari upaya meningkatkan pemahaman lintas budaya.

Penelitian Lebih Lanjut

Meskipun temuan ini menawarkan wawasan baru yang menarik, para ahli sepakat bahwa penelitian lanjutan masih sangat diperlukan.

Ofer Bar-Yosef menegaskan bahwa untuk memastikan bahwa Longmagucheng benar-benar merupakan kota kuno yang maju, diperlukan bukti tambahan seperti struktur rumah, fasilitas penyimpanan, dan tempat pembuangan sampah.

Sementara itu, Chaolong Xu, arkeolog Tiongkok yang tergabung dalam tim penggalian, menuturkan bahwa penelitian ini baru berada pada tahap awal. Ia memperkirakan bahwa penelitian dan penggalian di Longmagucheng serta lokasi lain di sekitar lembah Sungai Yangtze bisa memakan waktu lebih dari satu dekade untuk benar-benar memahami peran wilayah ini dalam sejarah peradaban manusia.

Penemuan ini berpotensi mengubah pemahaman mengenai sejarah awal pertanian dan peradaban di Asia. Jika temuan ini semakin diperkuat dengan bukti tambahan, maka Sungai Yangtze dapat dipandang sebagai pusat awal domestikasi padi, yang berperan penting dalam membentuk peradaban Tiongkok dan Asia secara keseluruhan. (NJD)

Sumber: Science

Link:
https://www.science.org/doi/10.1126/science.275.5298.309

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *