sumber ilustrasi: freepik
Oleh: Pandu Sagara
7 Mei 2025 14.20 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Apakah kecemasan dibolehkan? Sebagian kita mungkin akan mengatakan bahwa punya rasa cemas merupakan hak kodrati. Suatu hak yang tidak bisa dibatalkan oleh siapapun. Tetapi apakah begitu? Bagaimana jika sumber kecemasan bukan berasal dari dalam. Artinya, kecemasan yang dimaksud bukan kecemasan yang bersifat privat, melainkan kecemasan yang bersifat publik. Disebut publik, karena sumber kecemasan bukan hal-hal yang bersifat privat, akan tetapi hal yang bersifat publik. Yang menjadi masalah adalah jika ada yang cemas atas suatu keadaan, dan sebaliknya ada yang tidak cemas, malah mungkin bersuka cita atau menganggapnya biasa-biasa saja. Keadaan ini adalah apa yang hendak disebut di sini sebagai pelambatan ekonomi.
***
Kalau kita pergi kepada data-data resmi, maka sulit bagi kita untuk tidak mengatakan bahwa keadaan sedang tidak baik-baik saja. Oleh sebab itulah, kita mengatakan bahwa pelambatan ekonomi, merupakan hal yang nyata. Kita ingin mengatakan bahwa apa yang berlangsung dalam beberapa tahun terakhir bukan sekadar gejala jangka pendek yang bisa diatasi dengan instrumen fiskal atau moneter biasa. Mengapa? Karena yang terjadi mencerminkan suatu ketegangan struktural yang lebih dalam, yakni belum berhasilnya membangun fondasi produktivitas yang kokoh dan kemampuan inovasi yang berkelanjutan. Dalam konteks ini, persoalan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari kenyataan riil, kinerja dan arah pembangunan itu sendiri. Pertumbuhan yang melambat menandakan bahwa mesin utama ekonomi tengah mengalami kelelahan. Kita sebut kelelahan, tentu karena beban eksternal, atau dalam hal ini siklus global atau tekanan geopolitik, tetapi juga akibat ketergantungan pada strategi lama yang tidak mampu lagi menjawab tantangan zaman.
Salah satu akar utama pelambatan ini adalah rendahnya produktivitas tenaga kerja nasional. Dibandingkan negara-negara di kawasan Asia Tenggara lainnya, kita dapat dikatakan masih tertinggal dalam hal output per tenaga kerja. Ini bukan semata akibat kekurangan tenaga kerja, melainkan karena kelemahan dalam sistem pendidikan dan pelatihan yang belum menjawab kebutuhan industri modern. Sumber daya manusia Indonesia belum sepenuhnya dipersiapkan untuk menghadapi dunia kerja yang kini menuntut keterampilan kompleks, pemahaman teknologi, dan kemampuan beradaptasi tinggi. Akibatnya, potensi demografis yang semestinya menjadi kekuatan justru menjadi beban laten, yang menekan kapasitas pertumbuhan jangka panjang. Kita sangat khawatir jika bonus berubah menjadi kutukan.
Selain itu, struktur ekonomi dalam kenyataan masih terlalu bertumpu pada ekspor bahan mentah dan produk primer dengan nilai tambah rendah. Dalam situasi ekonomi global yang tidak pasti, ketergantungan semacam ini menjadikan ekonomi kita sangat rentan terhadap fluktuasi harga komoditas. Padahal, bangsa-bangsa yang berhasil lepas dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap) adalah mereka yang mampu menciptakan ekosistem inovasi dan teknologi, mengolah sumber dayanya menjadi produk bernilai tinggi, serta membangun industri manufaktur dan jasa berbasis pengetahuan. Ketiadaan orientasi nilai tambah yang serius membuat kita berjalan di tempat, terjebak dalam lingkaran pertumbuhan rendah dan ketimpangan sosial yang meluas.
Masalah lain yang dapat dikatakan ikut memperdalam pelambatan ekonomi adalah ketiadaan dorongan struktural berskala besar, atau apa yang sering disebut oleh pakar ekonomi sebagai suatu “big push.” Sebagian pihak mungkin akan mengatakan bahwa kita belum mampu membangun suatu proyek ekonomi yang mampu menyatukan berbagai sektor dalam kerangka transformasi yang terkoordinasi. Pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan memang penting, tetapi belum cukup untuk mendorong daya saing sistemik. Diperlukan arah kebijakan yang lebih strategis dan terfokus: sebuah program yang tidak hanya memobilisasi modal, tetapi juga mengonsolidasikan tenaga sosial, politik, dan intelektual bangsa dalam suatu gerakan pembangunan menyeluruh. Tanpa ini, pembangunan akan tetap parsial, terpecah-pecah, dan kehilangan efek pengganda yang diharapkan. Suatu orkestrasi besar dibutuhkan.
Pelambatan ekonomi, dengan demikian, bukan pertama-tama akibat dari kondisi eksternal, tetapi cerminan dari stagnasi visi dan strategi serta aksi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagai bangsa kita masih belum secara sungguh-sungguh memilih jalur kemandirian sebagai orientasi utama. Ketergantungan pada investasi asing, pasar luar negeri, dan instrumen kebijakan jangka pendek menandakan belum lahirnya keberanian politik dan intelektual untuk meletakkan dasar ekonomi yang berpihak pada rakyat, berorientasi jangka panjang, dan berakar pada kekuatan produksi nasional. Maka, yang dibutuhkan bukan sekadar percepatan pertumbuhan, tetapi pemulihan kekuatan ekonomi bangsa melalui keberanian untuk mentransformasi seluruh bangunan ekonomi-politik ke arah yang lebih adil, berdaulat, dan berkelanjutan. Mungkinkan desa menjadi salah satu titik strategisnya?