sumber gambar : unsplash.com
Penulis : Rifki Syafa’at
Pernahkan kita terbayang bagaimana jadinya dunia ini terjadi redefinisi ulang mengenai makna-makna yang secara umum manusia yakini. Penulis pernah membayangkan apa jadinya dunia ini ketika akhirnya manusia di bumi tidak percaya dengan nilai tukar (uang). Apa jadinya dunia ini ketika yang sejatinya dianggap manusia penting atau bermakna adalah hal-hal mendasar yang saat ini manusia pahami adalah hal biasa, sehari-hari, dan remeh. Dalam benak penulis membayangkan, mungkin orang-orang tidak akan berlomba-lomba untuk tidak berlomba-lomba dalam kehidupan ini. Ada banyak pertanyaan, ada banyak misteri maupun sandi-sandi yang menjadikan pertanyaan besar yaitu “Bagaimana dunia ini seharusnya berjalan?Apa yang sejatinya manusia cari”.
Ide mengenai tulisan ini muncul ketika penulis sedang berada di tengah antrian krl dari sudirman menuju bekasi. Dan pertanyaan itu kembali muncul. Di tengah desak-desakan dan nuansa terburu-buru nan capek. Orang-orang saling berebut untuk menjadi yang pertama (dalam hal ini tentunya untuk bisa masuk ke dalam gerbong kerata untuk segera pulang). Sesekali pertanyaan ini dilontarkan kepada teman yang setiap harinya harus menghadapi kondisi tersebut, dan jawabannya adalah “Mau bagaimana lagi, ada kebutuhan yang harus dipenuhi”. Dalam benakku, hal tersebut kan memang sudah sepatutnya begitu. Sebanarnya ingin coba ku tanyakan lagi “Kenapa tidak balik ke kampung? menggarap kebun dan sawah warisan nenekmu itu”, tapi dia pernah bercerita pesan bapaknya “biarpun bapakmu ini petani, yang penting anakku bisa bekerja di gedung-gedung tinggi itu”
Pada dasarnya kadang manusia lucu, ada orang bekerja keras sedemikian rupa di kota dan ketika akhir pekan rela antri panjang untuk sarapan menu masakan rumahan dengan pemadangan sawah yang mungkin hal tersebut setiap hari dilakukan oleh petani ketika ke ladang. Pakde budhe yang setiap hari di sawah mungkin seharusnya bangga. Hal-hal biasa yang mereka lakukan adalah impian masyarakat kota itu.
Kegelisahan ini semakin menjadi-jadi ketika melihat berita-berita belakangan ini. Ancaman krisis moneter, PHK dimana-mana, ketidakpastian ekonomi dan lain sebagainya menjadikan daftar panjang ketakukan tersebut. Apa jadinya dunia ini ketika bayangan tadi ketika nilai tukar (uang) benar-benar menjadi kertas yang ditambah angka nominal saja. Apa sebaiknya kita mulai kembali meredefinisi ulang “makna” yang selama ini kita yakini. Berbondong-bondong untuk kembali ke rumah masing-masing, bertani dan berternak di desa. Desa yang selama ini kita anggap inferior, desa yang selama ini bahkan ingin ditinggalkan dengan dalih “memperbaiki hidup”.
Sungguh lucu terkadang dunia ini. Aku pernah berdiskusi membahas makna desa. Desa ini bisa dibilang sebagai keajaiban dunia karena didalamnya ada orang (SDM), lahan, dan yang paling penting air. Ketiganya cukup untuk menjadi bagian manusia untuk survive dan berdaya. Apa jadinya bila semua orang meninggalkannya dengan dalih “memperbaiki hidup” yang sejatinya kehidupan sejati sudah ada di desa tersebut.
Lantas, apa yang sebaiknya kita lakukan? Akan selanggeng apa keyakinan akan “makna-makna” saat ini akan tetap lestari. Jawabanya mungkin adalah sampai sejauh apa dunia ini berjalan masih seperti ini.