Desanomia [20.3.2025] Pengendalian hama merupakan tantangan besar yang terus dihadapi sektor pertanian. Setiap tahunnya, sekitar 4 juta ton pestisida kimia digunakan di seluruh dunia untuk melindungi tanaman dari serangan hama. Meskipun penggunaan pestisida telah berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian, dampaknya terhadap lingkungan, kesehatan manusia, dan keberlanjutan pertanian menimbulkan kekhawatiran yang semakin serius.
Salah satu hama yang menjadi tantangan besar bagi petani adalah tungau laba-laba dua bintik (Tetranychus urticae). Hama adaptif yang bisa ditemukan di berbagai wilayah di dunia, termasuk daerah beriklim tropis, subtropis, hingga beriklim sedang ini mampu berkembang biak dengan sangat cepat di lingkungan yang kering dan bersuhu hangat, dan memiliki kemampuan tinggi dalam mengembangkan resistensi terhadap pestisida kimia. Kondisi ini memicu para ilmuwan untuk mencari pendekatan baru yang lebih berkelanjutan guna mengendalikan hama tersebut.
Penemuan Molekul Elicitor sebagai Solusi Alternatif
Tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Gen-ichiro Arimura dari Tokyo University of Science meneliti bagaimana interaksi molekuler antara tungau laba-laba dua bintik dengan tanaman inangnya dapat memengaruhi mekanisme pertahanan alami tanaman. Mereka berfokus pada zat tertentu yang disebut elicitor — molekul yang mampu memicu respons pertahanan tanaman terhadap serangan hama.
Dalam penelitian sebelumnya, Prof. Arimura dan timnya telah menemukan dua molekul elicitor bernama Tet1 dan Tet2. Kedua molekul ini ditemukan pada kelenjar ludah tungau dan terbukti mampu memicu pertahanan alami pada tanaman kacang merah serta beberapa tanaman komersial lainnya.
Melalui penelitian terbaru yang dipublikasikan di The Plant Journal pada 4 Maret 2025, tim ini berhasil mengidentifikasi dua molekul baru bernama Tet3 dan Tet4 yang berperan penting dalam mengurangi kemampuan tungau untuk berkembang biak pada tanaman inang.
Mekanisme Kerja Tet3 dan Tet4 dalam Pertahanan Tanaman
Melalui serangkaian eksperimen menggunakan metode rekayasa genetika dan biokimia canggih, para peneliti menemukan bahwa ekspresi molekul Tet3 dan Tet4 sangat bervariasi tergantung pada jenis tanaman yang dimakan oleh tungau tersebut.
Penelitian menunjukkan bahwa tungau yang memakan tanaman kacang merah — tanaman yang paling disukai hama ini — memiliki tingkat ekspresi Tet3 dan Tet4 yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tungau yang memakan mentimun, tanaman yang kurang disukainya.
Selain itu, tanaman yang terpapar tungau dengan tingkat ekspresi Tet3 dan Tet4 yang tinggi menunjukkan respons pertahanan yang jauh lebih kuat. Respons ini meliputi:
- Peningkatan aliran ion kalsium di dalam sel tanaman
- Produksi spesies oksigen reaktif (ROS) yang membantu melawan infeksi
- Peningkatan aktivitas gen PR1, yang berperan penting dalam mekanisme pertahanan tanaman terhadap patogen dan hama
Penelitian ini menunjukkan bahwa molekul Tet3 dan Tet4 berperan sebagai sinyal biologis yang memperkuat respons pertahanan alami tanaman, membantu mereka melawan serangan tungau secara efektif.
Implikasi bagi Dunia Pertanian dan Lingkungan
Penemuan ini memiliki dampak besar, baik bagi dunia ilmiah maupun sektor pertanian. Dalam konteks ilmiah, pemahaman tentang molekul elicitor seperti Tet3 dan Tet4 membantu memperluas wawasan tentang evolusi, ekosistem, dan keanekaragaman hayati.
Sementara itu, dari sudut pandang pertanian, molekul ini berpotensi dikembangkan sebagai biostimulan — yaitu zat yang merangsang mekanisme pertahanan alami tanaman tanpa perlu bergantung pada pestisida kimia dalam jumlah besar.
Menurut Prof. Arimura, penerapan elicitor seperti Tet3 dan Tet4 sangat berpotensi menjadi solusi bagi pertanian organik dan berkelanjutan. Pendekatan ini menawarkan harapan baru untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia yang berlebihan, sekaligus menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas hasil panen.
Langkah Selanjutnya dalam Penelitian dan Pandangan Terhadap Masa Depan
Untuk mengembangkan temuan ini, Prof. Arimura dan timnya berencana melanjutkan penelitian dengan mengidentifikasi lebih banyak molekul elicitoryang berpotensi melawan hama seperti tungau laba-laba dua bintik. Langkah ini sangat penting karena memahami lebih dalam tentang mekanisme kerja molekul tersebut dapat membuka peluang besar bagi sektor pertanian untuk mengadopsi solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan.
Dari sudut pandang ilmiah, penelitian lanjutan ini berpotensi memberikan pemahaman yang lebih luas tentang bagaimana tanaman dan hama berinteraksi pada tingkat molekuler. Pengetahuan tersebut tidak hanya akan membantu dalam mengembangkan biostimulan berbasis elicitor, tetapi juga dapat berkontribusi pada inovasi lain seperti rekayasa genetika tanaman yang lebih tangguh terhadap hama.
Selain itu, pendekatan ini selaras dengan kebutuhan mendesak untuk mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia yang berlebihan. Pestisida kimia, meskipun efektif dalam jangka pendek, telah terbukti menimbulkan dampak lingkungan yang serius, seperti pencemaran tanah, air, dan penurunan keanekaragaman hayati. Pengembangan biostimulan berbasis elicitor yang ramah lingkungan dapat menjadi langkah maju dalam mengatasi masalah ini.
Namun, tantangan utama yang mungkin dihadapi adalah bagaimana menjadikan teknologi ini terjangkau dan mudah diakses oleh petani, khususnya petani kecil yang sering kali memiliki sumber daya terbatas. Oleh karena itu, kolaborasi antara lembaga penelitian, pemerintah, dan sektor swasta akan sangat penting untuk mendukung pengembangan, uji coba lapangan, hingga penerapan teknologi ini secara luas.
Jika berhasil, inovasi ini berpotensi menjadi game-changer di dunia pertanian, menciptakan ekosistem pertanian yang lebih tangguh, produktif, dan ramah lingkungan. Dengan pendekatan yang tepat, temuan ini tidak hanya menjawab tantangan hama yang semakin sulit dikendalikan, tetapi juga menjadi langkah penting menuju pertanian berkelanjutan di masa depan. (NJD)
Sumber: ScienceDaily
Link: https://www.sciencedaily.com/releases/2025/03/250317164045.htm