sumber ilustrasi: unsplash
Apakah itu oleh-oleh? Kamus Bahasa menyebutkan bahwa oleh-oleh adalah buah tangan. Sesuatu yang dibawa setelah bepergian. Ada pula yang memberi makna lebih jauh, yakni sesuatu yang secara sengaja dibawa pulang dan diberikan kepada individu tertentu sebagai tanda kepergian, pengingatan, dan keterikatan, yang memiliki makna tertentu, baik yang bersifat kongkrit maupun simbolik dalam konteks hubungan sosial dan tradisi budaya.
Mengapa demikian itu? Jika anda datang kepada pengalaman sehari-hari, sangat mungkin anda menjadi bagian dari para pelaku yang menghadirkan peristiwa yang melibatkan oleh-oleh di dalamnya. Misalnya saja, anda adalah pihak yang hendak bepergian ke luar kota, atau ke tempat yang jauh. Jika info tersebut sampai ke para pihak, yang punya hubungan kedekatan dengan anda, maka bukan tidak mungkin kepada anda akan datang permintaan atau sejnis harapan: “ … jangan lupa oleh-olehnya ya”.
Pesan tersebut tampak sangat sederhana. Namun, dalam prakteknya tidak sesederhana ucapan yang dikeluarkan. Pertama, apakah anda terbayangkan, bagaimana jika ketika kembali dari bepergian tersebut, anda tidak membawa serta oleh-oleh yang diharapkan? Apakah hubungan anda akan baik-baik saja, atau akan mendapatkan tantangan tertentu? Mengapa pesan yang tampak sederhana tersebut, dapat menimbulkan implikasi yang kompleks ketika tidak diwujudkan?
Kedua, sebaliknya jika anda membawa serta oleh-oleh dan anda menyerahkannya secara spesial, apa yang akan terjadi? Atau, anda secara khusus membelikan oleh-oleh kepada pribadi tertentu, yang dia sendiri tidak mengharapkan oleh-oleh dari anda, namun anda lah yang berinisiatif untuk membelikannya. Ketika bertemu, anda mengatakan bahwa anda membelikan oleh-oleh secara khusus, mengingat barang yang menjadi oleh-oleh termasuk barang langka, atau sulit diperoleh. Jelas bahwa oleh-oleh menjadi semacam “jembatan” atas pesan yang mungkin tidak bisa diucapkan.
Pada masa mudik lebaran, oleh-oleh menjadi bagian dari kemeriahan. Barangkali, orang-orang tertentu, menyediakan waktu khusus, yang dipergunakannya mencari atau membeli oleh-oleh. Bahkan, kebutuhan tersebut telah menjadi peluang bisnis tersendiri, dalam bentuk penyediaan barang khas yang menjadi ciri atau identitas daerah, dan barang-barang itulah yang umumnya akan dibawa sebagai oleh-oleh. Toko oleh-oleh menjadi bagian dari lokasi yang diserbu para pemudik, sebelum kembali ke kota. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
Beberapa kemungkinan bisa saja terjadi: Satu, dalam masyarakat tradisional, relasi antarmanusia tidak berdiri dalam ruang kosong, melainkan dalam jaringan sosial yang padat makna: keluarga besar, kampung halaman, tetangga, bahkan struktur adat. Dalam struktur seperti ini, kepergian bukanlah sekadar peristiwa personal. Ia adalah peristiwa sosial yang mengubah keseimbangan simbolik dalam komunitas. Oleh karena itu, kepulangan dari perjalanan harus disertai oleh isyarat sosial bahwa keterikatan tidak tercerabut: inilah fungsi oleh-oleh. Yakni menjadi semacam jembatan simbolik yang menyambung kembali individu dengan komunitas setelah mengalami perpisahan temporer. Ia menyatakan bahwa meskipun seseorang telah melintasi batas geografis atau budaya, ia tetap terikat pada jejaring sosial asalnya atau ia tetap ingat handai tolan, dan karenanya dia membawa buah tangan dari tanah seberang.
Dua, dalam masyarakat yang menekankan nilai timbal balik, seperti masyarakat agraris atau masyarakat patron-klien di banyak wilayah Indonesia, memberi oleh-oleh adalah bagian dari norma etis. Ia bukan sekadar pilihan, tetapi dalam banyak kasus merupakan kewajiban moral yang tak tertulis. Dengan membawa oleh-oleh, seseorang memenuhi tuntutan akan balas jasa, perhatian, atau bahkan “hutang budi”. Sebagian kita menganggap bahwa setiap pemberian dalam tradisi bukanlah perbuatan bebas nilai. Ia menciptakan semacam “hutang simbolik”, yang menuntut adanya pengakuan dan, suatu hari, balasan. Maka oleh-oleh tidak berdiri sendiri, melainkan masuk dalam sirkulasi etis yang menjaga kohesi dan hirarki dalam masyarakat tradisional.
Tiga, tradisi bukan sekadar adat yang dikerjakan secara mekanis; ia juga adalah wadah bagi memori kolektif. Oleh-oleh membawa serta bukan hanya benda, tetapi juga cerita yang mengiri atau bahkan membungkus suatu oleh-oleh, seperti: “Ini geplak khas dari Bantul,” “Ini pempek khas Palembang,” atau cerita lainnya. Kesemuanya itu, menggambarkan bahwa oleh-oleh adalah media transmisi narasi—ia membawa kisah, pengetahuan, dan pengalaman yang dialami si pelancong dan kemudian ditanamkan kembali dalam wacana kolektif. Dalam hal ini, oleh-oleh juga menjalankan fungsi pendidikan kultural. Ia menyampaikan bahwa dunia lebih luas dari kampung halaman, namun keterbukaan terhadap dunia itu justru meneguhkan identitas komunitas asal. Oleh-oleh menjadi pengingat akan pentingnya asal-usul dalam arus perubahan.
Ketiga hal tersebut, hanya sebagian makna yang dapat dieksplorasi dari keberadaan oleh-oleh dalam kerangka relasi sosial budaya. Apa yang hendak dikatakan di sini bahwa oleh-oleh bukanlah barang atau sesuatu yang sederhana. Keberadaannya memuat demikian banyak relasi makna, yang memperlihatkan bahwa di balik tata hidup bersama kita terdapat demikian kaya dan kompleks jaringan makna. Kenyataan ini tentu membutuhkan kearifan tersendiri untuk memahaminya. Pemahaman atasnya, tidak saja akan membantu kita untuk bersikap dan bertindak secara benar, namun mungkin juga akan memperlihatkan potensi tersembunyi yang bukan tidak mungkin dapat menjadi titik tolak suatu transformasi sosial. [Desanomia – 6.4.25 – TM]