Sumber ilustrasi: Freepik
4 September 2025 10.35 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Desanomia [04.09.2025] Amarah merupakan salah satu emosi paling mendasar yang dialami manusia. Emosi ini muncul sebagai respons terhadap situasi yang dirasa tidak adil atau mengancam. Baik berupa pengkhianatan emosional maupun sekadar gangguan sepele seperti seseorang merebut tempat parkir, amarah dapat muncul dalam spektrum yang luas, mulai dari frustrasi ringan hingga kemarahan yang meledak-ledak. Meskipun sering kali dianggap negatif, sains kini mulai mengungkap bahwa amarah memiliki fungsi biologis dan sosial yang kompleks, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti jenis kelamin, usia, kepribadian, dan pengalaman hidup.
Secara biologis, sistem saraf manusia telah mengembangkan mekanisme marah sebagai bagian dari evolusi untuk bertahan hidup. Bahkan hewan pun memiliki jalur neurologis dasar yang sama. Namun, bagaimana amarah dirasakan dan diekspresikan sangat dipengaruhi oleh cara kerja otak, konteks sosial, serta pengalaman individu. Penelitian terbaru juga mengkaji bagaimana perbedaan jenis kelamin dan tahapan usia berperan dalam mengatur dan memodulasi respons terhadap amarah.
Dalam kajian neurologis, amarah dipicu oleh aktivasi sistem penghargaan di otak. Ketika realitas tidak sesuai dengan ekspektasi yang telah dibentuk oleh pengalaman sebelumnya, otak akan memberikan sinyal “alarm” melalui peningkatan aktivitas di bagian yang disebut amigdala, sebuah struktur kecil berbentuk almond yang berperan dalam mengatur emosi. Aktivasi ini memicu respons fisiologis berupa pelepasan hormon stres seperti adrenalin dan testosteron, menyiapkan tubuh untuk bereaksi secara agresif atau defensif.
Namun demikian, apakah individu akan mengekspresikan amarah tersebut melalui agresi terbuka sangat bergantung pada area otak lainnya, yakni korteks prefrontal. Bagian ini bertanggung jawab terhadap pengambilan keputusan dan pengendalian sosial, serta berfungsi menahan impuls-impuls yang tidak sesuai norma. Ketika bagian ini bekerja dengan baik, individu mampu meredam dorongan primal untuk bereaksi secara agresif, meskipun secara emosional merasa marah.
Individu yang sedang marah cenderung mempersepsikan orang luar secara lebih negatif dan lebih mudah menyalahkan sifat pribadi.
Amarah juga terbukti memengaruhi proses pengambilan keputusan. Sejumlah studi menunjukkan bahwa emosi marah dapat menurunkan persepsi risiko dan meningkatkan kecenderungan untuk bersikap impulsif. Dalam eksperimen tertentu, peserta yang dipicu untuk merasa marah cenderung menganggap risiko penyakit jantung lebih rendah dan merasa lebih yakin akan mendapatkan kenaikan gaji dibandingkan mereka yang merasa takut. Hasil ini menunjukkan bahwa dalam konteks tertentu, amarah dapat menumbuhkan keberanian, namun pada keadaan lain dapat mendorong tindakan yang sembrono.
Selain itu, emosi ini juga memengaruhi dinamika kelompok dan relasi sosial. Individu yang sedang marah cenderung mempersepsikan orang luar secara lebih negatif, dan lebih mudah menyalahkan sifat pribadi daripada kondisi eksternal. Kemarahan sering kali mendorong seseorang untuk mencari pihak yang dapat disalahkan, sehingga menimbulkan potensi lingkaran kemarahan berulang yang sulit dihentikan.
Walaupun kerap dipandang buruk, amarah juga memiliki nilai adaptif. Penelitian dari Belanda menunjukkan bahwa ketika peserta melihat gambar wajah marah sebelum melihat objek netral seperti mug atau pulpen, mereka menganggap objek tersebut lebih menarik dan termotivasi untuk mendapatkannya. Yang menarik, para peserta tidak menyadari bahwa motivasi mereka telah dipengaruhi oleh emosi marah.
Ekspresi kemarahan juga dapat membentuk persepsi orang lain terhadap kita. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa pemimpin yang menunjukkan ekspresi marah, seperti dalam kasus Presiden Bill Clinton saat menghadapi skandal, dinilai lebih tegas dibandingkan ketika menunjukkan kesedihan. Dalam konteks seleksi kerja, kandidat yang mengakui dirinya marah diberi gaji dan status lebih tinggi dibandingkan yang mengaku sedih. Demikian pula dalam negosiasi, menunjukkan sikap keras kepala dan dominan melalui ekspresi marah terbukti meningkatkan peluang keberhasilan. Akan tetapi, temuan ini lebih banyak berlaku pada pria dikarenakan perempuan yang menunjukkan kemarahan justru sering dinilai negatif oleh lingkungan sosial.
Diolah dari artikel:
“Science of Anger: How Gender, Age and Personality Shape This Emotion” oleh Hannah Devlin.
Link: https://www.theguardian.com/lifeandstyle/2019/may/12/science-of-anger-gender-age-personality