sumber ilustrasi: freepik
Potensi Pertemuan
Jika dilihat dari kacamata umum, sebenarnya masih ada pertanyaan yang masih “mengganjal”. Suatu pertanyaan yang bernuansa “meragukan”, yakni apakah pertemuan dua tradisi tersebut, akan benar-benar dapat berlangsung? Yang dimaksudkan di sini tentu bukan pertemuan dalam makna formal dan artifial, melainkan suatu pertemuan yang pada waktunya menjadi “laku hidup”, atau bahkan menjadi suatu tradisi baru. Dan jika masalah ini diajukan kepada para pemikir strategis, barangkali keraguan sejenis akan muncul, terutama mengingat kompleksitas yang menyertainya. Untuk itulah, kita perlu mendalami pokok-pokok perbedaan dan kemudian daripadanya dicari kemungkinan pertemuannya.
Berikut ini adalah wujud dari eksplorasi yang bersifat umum (rasa umum) tentang ciri kedua tradisi dan kemungkinan pertemuan dari keduanya.
Pertama, terkait dengan apa yang secara sederhana hendak dikatakan di sini sebagai “hal tentang pandangan dunia”, yakni tentang bagaimana kenyataan dilihat dan bagaimana sikap terhadapnya. Terhadap hal tersebut, kacamata publik, mungkin akan menangkap perbedaan yang relatif jelas, yakni:
- Tradisi akademi, barangkali telah dipersepsikan sebagai pihak yang punya pandangan: (a) Dunia merupakan objek yang dapat dikaji, diukur, dan dijelaskan, (b) Realitas dianggap netral, independen dari subjek yang mengamati. Ada jarak yang diambil; dan (c) Cenderung memisahkan antara fakta dan nilai. Subyektivitas dicegah keterlibatannya.
- Tradisi desa, barangkali telah dipersepsikan sebagai pihak yang punya pandangan, yang mungkin dipandang berkebalikan: (a) Dunia dipahami sebagai relasi hidup antara manusia, alam, dan kekuatan transenden, (b) Realitas dianggap hidup, subjek dan objek saling terhubung dan saling memengaruhi; dan (c) Fakta dan nilai menyatu dalam pengalaman hidup yang penuh makna.
Kedua, terkait dengan apa yang dimengerti dengan cara memperoleh, membentuk, dan memverifikasi pengetahuan. Mungkin masuk pula hal tentang keabsahan suatu pengetahuan, tempat dari pengalaman, dan berbagai masalah lainnya. Terhadap hal tersebut, kacamata publik, mungkin akan menangkap perbedaan yang relatif jelas, antara tradisi akademi dan tradisi desa, yakni:
- Tradisi akademi, barangkali telah dipersepsikan sebagai pihak yang punya pandangan: (a) Pengetahuan dikembangkan melalui metode ilmiah, observasi sistematis, dan pembuktian rasional, (b) Mengedepankan generalisasi, objektivitas, dan abstraksi konseptual, dan (c) Terstruktur dalam disiplin keilmuan dan spesialisasi bidang.
- Tradisi desa, barangkali telah dipersepsikan sebagai pihak yang punya pandangan, yang mungkin dipandang berkebalikan: (a) Pengetahuan tumbuh dari pengalaman hidup, relasi ekologis, dan diwariskan secara lisan dan praksis, (b) Menekankan kekhasan lokal, konteks, dan pengetahuan simbolik, dan (c) Bersifat lintas-aspek, holistik, dan tidak terpisah-pisah.
Ketiga, terkait dengan apa yang dipahami kebanyakan orang sebagai hal tentang apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang pantas dilakukan dan yang tidak pantas untuk dilakukan. Barangkali akan ada yang menambahkan terkait dengan nilai-nilai dan tanggung jawab moral dalam relasi antar manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan kehidupan secara umum. Kita berpandangan bahwa mungkin publik dengan kacamata yang bersifat umum, akan menangkap perbedaan berikut ini:
- Tradisi akademi, mungkin dipersepsikan akan punya pandangan: (a) Etika penelitian berfokus pada objektivitas, transparansi, dan non-intervensi terhadap subjek penelitian, (b) Pengetahuan dilindungi oleh norma akademik, hak cipta, dan sistem penghargaan individual, dan (c) Terkadang terpisah dari dampak sosial dan ekologis dari pengetahuan yang dihasilkan.
- Tradisi desa, kemungkinan dipersepsikan akan berpandangan: (a) Etika hidup terwujud dalam praktik keseharian: gotong royong, harmoni, dan penghormatan terhadap alam, (b) Pengetahuan bersifat kolektif, diwariskan, dan dijaga bersama oleh komunitas, dan (c) Pengetahuan selalu dinilai dari dampaknya terhadap kehidupan bersama dan ekosistem lokal.
Keempat, terkait dengan apa yang dipahami sebagai hal tentang bagaimana pengetahuan dan nilai diwujudkan dalam tindakan nyata. Hal dimaksud terkait dengan tindakan praktis, atau hal tentang penggunaan dan penerapan pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari. Ini termasuk pertanyaan: Bagaimana pengetahuan diimplementasikan? Untuk siapa pengetahuan digunakan? Apakah tindakan yang dilakukan sesuai dengan nilai yang diyakini? Terhadap hal tersebut, masing-masing memiliki pandangan:
- Tradisi Akademi, mungkin dipersepsikan punya pandangan berikut: (a) Pengetahuan digunakan untuk pengembangan teknologi, teori, dan kebijakan berskala luas – berlaku umum, (b) Akses terbatas oleh jenjang pendidikan, bahasa teknis, dan struktur kelembagaan, dan (c) Seringkali terlepas dari ruang hidup nyata; beroperasi dalam laboratorium, jurnal, dan ruang seminar.
- Tradisi Desa, kemungkinan punya pandangan sebaliknya: (a) Pengetahuan digunakan untuk mengatur kehidupan sehari-hari secara selaras dengan alam dan budaya, (b) Akses terbuka melalui partisipasi, kerja kolektif, dan kedekatan simbolik, dan (c) Tumbuh langsung dalam ruang hidup: ladang, hutan, rumah, dan balai desa.
Dengan mendekati melalui empat hal di atas, nampak jelas adanya perbedaan yang dapat dikatakan “berjarak jauh”. Hal inilah yang mungkin mudah menimbulkan rasa ragu tentang bagaimana mewujudkan suatu pertemuan, yang tidak sekedar pertemuan simbolik, namun merupakan pertemuan yang benar-benar bertemu.
Barangkali beberapa pandangan berikut dapat menjadi pikiran awal, untuk memikirkan potensi pertemuan tersebut. Berikut ini, potensi pertemuan berdasarkan empat aspek di atas:
Pertama:
- Membentuk pandangan dunia yang tidak hanya fungsional, tapi juga relasional dan transenden.
- Menyusun ontologi relasional yang menghargai keterhubungan dan makna.
- Menghidupkan kembali makna etis dalam setiap pengetahuan.
Kedua:
- Bisa saling menguji dan memperkaya: metodologi ilmiah mengasah refleksi, pengalaman konkret menjaga konteks.
- Membangun model pemahaman yang kontekstual sekaligus reflektif.
- Interdisiplin akademik bisa belajar dari holisme praksis lokal.
Ketiga:
- Menemukan model etika bersama: ilmiah sekaligus membumi dan relasional.
- Membangun kesepakatan etik dalam kolaborasi dan pengakuan lintas tradisi.
- Mendorong pengetahuan yang bertanggung jawab terhadap dunia hidup
Keempat:
- Merancang solusi lokal yang berbasis teknologi kontekstual dan kearifan budaya.
- Merancang mekanisme penerjemahan dan jembatan bahasa antara dunia akademik dan komunitas.
- Mengembangkan ruang-ruang pembelajaran bersama:
Apakah pandangan tersebut dapat diterima? Apa yang penting untuk menjadi landasan adalah: Satu, bahwa perbedaan mendasar terletak pada cara memandang dunia, membentuk pengetahuan, dan menyebarkannya. Dua, bahwa keduanya sesungguhnya memiliki keabsahan pada dirinya, sebagai suatu upaya bentuk pencarian kebenaran dan pemeliharaan kehidupan. Tiga, bahwa apa yang dibayangkan sebagai pertemuan, pada dasarnya hanya dimungkinkan ketika tradisi akademik menjadi reflektif dan terlibat, serta ketika tradisi desa diberi ruang untuk dibaca secara kritis dan dihormati secara setara. (bersambung). [Desanomia – 9.4.25 – TM]