Sumber ilustrasi: Freepik
21 Juli 2025 11.45 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [21.07.2025] Semut telah menjadi salah satu spesies paling sukses di planet ini, dan tampaknya banyak mamalia telah “menyadari” potensi tersebut dalam perjalanan evolusinya. Dalam sebuah penelitian terbaru, peneliti mengungkap bahwa mamalia telah berevolusi menjadi pemakan semut sejati, disebut myrmecophage, setidaknya 12 kali secara terpisah sejak dinosaurus punah 66 juta tahun lalu. Temuan ini menguatkan konsep evolusi konvergen, di mana spesies-spesies berbeda yang tidak saling berkerabat mengembangkan bentuk tubuh dan perilaku serupa karena menempati ceruk ekologi yang sama.
Penelitian ini dilakukan oleh tim yang terdiri dari Thomas Vida (University of Bonn, Jerman), Phillip Barden (New Jersey Institute of Technology), dan Zachary Calamari (City University of New York). Mereka menganalisis lebih dari 600 sumber ilmiah yang mencakup data diet 4.099 spesies mamalia. Tujuannya: memahami bagaimana dan seberapa sering mamalia berevolusi menjadi pemakan semut sejati.
Hasilnya mengejutkan para peneliti. Bahwa myrmecophagy telah berevolusi setidaknya 12 kali secara independen, termasuk pada spesies seperti trenggiling, armadillo, echidna, numbat, dan aardvark, yang berasal dari tiga kelompok besar mamalia: plasental, marsupial, dan monotremata. Bahkan terdapat dua kasus tambahan yang masih dikaji validitasnya.
Meskipun garis keturunan mamalia tersebut sangat berbeda, mereka menunjukkan pola adaptasi morfologi yang sangat mirip: moncong panjang, lidah lengket, gigi yang mengecil atau hilang, serta cakar yang kuat untuk membongkar sarang semut dan rayap. Mereka juga mengalami adaptasi internal, seperti enzim pencerna kitin—komponen utama cangkang serangga, dan metabolisme yang melambat, sesuai dengan kandungan energi rendah dari semut.
Menurut Vida, kesamaan ini bukanlah kebetulan namun merupakan respons alami terhadap tantangan ekologi yang sama. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya tekanan seleksi dalam membentuk tubuh dan perilaku organisme bahkan ketika mereka berasal dari cabang-cabang evolusi yang berbeda.
Fenomena ini sebanding dengan apa yang dikenal sebagai “carcinisasi”, yakni proses di mana bentuk tubuh seperti kepiting berevolusi berulang kali dalam sejarah hewan laut. Namun, para peneliti menilai bahwa evolusi menjadi pemakan semut bahkan lebih sering terjadi, dan mencerminkan peran dominan semut dan rayap dalam membentuk dinamika kehidupan di Bumi.
Studi ini juga mencatat bahwa semut dan rayap baru meledak populasinya sekitar 23 juta tahun lalu, pada awal zaman Miosen. Saat dinosaurus punah, semut hanya mewakili kurang dari 1% populasi serangga. Kini, jumlah mereka diperkirakan mencapai 20 kuadriliun individu, dengan biomassa sekitar 12 megaton karbon kering, lebih dari total mamalia dan burung liar yang ada.
Tak hanya memengaruhi mamalia, semut juga membentuk evolusi kelompok lain. Terdapat lebih dari 10.000 spesies artropoda yang meniru semut, baik dari segi bentuk, perilaku, maupun sinyal kimia, demi bertahan hidup atau menyusup ke koloni mereka.
Menurut Barden, penelitian ini memberikan dasar kuat untuk studi lanjutan mengenai strategi makan dalam evolusi mamalia serta membuka kemungkinan eksplorasi lintas kelompok, seperti pada burung, reptil, dan amfibi. Tim ini percaya bahwa interaksi antara mamalia dan serangga sosial bisa menjadi motor penggerak evolusi besar yang selama ini terabaikan.
Penelitian ini menunjukkan bahwa evolusi tidak selalu mengikuti jalur unik yang spesifik. Dalam banyak kasus, spesies berbeda dapat menemukan solusi evolusioner yang serupa terhadap tantangan lingkungan yang sama. Adaptasi menjadi pemakan semut telah terjadi berulang kali selama jutaan tahun, dan pola ini mencerminkan besarnya pengaruh semut dan rayap dalam ekosistem global.
Temuan ini mengingatkan bahwa hilangnya satu spesies, baik mamalia maupun serangga seperti semut, bisa menimbulkan dampak besar yang tidak terduga bagi ekosistem. Di tengah krisis iklim dan menurunnya keanekaragaman hayati, memahami keterkaitan antarspesies menjadi semakin penting.
Diolah dari artikel:
“Mammals Have Evolved Into Anteaters at Least 12 Times Since The Dinosaurs” oleh Michelle Starr.