sumber ilustrasi: unsplash
Desanomia [7.4.2025] Bagi banyak orang, musim panas berarti waktu berkumpul dengan teman-teman di pesta barbekyu. Namun, tak jarang juga bagi sebagian orang, musim panas menjadi saat yang penuh dengan gigitan nyamuk yang mengganggu. Sementara beberapa tamu bisa menikmati acara tanpa gangguan, ada juga yang tampaknya tidak bisa lolos dari serangan nyamuk. Mengapa bisa begitu? Penelitian terbaru mengungkapkan bahwa alasan sebagian orang lebih sering digigit nyamuk adalah karena tubuh mereka “lebih enak” bagi nyamuk, sebuah temuan yang memberikan wawasan baru dalam memahami perilaku serangga ini.
Penelitian yang dilakukan oleh Lisa Baik, seorang ahli biologi sensorik di Universitas Yale, memberikan jawaban atas pertanyaan ini. Baik bersama tim penelitinya menyelidiki bagaimana nyamuk memilih siapa yang akan digigit di antara kerumunan manusia. Dalam penelitian tersebut, mereka menemukan bahwa nyamuk menunjukkan preferensi yang jelas terhadap beberapa komponen yang terdapat dalam keringat manusia. Beberapa orang tampaknya “lebih lezat” di mata nyamuk, dan penelitian ini memberikan wawasan tentang apa yang mungkin menjadi penyebabnya.
Keringat manusia mengandung beberapa elemen kimia yang dapat menarik perhatian nyamuk, seperti air, garam, dan asam amino. Ini bukan hanya tentang keringat yang keluar dari tubuh, tetapi juga bagaimana komponen-komponen kimiawi tersebut berinteraksi dengan indera nyamuk. Dalam eksperimen yang dilakukan, para peneliti menguji nyamuk dengan permukaan yang telah diolesi garam dan asam amino secara terpisah. Namun, nyamuk tidak menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap kedua elemen tersebut ketika diterapkan terpisah. Namun, ketika keduanya digabungkan pada permukaan yang sama, nyamuk mulai menggigit dengan lebih sering.
Temuan ini memberikan pemahaman baru mengenai bagaimana nyamuk mengidentifikasi targetnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak hanya aroma tubuh yang memainkan peran dalam menarik nyamuk, tetapi komposisi kimiawi tubuh kita juga sangat mempengaruhi keputusan mereka untuk mentarget kita.
Salah satu langkah lebih lanjut dalam penelitian ini adalah mempelajari bagaimana aktivitas saraf nyamuk berperan dalam menentukan apakah mereka akan menggigit atau tidak. Baik dan tim penelitinya mengamati sel saraf di dalam tubuh nyamuk yang terlibat dalam proses pengecapan atau pemilihan rasa. Ketika nyamuk mengendus permukaan yang telah diberi sampel keringat, aktivitas saraf tertentu dipicu oleh bahan kimia yang terdapat dalam keringat tersebut. Hasilnya, nyamuk menjadi lebih tertarik pada sampel keringat yang menghasilkan reaksi saraf yang lebih kuat. Temuan ini menunjukkan bahwa rasa tubuh kita—berdasarkan keringat—dapat menjadi faktor penting yang menyebabkan beberapa orang lebih sering digigit oleh nyamuk dibandingkan orang lain.
Baik dan timnya juga menyelidiki bagaimana nyamuk dapat merasakan rasa dan memilih apakah akan menggigit atau tidak. Nyamuk memiliki bagian tubuh yang disebut labella, yang berfungsi mirip seperti bibir kita. Labella adalah bagian ujung dari alat pengisap mereka yang disebut proboscis, yang berfungsi untuk menusuk kulit dan mengisap darah. Pada labella terdapat rambut-rambut halus yang memungkinkan nyamuk merasakan rasa dari permukaan tempat mereka mendarat. Ketika mereka mendeteksi gula atau senyawa manis lainnya pada permukaan tubuh manusia, saraf pada labella menjadi teraktivasi, memberi tanda kepada nyamuk bahwa permukaan tersebut enak untuk digigit.
Namun, peneliti juga menemukan bahwa senyawa pahit dapat menghalangi aktivitas saraf ini. Ketika senyawa pahit ditambahkan ke dalam gula, respon saraf yang biasanya terjadi pada rasa manis akan terhambat. Penemuan ini memberikan indikasi bahwa senyawa pahit mungkin bisa dimanfaatkan untuk mencegah nyamuk menggigit. Misalnya, dengan menambahkan senyawa pahit ke dalam produk penghalau nyamuk, kita bisa mengurangi kemungkinan nyamuk untuk menggigit kita.
Penemuan ini membuka potensi untuk menciptakan solusi yang lebih efektif dalam mengatasi masalah gigitan nyamuk. Baik berharap bahwa penelitian ini dapat digunakan untuk menemukan senyawa yang dapat mencegah nyamuk menggigit tanpa menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan atau kesehatan manusia. Senyawa ini idealnya akan aman, terjangkau, dan dapat digunakan dalam semprotan penghalau nyamuk yang dapat diterapkan pada kulit dan pakaian. Dengan berkembangnya pengetahuan mengenai bagaimana nyamuk merasakan dan memilih untuk menggigit, peneliti berharap dapat merancang produk penghalau nyamuk yang lebih efisien di masa depan.
Penting untuk dicatat bahwa temuan ini semakin relevan mengingat perubahan iklim yang tengah terjadi. Perubahan iklim telah menyebabkan peningkatan suhu yang memungkinkan nyamuk untuk berkembang biak di wilayah yang sebelumnya tidak cocok untuk mereka. Akibatnya, penyakit-penyakit yang dibawa oleh nyamuk, seperti malaria, demam dengue, dan zika, kini mulai menyebar ke wilayah yang lebih luas. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi semakin penting dalam upaya untuk mengendalikan penyebaran penyakit yang ditularkan oleh nyamuk.
Buah Pikiran
Penemuan ini memberikan kontribusi signifikan terhadap pemahaman kita tentang perilaku nyamuk, yang bisa menjadi langkah awal untuk menciptakan solusi yang lebih baik dalam pencegahan gigitan nyamuk. Dengan mengidentifikasi faktor-faktor yang membuat kita lebih rentan digigit, peneliti bisa mengembangkan cara-cara yang lebih tepat dan ramah lingkungan untuk mengatasi masalah kesehatan global yang ditimbulkan oleh nyamuk. Selain itu, penelitian ini juga menyoroti pentingnya menciptakan penghalau nyamuk yang lebih aman, efektif, dan berbasis pada pengetahuan ilmiah. Mencegah gigitan nyamuk dengan cara yang lebih terfokus pada pemahaman perilaku mereka bisa menjadi langkah penting dalam melindungi manusia dari berbagai penyakit berbahaya yang ditularkan oleh serangga ini. (NJD)
Sumber: ScienceNewsExplores
Link: https://www.snexplores.org/article/mosquitoes-taste-before-they-bite