Mythomania, Apa Itu?

Sumber ilustrasi: pixabay

2 Juni 2025 14.40 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Jika percakapan publik dapat dipandang sebagai pantulan kenyataan dan pikiran yang berkembang di tengah masyarakat, maka menjadi penting untuk membuat refleksi atas diksi utama yang berkembang dalam percakapan publik. Dalam kaitan inilah kita bertemu denga napa yang kini tengah menjadi bagian dari percakapan publik, yakni: mythomania. Apa itu? Apa sebenarnya yang tengah dipercakapkan dan mungkin yang dikhawatirkan publik?

***

Mythomania atau kebohongan patologis merupakan fenomena psikologis yang memiliki implikasi sosial yang mendalam. Mengapa penting untuk direfleksikan? Tentu saja karena masyarakat menjunjung tinggi kejujuran sebagai nilai moral dan fondasi hubungan sosial. Keberadaan individu yang terus-menerus berbohong tanpa alasan, tentu akan menimbulkan kebingungan, kecurigaan, dan bahkan keretakan dalam jaringan sosial. Meski sekilas tampak sebagai perilaku tidak etis, mythomania barangkali lebih kompleks dan berakar pada “realitas” psikologis yang dalam.

Dalam pandangan umum, individu dengan mythomania bukan sekadar berbohong untuk keuntungan pribadi, seperti menghindari hukuman atau mendapatkan imbalan. Mereka sering kali berbohong karena dorongan internal yang tidak bisa mereka kendalikan. Kebohongan menjadi semacam mekanisme pertahanan diri, atau dalam banyak kasus, cara untuk membentuk identitas sosial yang mereka anggap lebih diterima atau lebih layak. Fenomena ini menjadi cerminan dari bagaimana tekanan sosial, ekspektasi kolektif, dan pengalaman masa lalu dapat membentuk pola perilaku yang menyimpang.

Dari sudut pandang sosial, mythomania menantang pemahaman publik tentang autentisitas dan kepercayaan. Dalam interaksi sosial, kepercayaan merupakan komoditas yang tidak kasat mata namun sangat berharga. Ketika seseorang terus-menerus berbohong, tidak hanya kredibilitas pribadi yang runtuh, tetapi juga kestabilan relasi sosial yang dijalinnya. Keluarga, pertemanan, dan bahkan institusi sosial seperti sekolah atau tempat kerja bisa terdampak oleh perilaku ini. Lebih jauh, masyarakat yang tidak memahami kondisi ini cenderung menstigma pelakunya, menyamakan mereka dengan pembohong manipulatif, padahal mythomania lebih menyerupai gangguan psikologis (yang mungkin merupakan produk sosial) daripada kejahatan moral.

Darimana sumber kasus mythomania? Para ahli mungkin akan mengatakan bahwa kasus ini bisa bermula dari hal-hal yang timbul di lingkungan terkecil hingga komunitas, atau kebutuhan yang tidak terpenuhi akan validasi dan perhatian. Dalam konteks ini, kebohongan bukan sekadar alat manipulasi, tetapi dapat menjadi semacam “narasi penyelamat” yang dibangun untuk melindungi harga diri yang rapuh. Yang menjadi masalah adalah ketika narasi palsu yang dibangun terus-menerus, justru menjerat pelakunya dalam labirin ilusi, menjauhkan mereka dari hubungan yang sehat dan dari pemahaman yang jujur tentang diri sendiri.

Dalam masyarakat yang memiliki kecenderungan untuk menoleransi kebohongan kecil dalam konteks sosial tertentu, seperti basa-basi atau sopan santun, sebenarnya (dapat dikatakan) tidak memberi tempat pada kasus mythomania. Mengapa? Tentu karena bahaya yang dibawanya. Yakni ketika kasus ini diterima, bukan tidak mungkin kebohongan menjadi identitas. Suatu stuasi dimana masyarakat telah kehilangan kerangka normatif dalam menilai situasi tertentu. Di sinilah pentingnya pendekatan yang tidak hanya normatif, tetapi juga terapeutik. Individu dengan mythomania membutuhkan pemahaman, bukan penghakiman semata. Psikoterapi, pendidikan masyarakat tentang kesehatan mental, dan lingkungan sosial yang suportif dapat membantu mereka merekonstruksi kembali kejujuran sebagai bagian dari relasi yang sehat.

Dengan demikian, mythomania bukan hanya persoalan pribadi, tetapi juga refleksi dari cara masyarakat kita memperlakukan perbedaan, ketidaksempurnaan, dan kebutuhan emosional. Dalam dunia yang kian menuntut pencitraan, kebutuhan akan validasi, dan tekanan untuk selalu “tampak baik”, mythomania menjadi gejala yang sekaligus cermin: bahwa kebohongan patologis bukan hanya tentang siapa yang berbohong, tetapi juga tentang dunia seperti apa yang membuat kebohongan terasa perlu. (NRT-06-25)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *