sumber ilustrasi: unsplash
2 Mei 2025 07.20 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
“Pengajaran nasional itulah pengajaran yang selaras dengan penghidupan bangsa (maatschappelijk) dan kehidupan bangsa (cultureel). Kalau pengajaran bagi anak-anak kita tidak berdasarkan kenasionalan, sudah tentu anak-anak kita tak akan mengetahui keperluan kita, lahir maupun batin; lagi pula tak mungkin anak-anak itu mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama makin terpisah dari bangsanya, sehingga kemudian barangkali menjadi lawan kita.”
(K.H. Dewantara, bagian Pertama: Pendidikan. Hal. 6)
Pernyataan tersebut menggugah kesadaran kita tentang makna pengajaran yang tidak hanya sebatas proses transfer ilmu, melainkan proses pembentukan jiwa dan karakter kebangsaan. Dalam konteks kekitaan, sebagai bangsa yang kaya akan budaya, sejarah, dan perjuangan, pengajaran nasional adalah sarana utama untuk menyambung keberlanjutan identitas kolektif. Namun, di tengah arus globalisasi dan pendidikan yang semakin terstandarisasi secara internasional, muncul pertanyaan penting: apakah sekolah-sekolah kita masih mengajarkan ilmu untuk bermukim (di negeri sendiri) atau hanya ilmu untuk pergi?
Ilmu pergi adalah ilmu yang dipelajari sekadarnya, untuk lulus ujian, untuk mencari pekerjaan, atau untuk memenuhi standar yang ditentukan sistem. Ilmu ini tidak berakar dalam diri pelajar, tidak membentuk kepribadian, tidak mengikat mereka kepada tanah air dan masyarakatnya. Setelah sekolah usai, ilmu ini pun hilang. Bahkan sebagian pihak bersaksi bahwa ilmu tidak membekas dalam tindakan maupun pandangan hidup. Sekolah yang hanya mengajarkan ilmu pergi menghasilkan individu yang mungkin cerdas secara akademik, tetapi kosong secara kebangsaan dan kemanusiaan. Mereka tidak peka terhadap realitas sosial, tidak peduli pada nasib sesama, dan yang paling fatal: tidak mengenal bangsanya sendiri.
Sebaliknya, ilmu bermukim adalah ilmu yang menanamkan nilai. Ia tidak hanya mengisi otak, tetapi juga membentuk hati dan jiwa. Secara sederhana yang belajar bukan hanya “otaknya”, melainkan diri dan seluruh tubuhnya. Ilmu yang demikian, diharapkan dapat menjawab kebutuhan lahir dan batin, seperti yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara dalam kutipan di atas. Ia hadir sebagai bagian dari upaya membangun manusia seutuhnya, yang tahu asal-usulnya, mencintai tanah airnya, dan bersedia mengabdi demi kemajuan bangsanya. Ilmu bermukim mengakar dalam budaya, bahasa, sejarah emansipasi, dan cita-cita bermukim di negeri sendiri. Ia memupuk rasa tanggung jawab sosial, kepedulian ekologis, kebangsaan, dan solidaritas kemanusiaan sebagai bagian dari warga dunia.
Sekolah yang baik, dalam kerangka ini, tentu bukan pertama-tama adalah tempat mencetak tenaga profesional, tetapi yang utama adalah menumbuhkan manusia Indonesia. Hal yang menjadi keprihatinan public adalah banyak sekolah kini lebih sibuk mengejar akreditasi dan peringkat dibanding menumbuhkan nilai-nilai luhur. Buku teks dipenuhi teori-teori dari luar tanpa kontekstualisasi dengan realitas setempat. Bahasa tidak tumbuh bersama pertumbuhan bangsa, sedemikian sehingga tidak memiliki harga dan kepercayaan ketika berhadapan bangsa Bahasa lain. Sejarah nasional disampaikan sekadar sebagai hafalan, bukan sebagai narasi tentang hakekat dari emansipasi yang menginspirasi dan mengikat batin pelajar dengan negerinya sendiri. Di tengah situasi ini, pengajaran nasional seperti yang diidealkan para pemikiran dan pejuang Pendidikan menjadi semakin mendesak untuk dihadirkan.
Untuk membangun pengajaran yang selaras dengan kehidupan bangsa, mungkin kita perlu menata ulang arah pendidikan. Kurikulum harus dibangun dari bawah, dari kebutuhan rakyat, dari konteks setempat, dari kebudayaan yang hidup di tengah masyarakat. Guru tidak boleh hanya menjadi pengantar bahan ajar, tetapi harus menjadi pembimbing karakter. Buku ajar harus ditulis oleh mereka yang memahami jantung persoalan Indonesia, bukan sekadar adaptasi dari sistem luar. Sekolah harus menjadi ruang pembebasan, bukan penjinakan. Ruang di mana anak-anak belajar berpikir kritis, mencintai tanah airnya, menghormati keragaman, dan merasa terpanggil untuk mengabdi kepada masyarakat.
Pendidikan bukan hanya tentang mengejar kemajuan materi, tetapi tentang membangun kebudayaan yang beradab. Ilmu bermukim akan mendorong anak-anak mencintai pekerjaannya karena ia tahu pekerjaan itu berarti bagi bangsanya. Ia akan menghormati orang tuanya, karena sadar bahwa orang tua adalah bagian dari mata rantai sejarah bangsanya. Ia akan menghargai tanah, air, dan udara yang diwariskan, karena tahu semua itu adalah anugerah yang harus dijaga. Dan ia tidak akan menjadi lawan bangsanya sendiri, karena rasa cinta itu telah tumbuh sejak awal dari sekolahnya.
***
Sekolah yang mengajarkan ilmu bermukim adalah sekolah yang berpijak pada kesadaran bahwa dirinya tidak berada dalam ruang hampa, melainkan di tengah suatu lanskap sosial dan ekologis yang nyata. Ia tidak berdiri terpisah dari masyarakat dan lingkungannya, tetapi menjadi bagian yang hidup dari keduanya. Pendidikan yang sejati tidak bersifat abstrak dan menggantung di awan, melainkan bermukim, yakni berakar dalam tanah tempat ia tumbuh, bernaung dalam langit yang menaunginya, dan berpihak pada kehidupan yang mengelilinginya.
Di sekolah seperti ini, anak-anak tidak hanya belajar dari buku, tetapi juga dari ladang, sungai, hutan, pasar, dan lumbung pengetahuan setempat. Mereka diajak untuk membaca realitas sekitar sebagaimana mereka membaca teks di dalam kelas. Bahasa ibu dihargai sebagai pintu masuk untuk memahami dunia (tempatnya bermukim), bukan sekadar disingkirkan demi bahasa-bahasa pusat kekuasaan. Kearifan setempat tidak dianggap kuno, melainkan sebagai sumber pengetahuan yang hidup dan relevan. Anak-anak belajar mengenal musim tanam, pola angin, jenis tanah, perubahan iklim, serta dinamika sosial yang mempengaruhi kehidupan mereka sehari-hari. Mereka memahami bahwa belajar adalah bagian dari hidup, bukan kegiatan yang terpisah dari kehidupan itu sendiri.
Sekolah seperti ini tidak menempatkan murid sebagai objek yang harus diisi, melainkan sebagai subjek yang diajak berdialog. Mereka diajarkan untuk mengajukan pertanyaan sebelum menjawabnya, untuk berpikir kritis tanpa kehilangan akar budayanya. Ilmu bertanya lebih utama daripada ilmu menjawab. Guru dapat berperan sebagai jembatan antara pengetahuan modern dan tradisi setempat, sedemikian sehingga pelajar memperoleh keseimbangan pengetahuan. Pendidikan menjadi proses saling tumbuh antara murid, guru, dan komunitas. Kurikulum tidak diimpor secara utuh dari luar, tetapi disusun berdasarkan konteks setempat dengan tetap terbuka pada gagasan dari luar yang bisa memperkaya dan bukan yang mencerabut. Ilmu menjadi alat emansipasi, bukan penaklukan.
Sekolah yang menyadari dirinya berada dalam realitas sosio-ekologi setempat akan turut serta menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan hidup masyarakat. Anak-anak diajak memahami bahwa krisis lingkungan bukan hal jauh dan abstrak, tetapi sesuatu yang mereka alami dalam kehidupan sehari-hari, seperti air yang kian langka, hutan yang menyusut, tanah yang kehilangan kesuburannya. Dari sini, lahirlah tanggung jawab ekologis (dan sosial) yang mendalam. Mereka tidak hanya tahu tentang perubahan iklim sebagai istilah ilmiah, tetapi merasakannya sebagai kenyataan yang harus dihadapi bersama. Sekolah menjadi tempat belajar untuk hidup berdampingan secara harmonis dengan alam dan sesama.
Pendidikan bermukim juga membentuk anak-anak menjadi warga yang sadar akan ketimpangan sosial dan ekonomi di sekitarnya. Mereka belajar memahami mengapa masih ada ketidakadilan, siapa yang diuntungkan dan dirugikan oleh kebijakan tertentu, serta bagaimana mereka bisa mengambil bagian dalam perubahan. Pendidikan tidak lagi menjadi instrumen mobilitas individual semata, melainkan jalan untuk menciptakan keadilan kolektif. Anak-anak tumbuh menjadi pemikir sekaligus pelaku perubahan, bukan sekadar pencari kerja di pasar kerja, baik nasional maupun global.
Dalam dunia yang ditandai oleh mobilitas tinggi, distraksi digital, dan penyamarataan budaya, sekolah yang mengajarkan ilmu bermukim menawarkan penyeimbang. Ia menjadi jangkar identitas, ruang refleksi, dan ladang tumbuh nilai. Sekolah seperti ini tidak membesarkan generasi yang sekadar cerdas secara teknis, tetapi bijak secara kontekstual. Mereka tidak hanya tahu cara bekerja, tetapi juga tahu untuk siapa, demi siapa, dan dari mana kerja itu berasal. Di tengah fragmentasi kehidupan modern, sekolah yang berpijak pada realitas sosio-ekologi setempat adalah benteng terakhir yang melahirkan manusia Indonesia yang utuh, dan tahu bagaimana harus melangkah ke depan tanpa sedikitpun meninggalkan akarnya. Dan pasti tidak akan menjadi lawan bangsanya sendiri. [Desanomia – 2.5.25 – TM]