Pemutihan Terumbu Karang Terburuk, 84% Terdampak

sumber ilustrasi: pixabay

25 Apr 2025 17.30 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________

Desanomia [25.4.2025] Sebanyak 84% terumbu karang di seluruh dunia telah mengalami pemutihan akibat panas ekstrem di laut, menjadikan peristiwa ini sebagai yang terparah dalam sejarah pemantauan ekosistem laut. Temuan ini diumumkan oleh Inisiatif Terumbu Karang Internasional (ICRI), sebuah koalisi global yang terdiri dari lebih dari 100 pemerintahan dan organisasi non-pemerintah.

Ini merupakan peristiwa pemutihan global keempat sejak tahun 1998, dan telah melampaui skala pemutihan antara 2014 hingga 2017 yang sebelumnya memengaruhi sekitar dua pertiga terumbu dunia. Krisis terbaru ini dimulai sejak 2023 dan dipicu oleh pemanasan suhu laut yang terus meningkat, tanpa kejelasan kapan akan mereda.

Mark Eakin, sekretaris koresponden International Coral Reef Society dan mantan kepala program Coral Reef Watch NOAA, menyampaikan bahwa kemungkinan besar tingkat stres panas laut tidak akan kembali ke bawah ambang batas pemicu pemutihan global. Ia menilai situasi ini sebagai perubahan drastis terhadap wajah planet bumi serta kapasitas laut untuk menopang kehidupan dan ekonomi manusia.

Tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang sejarah, dengan suhu permukaan laut non-kutub rata-rata mencapai 20,87 derajat Celsius. Suhu ini dianggap mematikan bagi karang, yang memegang peranan penting dalam produksi pangan laut, sektor pariwisata, serta perlindungan garis pantai dari abrasi dan badai.

Karang yang sehat mendapatkan warna cerahnya dari alga yang hidup di dalam jaringan mereka dan menjadi sumber makanan. Namun, saat suhu laut meningkat terlalu tinggi, alga ini mengeluarkan senyawa beracun dan kemudian dikeluarkan oleh karang, meninggalkan kerangka putih yang rapuh dan meningkatkan risiko kematian karang.

Kondisi pemutihan kali ini begitu ekstrem sehingga NOAA terpaksa memperluas skala peringatan pemutihannya untuk menyesuaikan dengan tingkat ancaman yang lebih besar terhadap kematian karang.

Sejumlah upaya konservasi tengah dilakukan, seperti proyek di Belanda yang menumbuhkan fragmen karang di lingkungan buatan, serta program penyelamatan di Florida yang mengembalikan karang yang telah direhabilitasi ke habitat alaminya.

Namun, para ilmuwan menyepakati bahwa upaya-upaya ini tidak cukup apabila tidak disertai dengan pengurangan signifikan emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana, yang sebagian besar berasal dari pembakaran bahan bakar fosil. Eakin menyebut bahwa solusi paling efektif untuk melindungi terumbu karang adalah mengatasi penyebab utama perubahan iklim, dan bukan hanya memberikan solusi sementara.

Melanie McField dari Jaringan Pemantauan Terumbu Karang Global menambahkan bahwa kegagalan mengambil tindakan yang memadai terhadap perubahan iklim akan berdampak fatal bagi kelangsungan hidup terumbu karang. Ia menyoroti bahwa ketidakpedulian manusia dapat mempercepat kehancuran ekosistem ini.

ICRI merilis pembaruan ini di tengah kebijakan lingkungan kontroversial Presiden Donald Trump dalam masa jabatan keduanya, termasuk perluasan penggunaan bahan bakar fosil dan pemangkasan program energi bersih. Menurut Eakin, langkah pemerintahan tersebut dapat membawa dampak yang menghancurkan terhadap sistem ekologi yang sudah rapuh.

Buah Pikiran

Peristiwa pemutihan terumbu karang global yang kini mencakup 84% dari seluruh terumbu dunia bukan hanya menjadi penanda krisis lingkungan, tetapi juga seruan mendesak bagi komunitas internasional untuk bertindak. Ketergantungan terhadap bahan bakar fosil dan minimnya kebijakan pengendalian iklim telah membawa ekosistem laut mendekati titik kritis.

Sebagai fondasi ekosistem laut, keberlangsungan terumbu karang sangat penting bagi ketahanan pangan, mata pencaharian, dan perlindungan wilayah pesisir. Kegagalan dalam menyelamatkan mereka berarti mempercepat kerusakan rantai kehidupan laut dan memperburuk dampak sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir.

Diperlukan suatu pendekatan menyeluruh yang tidak hanya berfokus pada konservasi karang, tetapi juga menyasar akar penyebabnya: perubahan iklim akibat aktivitas manusia. Implementasi kebijakan iklim yang ambisius, percepatan transisi energi bersih, dan kerja sama global yang kuat harus menjadi prioritas. Ketidakpedulian terhadap krisis ini bukan hanya mengorbankan biodiversitas, tetapi juga mencerminkan kegagalan moral dan politik dalam menjaga keberlanjutan planet kita. (NJD)

Sumber: apnews

Link: https://apnews.com/article/coral-reef-bleaching-climate-change-fdbeddf7ae3ccc9d7cf85d1c3267e581

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *