Sumber ilustrasi: Freepik
29 Juli 2025 13.30 WIB – Akar
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Ada pertanyaan yang masuk kepada kami, terkait dengan tulisan pada edisi 28 Juli 2025 lalu, tentang “Penjajahan (dan) Ekologi” – yang tidak diberi tanda bahwa edisi tersebut adalah edisi pertama (1). Pertanyaan terkait masih kurangnya penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud dengan pernyataan bahwa penjajahan merupakan problem ekologi? Memang pembahasan telah masuk untuk memeriksa apa yang diduga sebagai asumsi dasar yang bekerja melandasi kinerja penjajahan. Oleh sebab itulah, edisi kali bermaksud memberikan tambahan ulasan untuk melengkapi edisi yang lalu. Hal ini, tentu berakibat bahwa edisi lalu berubah status menjadi edisi (1) dan edisi kali ini menjadi lanjutannya, yakni edisi kedua (2) atau sambungan dari tulisan sebelumnya, meskipun sebenarnya ulasan ini sebagai pendahulu, dan yang lalu sebagai edisi lanjutannya. [red].
***
Penjajahan dalam sejarah lebih dipahami dalam kerangka dominasi politik, penguasaan ekonomi, dan hegemoni kultural. Dalam banyak penafsiran arus utama, penjajahan muncul sebagai suatu proyek ekspansi teritorial yang dilandasi oleh kepentingan geopolitik dan perdagangan. Namun di balik semua itu, penjajahan juga merupakan suatu peristiwa ekologis besar: sebuah pergeseran struktural dalam relasi manusia dengan alam, yang dilakukan melalui kekerasan dan reorganisasi besar-besaran terhadap lingkungan hidup. Jika kita menanggalkan narasi-narasi institusional dan melihatnya dari sudut ekologi, maka menjadi jelas bahwa penjajahan adalah suatu bentuk rekayasa ekologis, yang konsekuensinya masih kita warisi hari ini dalam bentuk krisis iklim, kehancuran biodiversitas, dan ketimpangan lingkungan global.
Dalam optik ini, penjajahan tidak pernah semata-mata soal pengambilalihan kekuasaan administratif atas suatu wilayah. Secara kongkrit tindakan penjajahan menyasar pada kontrol atas tanah, air, hutan, udara, hewan, dan seluruh sistem kehidupan. Tujuan akhirnya bukan hanya dominasi politik, melainkan penguasaan atas materi kehidupan itu sendiri—yang diwujudkan melalui pengubahan lanskap ekologis secara sistemik. Dalam hal ini, penjajahan tidak hanya mengatur ulang struktur kekuasaan sosial, tetapi juga membentuk kembali tatanan ekologi wilayah yang dijajah.
Proyek penjajahan selalu dimulai dari pemetaan, klasifikasi, dan apropriasi atas alam. Tanah diukur dan dibagi, hutan dipetakan sebagai cadangan kayu dan bukan sebagai ruang kehidupan, sungai dilihat sebagai jalur transportasi dan bukan sebagai sistem ekologi yang hidup. Alam dijinakkan dan dikonstruksi ulang sebagai “sumber daya” yang dapat dimanfaatkan tanpa batas. Pengetahuan ekologis lokal—yang telah lama dikembangkan masyarakat adat melalui pengalaman langsung dan relasi simbiotik dengan lingkungan—dipinggirkan, dilecehkan, bahkan dimusnahkan. Di tempatnya, muncul sistem pengetahuan penjajah yang membakukan cara pandang instrumental dan eksploitatif terhadap alam.
Dalam konteks ini, ilmu pengetahuan modern bukanlah kekuatan netral. Dalam batas tertentu, dapat dianggap menjadi bagian integral dari mesin penjajahan yang bekerja untuk mereduksi alam menjadi objek penguasaan. Botani penjajahan, misalnya, bukan sekadar studi tentang tumbuhan, melainkan proyek politis yang memetakan tanaman mana yang bernilai komersial, mana yang bisa dijadikan komoditas ekspor, dan bagaimana cara menanamnya dalam skala industri. Geografi penjajahan memetakan wilayah bukan untuk memahami ekosistem, melainkan untuk mengatur logistik penaklukan dan ekstraksi sumber daya. Ilmu iklim digunakan untuk menentukan wilayah mana yang cocok untuk tanaman perkebunan dan bagaimana mengaturnya agar sesuai dengan kebutuhan pasar dunia.
Salah satu aspek paling krusial dari penjajahan adalah reorganisasi sistem produksi melalui proyek ekstraktif yang ekstrem. Hutan-hutan yang sebelumnya dihuni oleh berbagai spesies dan menjadi ruang hidup masyarakat adat dibabat habis untuk dijadikan perkebunan monokultur: tebu, kopi, tembakau, karet. Tanah yang dahulu ditanami secara diversifikasi untuk kebutuhan subsisten berubah menjadi ladang produksi komoditas global. Di sini, kita melihat penjajahan sebagai bentuk kekerasan ekologis, yang tidak hanya merampas tanah, tetapi juga merusak ekosistem dan menghancurkan jaringan relasional antara manusia dan alam.
Dampaknya bersifat multidimensi. Pertama, terjadi krisis ekologis lokal: degradasi tanah, pencemaran air, penggundulan hutan, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Kedua, masyarakat lokal kehilangan hak akses dan kontrol terhadap ruang hidup mereka. Sistem pertanian subsisten digantikan oleh tenaga kerja upahan dalam sistem kapitalisme penjajahan yang menciptakan ketergantungan ekonomi dan kemiskinan struktural. Ketiga, terjadi transformasi dalam sistem pengetahuan: cara hidup dan cara berpikir masyarakat lokal yang menyatu dengan alam digantikan oleh logika kuantifikasi, produksi, dan efisiensi yang tidak memperhitungkan daya dukung ekologi.
Namun yang lebih besar lagi, penjajahan adalah momen kunci dalam pembentukan ketimpangan ekologi global yang kita saksikan hingga hari ini. Negara-negara penjajahan membangun kemakmuran mereka melalui eksploitasi lingkungan di wilayah koloni. Mereka mengekstraksi kayu, rempah, hasil tambang, tanaman ekspor, dan tenaga kerja, lalu menggunakannya untuk memperkuat kekuatan industri di negeri-negeri penjajah. Dalam proses itu, beban ekologis—kerusakan tanah, hilangnya hutan, polusi, dan kelangkaan air—dibebankan pada wilayah jajahan. Barangkali dari sinilah dapat dijelaskan asal mula dari apa yang kini kita sebut sebagai ketidaksetaraan ekologi, di mana negara-negara “maju” menikmati sumber daya dan kenyamanan ekologis dengan mengorbankan wilayah lain.
Warisan penjajahan ini tetap berlangsung dalam bentuk yang lebih terselubung. Banyak negara bekas koloni tetap terjebak dalam posisi sebagai penyedia bahan mentah untuk pasar global, tanpa memiliki kuasa atas sistem produksinya. Perusahaan multinasional mengambil alih hutan dan tambang, membangun infrastruktur ekstraktif, dan menciptakan skema yang melanjutkan logika penjajahan: eksploitasi tanpa tanggung jawab ekologis. Bahkan dalam wacana pembangunan dan konservasi modern, pendekatan penjajahan sering kali diulang: wilayah adat dijadikan taman nasional tanpa izin masyarakat lokal, konservasi dilakukan dengan menggusur penduduk asli, dan solusi perubahan iklim dirancang tanpa menyentuh akar sejarah ketidakadilan lingkungan.
Dalam konteks krisis iklim global saat ini, penting untuk menyadari bahwa akar dari ketidakseimbangan ekologis dunia bukan hanya terletak pada industrialisasi, tetapi juga pada penjajahan. Penjajahan adalah momen ketika alam mulai diposisikan sebagai entitas yang terpisah dari manusia, sebagai objek yang dapat dikontrol, diubah, dan dijarah demi akumulasi kapital. Skema itulah yang bertanggungjawab bagi tersusunnya struktur relasi ekologis yang asimetris, dan struktur itu tetap mengatur bagaimana dunia bekerja hari ini.
Mengabaikan dimensi ekologis dari penjajahan berarti menghapus sejarah paling material dari penjajahan itu sendiri. Penjajahan bukan sekadar soal batas teritorial atau sistem pemerintahan, tetapi soal bagaimana bumi itu sendiri—dalam bentuk tanah, air, udara, dan kehidupan—telah dijadikan arena kekuasaan. Oleh karena itu, untuk memahami penjajahan secara utuh, kita harus memulainya dari tanah yang diinjak, dari hutan yang ditebang, dari sungai yang dialirkan paksa, dan dari ekosistem yang dihancurkan. Penjajahan pertama-tama adalah problem ekologi. Penjajahan adalah kekerasan terhadap bumi yang dijustifikasi atas nama kemajuan, dan yang terus menjelma dalam berbagai bentuk kekuasaan hingga hari ini. Barangkali dengan inilah kita dapat lebih memahami makna yang lebih dalam dari Alinea pertama pembukaan UUD’45, yang ditulis di bagian awal tulisan ini. [desanomia – 290725 – dja]