Merawat Air

sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: Untoro Hariadi

Di desa-desa, air bukan sekadar kebutuhan. Ia adalah kehidupan itu sendiri. Dari tetesan hujan di atap rumah hingga aliran irigasi yang mengairi sawah, air adalah denyut yang menghidupkan semua sendi desa. Namun, hari ini, hubungan itu semakin renggang. Sungai yang dulu jernih kini keruh, mata air banyak yang mengering, dan petani mulai kesulitan mengairi sawah. Tak sedikit warga desa yang kini membeli air dalam galon, ironi yang menyesakkan di tengah tanah yang pernah disebut sebagai lumbung air.

Fenomena ini bukan hanya soal perubahan cuaca. Ia juga bicara tentang rusaknya keseimbangan antara manusia dan alam. Ketika sawah gagal panen karena irigasi tak mengalir, ketika air bersih menjadi komoditas mahal, dan ketika masyarakat desa kehilangan akses terhadap sumber air yang dulunya dijaga bersama, kita patut bertanya: apa yang salah dalam cara kita memperlakukan air?

Krisis dan Ketimpangan

Krisis air tak muncul tiba-tiba. Ia tumbuh dari akumulasi kesalahan kebijakan, perusakan ekosistem hulu, dan sistem ekonomi yang menjadikan air sebagai komoditas. Saat hutan-hutan di pegunungan dibabat untuk perkebunan atau tambang, kemampuan tanah untuk menyerap dan menyimpan air pun ikut hilang. Hujan deras tak lagi berarti berkah, melainkan banjir di hilir. Sementara saat musim kemarau, desa-desa mengalami kekeringan yang tak lagi dapat diatasi hanya dengan menunggu hujan.

Forest Watch Indonesia (2023) mencatat bahwa Pulau Jawa mengalami kerusakan hutan yang signifikan, dengan deforestasi mencapai lebih dari 1 juta hektare sejak dekade terakhir, terutama di wilayah hulu yang menjadi daerah tangkapan air utama.

Di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, beberapa desa masih mengalami kekeringan bahkan saat musim hujan telah tiba. Kompas (2021) melaporkan bahwa penurunan debit mata air secara drastis terjadi di sejumlah wilayah akibat deforestasi dan degradasi lingkungan.

Ironisnya, di tengah krisis ini, industri besar tetap memiliki akses besar terhadap sumber air tanah. Misalnya, dalam laporan Walhi (2020), disebutkan bahwa perusahaan air minum dalam kemasan di Jawa Barat mampu menyedot jutaan liter air tanah tiap bulan, sementara masyarakat sekitar mengeluhkan kekeringan dan turunnya debit sumur.

Inilah bentuk baru ketimpangan. Ketika air dikontrol oleh yang punya modal, maka masyarakat lokal kehilangan hak dasarnya. Padahal, menurut konstitusi dan prinsip hak asasi manusia, air adalah milik bersama, bukan untuk diperjualbelikan seenaknya. Persoalan air hari ini bukan hanya soal ketersediaan, tapi soal siapa yang menguasai dan siapa yang dirampas haknya.

Pengetahuan dan Inisiatif Warga

Berhadapan dengan situasi tersebut, banyak komunitas desa tidak tinggal diam. Mereka menghidupkan kembali cara-cara lama dalam menjaga dan mengelola air. Pengetahuan lokal yang selama ini dianggap kuno justru terbukti lebih adaptif dan adil dalam menghadapi krisis.

Contohnya dapat ditemukan dalam praktik konservasi air di beberapa desa di Temanggung dan Wonogiri, di mana masyarakat membangun embung kecil dan saluran air dengan sistem gotong royong (Bappenas, 2019). Embung ini tidak hanya berguna untuk irigasi pertanian, tetapi juga menjadi cadangan air bersih di musim kemarau.

Nilai-nilai spiritual juga masih hidup dalam pengelolaan air. Studi dari UIN Sunan Kalijaga (2023) menunjukkan bahwa mata air Sendang Beji di Yogyakarta dijaga bukan hanya karena fungsinya sebagai sumber air bersih, tetapi juga karena nilai budaya dan spiritual yang menyertainya. Tradisi nyadran atau sedekah bumi menjadi bentuk penghormatan masyarakat terhadap sumber air.

Perempuan juga menjadi aktor penting dalam perawatan air. Dalam laporan Jurnal Perempuan (2022), komunitas ibu-ibu di beberapa desa di Sleman aktif dalam kampanye pelestarian mata air, seperti program Sekolah Sungai dan pemantauan kualitas air sumur rumah tangga.

Tak ketinggalan, kaum muda desa pun bergerak. Di Cianjur, beberapa komunitas pemuda seperti Yayasan Citarum Care secara berkala melakukan bersih sungai dan konservasi riparian. Aksi ini bertujuan membangkitkan kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga kualitas air dan kelestarian sungai.

Apa yang dilakukan oleh warga seperti ini harus dilihat sebagai model. Pemerintah seharusnya tidak semata mengejar proyek-proyek infrastruktur besar yang kerap mengabaikan konteks lokal, tetapi mulai belajar dari upaya warga yang terbukti mampu menjawab tantangan air dengan cara yang murah, efektif, dan berakar kuat pada budaya setempat.

Penutup

Air bukan sekadar sumber daya. Ia adalah sumber kehidupan. Kita tidak hanya memakainya, tetapi juga bergantung padanya secara total. Maka, merawat air berarti merawat masa depan. Tidak cukup hanya bicara soal efisiensi atau pembangunan, kita juga harus bicara soal etika dan keadilan dalam pengelolaan air.

Pemerintah harus segera menghentikan praktik privatisasi sumber air yang merugikan masyarakat. Sistem hukum perlu diperkuat untuk melindungi akses publik terhadap air bersih. Dunia pendidikan harus menanamkan nilai cinta lingkungan sejak dini. Dan masyarakat, terutama desa-desa, harus terus diberi ruang dan pengakuan untuk menjadi penjaga air yang sesungguhnya.

Jika kita membiarkan air terus diperlakukan sebagai komoditas, maka yang hilang bukan hanya mata air atau sungai. Yang hilang adalah hak hidup, kedaulatan desa, dan masa depan generasi berikutnya. Sebaliknya, jika kita merawat air hari ini—melalui aksi kecil, perubahan kebijakan, atau gerakan bersama—maka kita sedang menjaga kehidupan itu sendiri.

Karena ketika kita merawat air, kita sejatinya sedang merawat kehidupan bersama, dan menjaga harapan agar desa tetap menjadi tempat tinggal yang layak, berdaulat, dan cukup bagi semua.

Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *