Mengapa Orang Senang Pedas?

Desanomia [27.3.2025] Tidak semua orang menyukai rasa pedas. Hal ini karena makan makanan pedas bisa menjadi pengalaman yang benar-benar menyakitkan, yang menimbulkan beberapa pertanyaan: Apa yang membuat makanan menjadi pedas, dan mengapa hanya beberapa orang yang menyukainya?

Rasa pedas berhubungan dengan sensasi suhu, itulah mengapa rasa pedas tidak masuk dalam daftar rasa klasik seperti asam, pahit, manis, asin, dan umami. Selain reseptor rasa, lidah juga memiliki reseptor suhu yang berbeda, beberapa di antaranya terpicu oleh makanan pedas untuk menciptakan sensasi terbakar yang sebenarnya. Jadi, bukanlah hal yang berlebihan jika dikatakan bahwa makanan India atau Thailand memiliki rasa “panas.”

Zat kimia yang memberikan rasa “pedas” pada makanan disebut capsaicin. Capsaicin berasal dari cabai, yang mengembangkan zat kimia ini sebagai metabolit sekunder untuk melindungi diri dari predator, menurut John Hayes, direktur Sensory Evaluation Center di Penn State, yang mengatakan hal ini kepada Live Science.

Capsaicin masuk ke dalam reseptor suhu di lidah yang disebut TRPV1. Biasanya, TRPV1 terpicu di suhu sekitar 40 derajat Celsius (104 derajat Fahrenheit) atau lebih tinggi lagi. Akan tetapi, ketika kita memakan sesuatu yang pedas yang mengandung capsaicin, molekul capsaicin mengikat reseptor tersebut dan menurunkan energi aktivasi mereka. Dengan kata lain, capsaicin menipu reseptor untuk mengirimkan sinyal terbakar ke otak pada suhu hanya 33 derajat Celsius (91 derajat Fahrenheit). Jadi, mulut Anda merasa terbakar meskipun sebenarnya pada suhu mulut, sekitar 35 derajat Celsius (95 derajat Fahrenheit).

Piperin dalam lada hitam dan pH rendah dari cuka juga dapat memicu jalur “terbakar” TRPV1. Sementara allicin dalam bawang putih, wasabi, dan minyak mustard berinteraksi dengan reseptor suhu terpisah yang disebut TRPA1.

Hayes mengatakan bahwa secara teori, dibandingkan dengan hewan, manusia lebih menikmati sensasi terbakar ini, dan justru sebagian besar hewan justru menghindari sensasi tersebut.

Ada beberapa teori mengapa manusia menyukai makanan pedas meskipun terkadang bisa menyakitkan. Teori yang paling kuat berhubungan dengan risiko dan imbalan, menurut Hayes. Sebuah penelitian tahun 2016 dalam jurnal Appetite menunjukkan bahwa perilaku seseorang dalam mengambil risiko adalah prediktor yang baik dari preferensi mereka terhadap makanan pedas. Jika mereka suka naik roller coaster atau mengemudi cepat di jalan berliku, mereka cenderung menyukai sayap ayam mereka pedas. Intinya adalah apakah mereka mendapatkan semacam imbalan atau sensasi dari rasa sakit atau risiko, menurut Alissa Nolden, seorang ilmuwan makanan dan ahli sensori di University of Massachusetts.

Bagaimana pengalaman risiko-imbalan ini bekerja di otak masih menjadi misteri. Seorang peneliti menyebut daya tarik makanan pedas sebagai “risiko terkendali” dan “masokisme yang tidak berbahaya.” Namun, Hayes mengatakan bawah belum terdapat pencitraan otak atau data yang dapat  mengonfirmasi mekanisme pasti di otak untuk ide-ide ini.

Konsumsi makanan pedas juga mungkin berhubungan dengan sifat kepribadian yang diperkuat dalam kelompok sosial atau budaya tertentu. Sebuah studi tahun 2015 dalam jurnal Food Quality and Preference menemukan bahwa pria di Pennsylvania lebih rentan terhadap motivasi eksternal atau sosial untuk makanan pedas daripada wanita. Jadi, ada kemungkinan kaitan antara suka makanan pedas dan persepsi tentang maskulinitas. Beberapa studi awal tentang preferensi makanan pedas berhipotesis bahwa konsumsi makanan pedas terkait dengan gagasan machismo. Namun, mereka tidak menemukan perbedaan preferensi makanan pedas antara pria dan wanita dalam sampel dari Meksiko.

Nolden berpendapat bahwa teori lain berpendapat bahwa makanan pedas mungkin memiliki manfaat evolusioner di lingkungan panas. Beberapa ahli berhipotesis bahwa makanan pedas bermanfaat di daerah panas karena dapat menyebabkan keringat dan memiliki efek mendinginkan. Dirinya mengatakan bahwa terdapat juga komponen genetik yang belum sepenuhnya dieksplorasi. Telah diketahui bahwa seiring seseorang makan lebih banyak makanan pedas, mereka menjadi lebih kebal terhadap capsaicin. Namun demikian, menurut studi 2012 yang dipublikasikan dalam jurnal Physiology and Behavior, terdapat beberapa orang yang dilahirkan dengan reseptor capsaicin yang berbeda atau kurang berfungsi yang memberi toleransi terhadap rasa pedas sejak awal. Nolden mengatakan terdapat banyak variasi dalam preferensi makanan pedas berhubungan dengan variasi genetik.

Bagi orang yang telah kehilangan indera pengecapnya, makanan pedas mungkin menjadi cara untuk menikmati makanan. Misalnya, kemoterapi yang diberikan kepada pasien kanker dapat mengubah sel-sel reseptor rasa di mulut, yang berarti makanan mungkin terasa pahit, logam, atau berbeda dari sebelumnya. Karena makanan pedas terdeteksi oleh reseptor suhu dan bukan reseptor rasa, sensasi panasnya masih bisa dirasakan. Bahkan, beberapa studi menunjukkan bahwa pasien kanker mencari makanan pedas untuk meningkatkan pengalaman sensori mereka selama atau setelah kemoterapi. Secara keseluruhan, preferensi terhadap makanan pedas mungkin tidak dapat dijelaskan hanya oleh satu teori ini saja, namun kemungkian merupakan integrasi dari semua teori-teori yang ada.

Buah Pikiran

Mengapa banyak orang menyukai makanan pedas meskipun sensasi terbakar yang ditimbulkan bisa terasa menyakitkan? Makanan pedas memicu sensasi panas di lidah, yang disebabkan oleh zat kimia bernama capsaicin yang ditemukan pada cabai. Capsaicin ini bekerja dengan cara mengaktifkan reseptor suhu di lidah yang memberikan sensasi terbakar meskipun suhu makanan sebenarnya tidak terlalu panas. Proses ini memanfaatkan jalur sinyal saraf yang biasa dipicu oleh suhu tinggi, yang dimana capsaicin mampu menipu tubuh kita dengan memberikan sensasi panas pada suhu yang lebih rendah.

Ada banyak teori mengapa manusia suka makanan pedas, mulai dari faktor risiko dan imbalan, budaya, hingga faktor genetik. Beberapa orang menikmati sensasi “sakit” yang datang dengan makan makanan pedas, yang membuat mereka merasa lebih berani atau bahkan mendapatkan sensasi kesenangan dari rasa sakit tersebut. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa faktor sosial dan budaya, seperti pengaruh maskulinitas, bisa memperkuat kecenderungan seseorang untuk menyukai makanan pedas.

Kecintaan terhadap makanan pedas bisa jadi merupakan perpaduan antara faktor biologis dan psikologis. Mungkin tidak semua orang bisa menikmati rasa pedas dengan cara yang sama, namun ada elemen tertentu, seperti sensasi yang ditimbulkan atau bahkan dampaknya terhadap tubuh, yang membuat pengalaman makan makanan pedas menjadi menarik. Ada rasa kepuasan tertentu yang didapat setelah melalui rasa pedas tersebut, dan itu mungkin menjadi alasan mengapa banyak orang terus mencari makanan pedas dalam hidup mereka. (NJD)

Sumber: Livescience

Link: https://www.livescience.com/health/food-diet/why-do-people-like-spicy-food

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *