Macron, Borobudur, Dialog

Sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: Pandu Sagara
30 Mei 2025 12.35 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Presiden Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, pada Kamis, 29 Mei 2025. Kedua kepala negara menggunakan mesin angkut tangga atau stairlift untuk mencapai puncak candi. Dari sisi otoritas, publik bisa menilai bahwa peristiwa tersebut adalah peristiwa kebudayaan bukan pertama-tama peristiwa politik. Atau mungkin publik dikatakan sebagai politik kebudayaan. Kepentingan budaya menjadi tindakan politik. Tentu saja artikel ini tidak akan masuk ke wilayah tersebut, akan tetapi melihat dari sudut kebudayaan itu sendiri. Terutama, dengan sangat hati-hati, melihatnya dari sudut dialog kebudayaan.

***

Apa yang sangat menarik perhatian masyarakat luas, adalah pernyataan Macron yang telah menjadi konsumsi publik, yakni bahwa Borobudur sebagai “kesaksian besarnya peradaban.” Suatu pernyataan, yang tidak bisa direndahkan sebagai sekedar basa-basi diplomasi, melainkan harus dianggap sebagai pernyataan kebudayaan, yang memberi hormat dan rasa kagum atas realitas keberadaan bangunan yang demikian besar dan menyejarah. Apakah pernyataan tersebut dapat lebih jauh ditafsirkan sebagai rintisan dialog kebudayaan?

Masyarakat menyadari bahwa kendati Candi Borobudur, dalam keseharian pariwisata adalah destinasi wisata, namun senyatanya tidak bisa disederhanakan sekedar peninggalan arkeologis. Jika bangunan tersebut dapat dimaknai sebagai bagian dari sejarah kebudayaan, maka tentu pada dirinya dapat dibaca sebagai suatu “teks” yang merekam hasrat manusia untuk memahami semesta — dalam rupa relief, stupa, dan kosmologi. Apabila makna ini dapat diterima, maka sangat wajar ada pertanyaan mendalam ketika seorang kepala negara Eropa berdiri memandangi arsitektur ini, dan daripadanya muncul pernyataan yang sangat menggugah.

Dari situ pula kita dapat bertanya: Apa makna dari pertemuan ini bagi narasi besar peradaban? Apakah kutub-kutub yang terpisah masih layak dipakai sebagai optik dalam memandang realitas kebudayaan, atau telah mulai terjalin dalam jejaring tafsir yang lebih kompleks dan cair?

***

Borobudur dibangun dalam masa kejayaan wangsa Syailendra pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi, suatu masa ketika wilayah Jawa menjadi simpul kosmopolitan bagi Buddhisme Mahayana, Hinduisme, dan praktik-praktik lokal pra-Veda. Candi ini tidak hanya menampilkan struktur geometris yang mengagumkan, tetapi juga mengandung arsitektur kosmologis: tiga dunia — Kamadhatu (hasrat), Rupadhatu (bentuk), dan Arupadhatu (tanpa bentuk). Setiap tingkatan bukan hanya lapisan batu, melainkan laku batin: dari keterikatan menuju pelepasan.

Dalam pemikiran Buddhis, struktur Borobudur mencerminkan mandala kosmik, bukan sekadar sebagai tempat ibadah, melainkan sebagai alat meditasi kolektif. Ia menolak narasi linear dan menawarkan spiral kesadaran. Di sini, waktu tidak berjalan lurus tetapi berputar, mengulang, dan menyempurna. Perenungan di Borobudur bukan tentang “apa” yang diketahui, tetapi tentang “bagaimana” kita hadir dalam kesunyian itu sendiri.

***

Apakah Macron dapat menjadi simbol dari kebudayaan lain? Rasanya sangat berlebihan jika kehadirannya yang menjadi bagian dari politik dan diplomasi, serta mungkin juga membawa kepentingan ekonomi, disederhanakan sebagai kehadiran yang murni untuk kepentingan dialog kebudayaan. Namun, dengan semua kesadaran itu, rasanya tidak keliru jika penafsiran yang bersifat ideal diajukan, yakni bahwa peristiwa dua kepala negara di lokasi yang punya makna kebudayaan, ditafsirkan melampaui peristiwanya itu sendiri, yakni peristiwa dialog kebudayaan.

Dalam kerangka itulah, barangkali Macron dapat ditempatkan atau dapat dianggapkan wakil dari warisan pemikiran Prancis yang panjang: mulai dari res cogitans dan res extensa, hingga pandangan dekonstruksi yang meragukan keutuhan makna. Bahkan dalam batas-batas yang diperkenankan, dapat dikatakan bahwa Macron lahir dari republik yang menjunjung “liberté, égalité, fraternité”. Artinya, Macron adalah suatu makna yang bertemu dengan makna yang lain. Bukan dalam arti Timur dan Barat, melainkan antar dua negeri, antar dua kebudayaan, yang saling respek satu sama lain.

Apakah peristiwa tersebut dapat dibaca sebagai transformasi dari monolog kolonial ke dialog hermeneutik. Jika kolonialisme dahulu menyusun dunia dalam dikotomi: yang kolonial = subjek, yang dijajah = objek, maka kini kita perlu menyusun ulang narasi. Dialog kebudayaan bukan berarti menyamakan, tetapi saling menyeberang batas. Dalam kerangka dialog ini, perbedaan bukan ancaman tetapi sumber refleksi. Ada perlu belajar menangguhkan klaim objektivitasnya, sementara ada yang perlu pula belajar melampaui “kebesaran masa lalunya” dan tiba pada kenyataan hari ini. Maka, Borobudur menjadi topos di mana pertemuan berlangsung, suatu peristiwa, yang walaupun bermula dari langkah politik, namun diharapkan menjadi fondasi dialog kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *