sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Syamsudin, M.A.
Mudik adalah peristiwa tahunan, yang telah makin menjadi momen kebudayaan universal. Maksudnya adalah bahwa mudik, sudah bukan lagi peristiwa yang eksklusif, yakni hanya bagi mereka yang merayakan Idul Fitri. Mudik telah menjadi bagian dari ritus tahunan, sebagaimana juga peristiwa libur di akhir tahun. Namun mudik memiliki kekhususan, karena didalamnya termuat mekanisme layaknya “refresh”, atau proses untuk “kembali ke akar”. Apabila kampung halaman merupakan “akar”, maka mudik menjadi lintasan untuk kembali ke “akar” tersebut.
Mengapa mereka yang telah pergi membutuhkan “kembali”? Jawaban langsungnya adalah karena yang pergi, belum lagi benar-benar pindah. Entah karena masih membutuhkan penyesuaian hidup di tempat baru, atau mungkin ikatan dengan kampung demikian kuat. Bagi mereka yang pernah mudik, tentu dapat merasakan sendiri, apa yang sesungguhnya mendorong untuk mudik. Sebagian jawabnya adalah karena mudik memungkinkan diri mengalami semacam “pencucian” atau “pembersihan”, agar senantiasa ingat akan asal, dan cita-cita.
Pada sisi yang lain, mudik juga dapat menjadi tanda adanya kesadaran diri, bahwa perubahan telah membawa dampak. Salah satu dampak yang paling terasa adalah rasa terpisah. Ketika awal meninggalkan kampung halaman, rasa rindu demikian kuat. Tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, waktu dan durasi kerinduan bergeser. Ada peluang untuk lupa. Atau peluang untuk benar-benar terputus. Keadaan tersebut tentu tidak diinginkan. Karena itulah mudik dirawat, sebagai jalan untuk kembali, dan terus terhubung.
Politik Kita
Jika politik, dipahami sebagai “sesuatu yang berakar”, dan akarnya adalah rakyat. Maka seiring dengan berjalannya waktu, politik terasa makin terpisah atau terputus dengan rakyat. Politik seakan telah tiba dipulaunya sendiri. Suatu tempat yang tidak terjangkau oleh rakyat, dan karena itu, dia merasa boleh melakukan apapun. Kejadian belum lama ini memperlihatkan bagaimana acrobat politik yang makin sulit dipahami, jika dilihat dari sudut pandang demokrasi. Perilaku politik akan mudah dipahami jika dilihat dari sudut terputusan. Mengapa, karena keadaan yang berkembang, masih jauh dari apa yang diharapkan.
Kita dapat mengambil tiga hal utama: Satu, kenyataan kesenjangan sosial. Jurang antara yang serba kekurangan, dengan yang serba kelebihan makin lebar. Gelombang PHK yang kini sedang berlangsung, menambah deretan kenyataan, yang mencerminkan keadilan masih menjadi harapan. Dua, banyaknya kasus hukum yang mengenai para pejabat publik. Hal ini, tidak saja menunjukkan kesadaran pelayanan tidak ada, namun juga meningkatnya potensi penyalahgunaan kekuasaan. Tiga, lemahnya proteksi atas rakyat, terutama jika ekonomi rakyat mendapatkan tekanan dari gejolak ekonomi global. Masuknya barang impor, telah menjadi ancaman ekonomi rakyat, karena komoditas local tidak mampu bersaing.
Ketiga masalah tersebut, menunjukkan bahwa politik (baca: negara), belum sepenuhnya mampu memberikan jawaban atas apa yang dihadapi rakyat. Tentu pertanyaan besar kita adalah apakah politik benar-benar tersambung dengan denyut hidup rakyat, atau benar-benar mengerti apa yang menjadi “amanat penderitaan rakyat”, ataukah tidak. Jika tidak, maka inilah yang hendak kita sebut sebagai “keterputusan politik” dengan “ibu kandung”nya, yakni rakyat. Pertanyaannya, mengapa dapat “terputus”? Apakah suatu upaya menyambung masih dimungkinkan? Tentu kita tidak ingin keterputusan tersebut menjadi keadaan permanen. Kita harap adalah keadaan sementara yang bisa dapat segera dipulihkan.
Mudik Politik
Jika mudik kultural adalah momen ketika pemudik menyadari bahwa perjalanannya telah mengalami distorsi, yang mungkin saja telah menyimpang. Mudik adalah kesadaran untuk kembali, dan melakukan perbaikan. Mudik politik dengan demikian adalah suatu upaya untuk menemukan kembali “dirinya”. Mudik politik dengan demikian adalah suatu upaya menghadirkan suatu kesadaran baru.
Mudik politik juga dapat dipahami sebagai bentuk kritik terhadap proses degenerasi nilai dalam praktik politik. Politik yang terlalu terobsesi pada kalkulasi kekuasaan kerap kehilangan visinya tentang keadilan, kebebasan, atau solidaritas sosial. Dalam konteks ini, mudik politik adalah upaya untuk menandai bahwa politik yang telah terlalu larut dalam kompromi strategis perlu “kembali” untuk menilai sejauh mana ia telah menyimpang dari prinsip-prinsip dasarnya.
Dalam cara berpikir itu, kita ingin mudik memberi inspirasi pada politik, untuk kembali kepada dasar eksistensinya, yakni rakyat.
(Artikel ini telah terbit di harian Kedaulatan Rakyat, 3 April 2025)
Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi 45