Sumber ilustrasi: pixabay
19 Mei 2025 07.00. WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Belakangan ini, dalam beberapa diskusi dan juga dalam pemberitaan maupun tajuk media, berkembang suatu harapan agar belanja pemerintah digenjot. Mengapa demikian? Hal ini tidak lepas dari: (a) kerangka berpikir yang dominan terkait hubungan antara pertumbuhan dan belanja pemerintah (government expenditure); dan (b) realitas pertumbuhan ekonomi. Sebagaimana diketahui (sebagaimana dilaporkan BPS belum lama ini) bahwa pertumbuhan pada kuartal I-2025 tercatat hanya sebesar 4,87% (yoy), melambat dibanding kuartal IV-2024 (5,02%) maupun kuartal I-2024 (5,11%), sekaligus menjadi yang terendah sejak kuartal IV-2021.
Realisasi ini menjauh dari target pertumbuhan APBN 2025 sebesar 5,2%, dan justru mendekati proyeksi IMF (4,65%) serta revisi terbaru Bank Dunia (4,7%). Berdasarkan pengeluaran, konsumsi rumah tangga tetap menjadi kontributor utama Produk Domestik Bruto (PDB) dengan porsi 54,53% dan pertumbuhan 4,89%, relatif stagnan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Namun yang mencolok adalah kontraksi konsumsi pemerintah sebesar 1,38%, berbanding terbalik dengan lonjakan 19,90% pada kuartal I-2024.
Poin itulah, yang sangat mungkin menjadi dasar mengapa harapan di atas berkembang. Tentu dapat diduga, mengapa kontribusi belanja menurun. Hal ini tidak lepas dari kebijakan efisiensi anggaran di tingkat pusat dan daerah. Atas kenyataan tersebut, tidak berlebihan jika strategi ekonomi yang diambil, ternyata berdampak kontraproduktif terhadap belanja negara dan iklim investasi. Sementara ini, diakui atau tidak, belanja pemerintah punya peran dalam ikut mendorong aktivitas sektor swasta, baik dalam bentuk investasi baru maupun ekspansi usaha. Ketika pemerintah menahan belanja, swasta cenderung mengikuti, sehingga menyebabkan melemahnya permintaan agregat dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Sebagaimana yang disebutkan di atas, pemikiran dominan melihat bahwa dalam kerangka pencapaian target pertumbuhan ekonomi 8%, belanja memegang peranan penting sebagai instrumen utama kebijakan fiskal. Meskipun kontribusinya secara nominal terhadap PDB tidak sebesar konsumsi rumah tangga, peran belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tetap sangat krusial. Angka yang ada cukup jelas bahwa pada periode sebelumnya konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55% dari PDB, sedangkan belanja pemerintah hanya sekitar 7–12,5%. Barangkali karena itulah muncul “desakan” agar belanja perlu digenjot. Mengapa?
Jawabannya terletak pada sifat diskresioner dan proaktif dari belanja. Berbeda dengan konsumsi atau investasi swasta yang bersifat reaktif terhadap sentimen dan siklus pendapatan, belanja pemerintah dapat didesain dan dieksekusi secara strategis sesuai kebutuhan makroekonomi. Dalam kondisi normal, belanja berfungsi menopang penyediaan barang publik dan layanan dasar. Namun dalam kondisi pelemahan ekonomi, seperti akibat tekanan global, perang tarif, pelemahan daya beli, atau ketidakpastian geopolitik, belanja dapat menjadi alat utama untuk mendorong permintaan agregat secara cepat dan terukur.
Sudah barang tentu menggenjot belanja, bukan artinya suatu tindakan reaktif, atau sekedar menambah anggaran nominal. Yang harus dipastikan adalah: (1) alokasi anggaran diarahkan ke sektor-sektor yang berdampak besar pada ekonomi riil seperti infrastruktur, pendidikan, perlindungan sosial, dan Kesehatan; (2) realisasi anggaran harus cepat dan efisien, karena keterlambatan penyerapan membuat multiplier fiskal kehilangan momentum; dan (3) mekanisme pelaksanaan anggaran harus bersih dan akuntabel, untuk menghindari kebocoran yang mengurangi efektivitas belanja. Jika yang terakhir tidak terjaga, maka jelas masalah justru akan bertambah.
***
Efektivitas belanja pemerintah dalam mendorong pertumbuhan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh jumlahnya, tetapi oleh kemampuannya memicu aktivitas ekonomi lain, terutama konsumsi rumah tangga. Di sinilah pentingnya memahami cara berpikir dan cara kerja fiscal, yang membuat belanja dapat berdampak luas pada variabel-variabel makro lain seperti konsumsi, investasi, dan bahkan ekspor dan impor. Pada titik inilah kapasitas otoritas ekonomi sangat diharapkan. Ketika realitas ekonomi tidak mampu dibaca dengan utuh, maka masalah hanya tinggal menunggu waktu.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa ketika belanja digenjot, maka akan terjadi pergeseran permintaan. Apabila belanja diarahkan untuk proyek padat karya, bantuan langsung, atau subsidi harga, maka masyarakat akan mengalami peningkatan pendapatan disposabel. Dalam cara berpikir ini, peningkatan pendapatan diyakini akan mendorong konsumsi, yang pada gilirannya mendorong produksi, lapangan kerja, dan pendapatan lebih lanjut. Jika proses ini berulang dalam beberapa putaran, akan menghasilkan suatu efek ganda atau multiplier. Dengan perhitungan teknis, diyakini bahwa multiplier bisa mencapai angka tertentu. Artinya, setiap nilai belanja, akan dapat menciptakan efek penambahan berlipat pada pendapatan nasional.
Sebagian kalangan berpandangan bahwa yang disebut dengan peningkatan belanja, atau menggenjot belanja, sekali lagi, bukan tentang angka, akan tetapi juga sifat psikologis dan struktural. Artinya, menggenjot belanja bukanlah pilihan politis yang oportunistik, melainkan kebutuhan struktural yang didasarkan pada prinsip-prinsip ekonomi makro. Dalam situasi ekonomi yang rentan terhadap pelemahan permintaan, pemerintah diharapkan dapat menjadi penggerak yang efektif. Karena itu, yang utama bukan hanya kuantitasnya, melainkan, tetapi juga cepat, terukur, dan akuntabel. Di sinilah kualitas otoritas diuji, apakah mampu menjaga keseimbangan antara dorongan pertumbuhan, kendali inflasi, dan etika. (Siti Badriyah, dari berbagai sumber).