Sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Pandu Sagara
16 Mei 2025 12.25 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada hal yang terasa ironi, yakni meningkatnya pengangguran di kalangan tenaga kerja berpendidikan (terdidik). Berdasarkan data dari otoritas statistik terbaru, jumlah pengangguran terbuka di Indonesia mencapai 7,28 juta orang, meningkat sekitar 83.000 dari tahun sebelumnya, dimana bagian terbesarnya adalah lulusan pendidikan menengah dan tinggi. Tentu kita tidak perlu masuk ke dalam kerumitan angka statistik formal. Yang paling pokok adalah bahwa lewat angka yang telah muncul, terdapat indikasi kuat, berlangsungnya apa yang disebut di sini sebagai pengangguran terdidik.
Bagi kita, kenyataan ini perlu menjadi bahan renungan bersama: jika angka tersebut dapat disebut sebagai wakil nyata dari apa yang terjadi, maka apakah kenyataan tersebut merupakan problem pendidikan, ataukah problem ekonomi ketenagakerjaan, atau problem keduanya? Apabila disebut sebagai problem pendidikan, maka akan timbul masalah lain, yakni: mengapa dunia pendidikan meluluskan dia yang tidak punya kapasitas? Benarkah demikian? Benarkah ada ketidaksambungan antara kurikulum pendidikan dan dunia kerja? Atau, apakah memang dunia kerja mengemban tugas menyediakan tenaga kerja bagi kepentingan ekonomi (industri, dan lain-lain). Bagian yang terakhir ini, tentu akan mengundang perdebatan tersendiri.
Sebaliknya, apabila masalah tersebut dipandang sebagai problem ekonomi, maka masalahnya menjadi lebih bernuansa. Bagi ekonomi, tingginya angka pengangguran terdidik tersebut akan dipandang bukan sekadar akibat dari perlambatan pertumbuhan ekonomi. Masalah ini lebih dalam lagi, yang sangat mungkin menyangkut struktur ketenagakerjaan dan relevansi sistem pendidikan nasional. Akan dikatakan bahwa kita saat ini menghadapi ketimpangan serius antara output pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja. Sektor formal yang biasanya menjadi tumpuan utama bagi lulusan pendidikan tinggi tumbuh terlalu lambat untuk menyerap angkatan kerja baru. Sementara itu, sektor informal, yang justru menyerap mayoritas tenaga kerja, dipandang tidak memberikan jaminan kesejahteraan serta perlindungan kerja yang memadai.
Jadi bagaimana masalah tersebut seharusnya dipahami? Dan apa yang penting untuk dilakukan? Pertama, bahwa apa yang disebut sebagai kenyataan yakni meningkatnya kuantitas pengangguran terdidik, harus diterima dulu sebagai kenyataan. Mengapa ini dibutuhkan? Agar dalam mengatasinya, mudah ditemukan jalan keluar, karena dengan penerimaan tersebut, diharapkan masing-masing pihak yang terbuka dan mudah bekerjasama. Lebih dari itu, sangat mungkin angka yang muncul lebih jujur, dan yang lebih penting akan lebih mendekat pada kenyataan. Berapa sebenarnya jumlah angka pengangguran terdidik, baik yang bersifat terbuka, atau yang disebut setengah menganggur. Kejelasan angka ini, akan membuka mengenai sebaran, dan sekaligus kenyataan kapasitas dari mereka yang terdidik tersebut.
Kedua, dengan kejelasan realitas, yang selanjutnya dibutuhkan adalah kerjasama multipihak. Kerjasama yang ideal, akan dimulai dengan pengungkapan kontribusi masing-masing pihak atas masalah yang muncul. Misalnya, apakah dunia pendidikan, khususnya perguruan tinggi ikut memberikan sumbangan? Jika benar, mengapa jenjang perguruan tinggi, belum mampu menghasilkan lulusan yang adaptif dan siap pakai. Apakah karena perguruan tinggi terlalu berfokus pada kelulusan daripada pada pembentukan keterampilan yang relevan dan aplikatif di dunia kerja. Apakah benar ada kesenjangan antara kurikulum pendidikan dan kebutuhan industri membuat banyak lulusan kehilangan daya saing, bahkan ketika memiliki kualifikasi akademik yang tinggi.
Jika hal itu ternyatan benar, maka yang ketiga adalah secara konsisten menjalankan apa yang menjadi disain mengatasi masalah tersebut. Dalam konteks pendidikan, misalnya, diperlukan langkah-langkah strategis dan komprehensif, yakni: (1) pendidikan vokasi harus direvitalisasi, baik dari sisi kualitas, relevansi kurikulum, maupun kompetensi tenaga pengajar. Pendidikan kejuruan perlu diarahkan secara langsung pada kebutuhan industri agar mampu menciptakan lulusan yang segera terserap pasar kerja; (2) perlu dibangun sinergi yang erat antara dunia pendidikan dan dunia usaha. Kerja sama ini dapat diwujudkan melalui program magang, penyesuaian kurikulum, dan pelatihan berbasis industri; dan (3) perlu disain pembangunan yang mengadopsi ekonomi inklusif, dengan menciptakan lapangan kerja yang layak dan produktif melalui investasi di sektor-sektor strategis yang tersebar.
Apakah realisasi atas upaya tersebut akan sepenuhnya menjadi jawaban? Lantas, apakah dengan demikian, misi pendidikan untuk memanusiakan manusia, dengan sendirinya batal, dan sepenuhnya menjadi dunia pendidikan sebagai dunia pra-kerja? Masalah ini tentu tidak mudah untuk dijawab. Sebagai bangsa kita membutuhkan diskusi yang lebih intens. Dunia pendidikan tidak mungkin dikerdilkan hanya menjadi dunia pra-kerja. Namun sebaliknya, jika dunia pendidikan menjadi dunia eksklusif yang hanya berkutat dengan pikirannya sendiri, maka masalah baru tentu akan tergelar. Apa yang tidak diinginkan adalah keadaan di antara dua ekstrem tersebut, pada satu sisi ilmu tidak berkembang dan di sisi lan, terjadi pengangguran terdidik.