Sumber ilustrasi: pixabay
Oleh: Syamsudin, M.A.
29 Mei 2025 11.15 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Dalam suatu dialog dengan warga, ada pertanyaan tentang pendidikan, yang perlu mendapatkan perhatian. Pertama, apakah untuk keberlangsungan desa, dalam kerangka pemikiran bermukim, perlu suatu pendidikan tersendiri. Yaitu pendidikan yang dirancang khusus untuk keperluan dan kepentingan desa sendiri? Kedua, apakah pendidikan bagi desa, dirancang dari luar desa, dari dalam, atau dari gabungan antara “dalam dan luar”? Dua pertanyaan tersebut, tidak mudah dijawab. Rasanya baik jika pertanyaan tersebut dibawa ke dunia pendidikan sendiri. Tulisan ini tidak bermaksud menjawab pertanyaan tersebut, melainkan hendak memberikan gambaran normatif yang mungkin apabila pendidikan desa, dalam kerangka pertanyaan tersebut, dapat diadakan.
Pertama, pendidikan sebagai modal sosial. Pendidikan memainkan peran penting memperkuat modal sosial dalam kehidupan masyarakat desa. Dengan kurikulum tertentu, tentu akan memperkuat kapasitas individu dan kolektif untuk mengelola kebermukiman secara mandiri, serta meningkatkan kesadaran kritis terhadap lingkungan sosial dan wilayah. Melalui pendidikan, warga desa memperoleh literasi dasar yang memungkinkan mereka memahami hak-hak sebagai warga negara di desa dan mengambil peran aktif dalam kehidupan bermasyarakat.
Secara lebih spesifik terkait dengan penguatan komunitas, pendidikan diarahkan untuk memperkuat kemampuan dalam pembentukan organisasi lokal yang solid sebagai wadah partisipasi dan pengambilan keputusan bersama, serta keterampilan dalam mengelola konflik sosial secara bijak. Pemerintah desa tentu adalah salah satu organisasi, bahkan sentral. Namun, untuk kepentingan membangun kesadaran baru, organisasi itu terasa tidak mencukupi dan karena itu perlu diperlengkap dengan organisasi kemasyarakatan. Dalam kerangka inilah, pendidikan menjadi fondasi bagi terbentuknya masyarakat desa yang tangguh, inklusif, dan berdaya dalam menghadapi tantangan sosial dan pembangunan.
Kedua, pendidikan sebagai pendorong kemandirian ekonomi. Hal yang barangkali jarang mendapatkan perhatian, adalah adanya kemungkinan dimana pendidikan dapat berperan sebagai pendorong kemandirian ekonomi dalam kehidupan kebermukiman desa. Melalui pelatihan keterampilan vokasional, masyarakat didorong untuk mendiversifikasi sumber mata pencaharian, sehingga tidak bergantung pada satu sektor ekonomi saja. Pendidikan berbasis potensi desa, seperti pertanian atau perikanan, juga meningkatkan kapasitas inovasi dan produktivitas warga desa sesuai dengan kondisi ekologis dan sosial setempat.
Selain itu, pendidikan memberikan bekal literasi keuangan yang penting bagi pengelolaan hasil usaha secara berkelanjutan. Dengan kemampuan ini, masyarakat desa dapat merencanakan, mengelola, dan mengembangkan investasi ekonomi lokal secara bijak. Pendidikan ekonomi yang relevan pada akhirnya memperkuat struktur ekonomi desa yang mandiri dan adaptif terhadap dinamika pasar maupun tantangan pembangunan.
Ketiga, pendidikan sebagai penjaga identitas dan budaya lokal. Sudah sering disebutkan bahwa pendidikan yang kontekstual dengan kenyataan desa, akan memainkan peran penting dalam menjaga identitas dan budaya lokal di tengah kehidupan desa. Dengan mengintegrasikan kearifan desa ke dalam kurikulum, pendidikan menjadi sarana pelestarian pengetahuan tradisional yang telah terbukti relevan dan adaptif terhadap lingkungan. Pengajaran sejarah lokal dan narasi komunitas juga memperkuat rasa memiliki serta kebanggaan terhadap warisan budaya desa.
Lebih dari itu, pendidikan berfungsi sebagai alat evaluasi kritis terhadap arus modernisasi yang cenderung homogen dan mengikis keragaman budaya. Dengan membekali warga desa kemampuan untuk menilai secara kritis berbagai pengaruh luar, pendidikan membantu membangun identitas kolektif yang kuat dan tahan terhadap dominasi budaya global.
Keempat, pendidikan untuk ketahanan ekologis. Dalam kebermukiman desa yang rentan terhadap perubahan iklim dan degradasi lingkungan, pendidikan ekologis memegang peran strategis dalam membangun ketahanan komunitas. Melalui pendidikan, masyarakat diedukasi mengenai pentingnya konservasi lahan, air, dan hutan sebagai bagian dari sistem penyangga kehidupan yang harus dijaga secara kolektif dan berkelanjutan.
Pendidikan juga mendorong praktik pertanian yang berkelanjutan serta pengelolaan sumber daya alam secara bijak, sesuai dengan kapasitas dan daya dukung lingkungan setempat. Dengan pengetahuan yang tepat, warga desa dapat merumuskan strategi adaptasi dan mitigasi terhadap krisis ekologis, sehingga keberlanjutan kehidupan bermukim dapat terjaga lintas generasi.
Dan kelima, pendidikan sebagai alat perencanaan dan tata kelola desa. Pendidikan memperkuat kapasitas warga desa untuk terlibat secara aktif dalam perencanaan dan tata kelola pembangunan. Dengan pemahaman terhadap dokumen-dokumen perencanaan seperti RPJMDes dan APBDes, masyarakat dapat mengambil peran strategis dalam menyusun arah kebijakan pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan dan potensi lokal.
Selain itu, pendidikan mendorong partisipasi warga dalam forum musyawarah desa serta pengawasan anggaran, sehingga proses pemerintahan menjadi lebih terbuka dan partisipatif. Kemampuan ini berkontribusi langsung pada terciptanya transparansi dan akuntabilitas dalam tata kelola desa, yang pada akhirnya memperkuat legitimasi dan keberlanjutan pembangunan.
Dari kelimanya, dapat dikatakan bahwa dalam kerangka kebermukiman, pendidikan bukan sekadar instrumen pencerdasan individu, melainkan “infrastruktur sosial” yang menopang kehidupan desa yang lestari, inklusif, dan adaptif. Pendidikan menjembatani pengetahuan tradisional dan modern, serta memperkuat kapasitas warga desa sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar objek. Atas dasar kelima hal tersebut, dua pertanyaan di awal tulisan, mungkin akan relatif mudah menjawabnya.
Syamsudin, M.A.
Dekan Fisipol Universitas Proklamasi ‘45