sumber ilustrasi: unsplash
Oleh: Pandu Sagara
12 Mei 2025 11.00 WIB – Umum
_________________________________________________________________________________________________________________________________________________
Bagaimana masyarakat kebanyakan merespon perang dagang yang kini masih berlangsung dan belum lagi ada kepastian kapan akan berakhir? Perang dagang, sebagaimana perang pada umumnya adalah negosiasi dengan paksa. Adu kekuatan tidak terhindar. Yang kuat akan menang dan menentukan segala-gala. Sementara yang kalah harus menerima kekalahannya. Ada potensi konfigurasi akan berubah paska perang. Tetapi, tidak menutup kemungkinan, status quo yang tetap terselenggara. Jika demikian, bisa jadi yang terjadi bukan perang sesungguhnya, melainkan perundingan biasa yang berakhir dengan kesepakatan bersama. Apa yang sesungguhnya terjadi, barangkali tetap tinggal sebagai misteri kehidupan bangsa-bangsa.
Masalah kita tentu bukan pada perang dagang itu sendiri, melainkan dampak yang ditimbulkannya, baik sebelum perang terjadi maupun pada saat perang berlangsung. Apa yang disebut dampak adalah tekanan ekonomi, yang sudah barang tentu mempersulit kehidupan rakyat kebanyakan. Beginilah rakyat kebanyakan: tidak menyumbang sebab, namun ikut menanggung akibat. Untuk itulah, barangkali inilah waktu yang telah disediakan keadaan, yakni waktu agar kita membuat refleksi, guna memeriksa perjalanan, baik memeriksa lintasan yang dilalui, maupun langkah-langkah kongkrit yang telah diambil. Pertanyaan besar kita adalah apakah kesemuanya itu, telah sesuai dengan koridor konstitusi, ataukah belum. Jika sudah, mengapa keadaan yang buruk yang terjadi? Apakah cara kita membaca, menterjemahkan dan mengoperasionalisasi telah sepenuhnya benar? Jika yang kedua, mengapa harus begitu? Mengapa ada tindakan yang tidak didasarkan pada konstitusi?
***
Kita tentu tidak akan membahas hal yang terlalu besar dan strategis. Apa yang perlu dan mendesak untuk dikaji dengan seksama adalah (1) bagaimana caranya agar kita benar-benar bisa mengetahui secara tepat, apa yang tengah terjadi? Hal ini penting, agar kita tidak seperti dalam gelap, sehingga mudah terkejut; dan (2) apa yang harus dilakukan, ketika berhadapan dengan kenyataan yang mungkin tidak kita kehendaki bersama. Pada yang pertama, kita membutuhkan pengetahuan yang cukup, terutama untuk melihat gerak dinamis dari seluruh kekuatan yang ada. Jika kita bisa lebih jeli, sangat mungkin kita menemukan kenyataan bahwa apa yang disebut perang dagang, sebenarnya hanya permukaan dari pergolakan dan perubahan yang tengah berlangsung. Dengan itu, masalah kedua, menjadi lebih jelas arahnya.
Apa yang kita sebut sebagai pergolakan dan perubahan, yakni kemajuan dalam iptek, yang secara nyata telah mengubah cara dan tata hidup kita. Dari sini, kita bisa mengatakan, setidaknya ada tiga perubahan yang nyata: (1) makin terbatasnya sumber-sumber kemakmuran, karena daya ekstraksi makin besar dan masif. Hal tersebut tidak saja menimbulkan ketegangan dalam distribusi, tetapi juga lebih cepat menimbulkan kelangkaan dan kerusakan (lingkungan); (2) munculnya jenis-jenis pekerjaan baru, dan sebaliknya hilangnya pekerjaan-pekerjaan lama. Yang menjadi masalah adalah bahwa kesiapan infrastruktur (fisik maupun non-fisik) untuk merespon perubahan tidak tersedia. Institusi pendidikan, sangat lamban dalam gerak – tidak menyadari pertanyaan sejarah telah berubah, sementara jawaban yang tersedia tetap dan belum berubah. Akibatnya, pengangguran menjadi fenomena sejarah, yang telah menjadi ancaman nyata; dan (3) munculnya nilai-nilai baru yang merupakan hasil interaksi dengan realitas yang berkembang. Artinya, dunia yang hadir makin tidak dikenali.
***
Kita di sini, akan hanya berfokus pada soal kedua (2), yakni munculnya jenis-jenis pekerjaan baru, sebagai akibat dari “kemajuan” ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai contoh kongkrit. Tidak berbayangkan sebelumnya ketika teknologi dapat menyambungkan secara langsung, antara “yang membutuhkan motor/mobil”, dan “yang punya motor/mobil”. Akibatnya, kerja informal yang diciptakan sendiri oleh warga, akibat keterbatasan dan kebutuhan, yakni “ojek”, akhinya “digusur” oleh teknologi. Dan yang berkembang adalah seperti yang sekarang berlangsung. Dan kita tahu persis, bahwa pada awal kedatangannya menimbulkan konflik terbuka, serta menimbulkan korban. Kita semua bisa menambah sendiri daftar yang datang dan daftar yang pergi. Tapi soalnya: bagi masyarakat yang memiliki keterbatasan-keterbatasan, baik dari segi ilmu, keteknikan dan jaringan, apakah perubahan ini memperluas peluang, atau sebaliknya “sepenuhnya mengeksklusi”?
Baik kita periksa lebih seksama. Para ahli ekonomi dan sosial, mendeskripsikan keadaan ini sebagai dua peristiwa berlangsung bersama, yakni krisis dan disrupsi. Keduanya bukan hanya istilah teknokratis dalam dunia kerja, melainkan realitas yang kini mengetuk pintu-pintu rumah di desa, kota, dan seluruh penjuru dunia. Krisis mencerminkan kenyataan bahwa tidak semua orang dapat bekerja secara layak. Sementara disrupsi, menandakan bahwa pekerjaan yang dulu mapan kini runtuh, berubah bentuk, atau digantikan oleh sistem dan teknologi baru. Dinyatakan bahwa fenomena bukan badai sesaat, tetapi sebagai gelombang jangka panjang yang akan mengubah lanskap kehidupan manusia secara struktural. Dan apa yang menjadi concern kita adalah bahwa gelombang tersebut akan juga menerpa desa, yang selama ini dianggap sebagai ruang ekonomi yang tertinggal, lambat, atau sekadar penyangga kota.
Krisis kerja adalah gejala dari ketimpangan struktural dalam sistem ekonomi modern. Pekerjaan yang bermartabat semakin langka, sementara jumlah angkatan kerja terus bertambah. Ketika mesin, platform digital, dan skema kerja fleksibel mengambil alih fungsi-fungsi produksi, distribusi, dan pelayanan, maka yang tersisa bagi banyak orang hanyalah ruang kerja informal dengan upah rendah dan perlindungan sosial yang nyaris tak ada. Ini terjadi di kota, tetapi lebih parah di desa. Di desa, krisis ini tampak dalam wajah pengangguran terselubung: orang tampak sibuk, tetapi produktivitasnya rendah dan hasil kerjanya tidak mampu menopang kehidupan yang layak. Tanah-tanah sempit tidak cukup memberi makan, keterampilan tidak berkembang, dan akses terhadap pasar, teknologi, dan modal begitu terbatas. Dalam kondisi ini, desa bukan sekadar tertinggal, tetapi sesungguhnya menjadi lokasi ketimpangan yang berpotensi permanen.
Kita hendak mengatakan disrupsi memperparah keadaan ini dengan menawarkan perubahan cepat yang tidak diiringi kesiapan struktur desa. Ketika kota mulai mengadopsi sistem kerja berbasis AI, otomasi, dan ekonomi digital, desa masih berkutat dengan persoalan akses internet, keterbatasan pendidikan, dan minimnya infrastruktur dasar. Disrupsi bukan hanya menghapus pekerjaan lama, tapi menciptakan pekerjaan baru yang tidak dapat diakses oleh mereka yang tidak memiliki perangkat, pengetahuan, dan jaringan. Maka terjadilah ketimpangan generasi: anak muda desa yang melihat dunia digital sebagai harapan baru, namun tanpa jalan yang jelas untuk mencapainya, memilih migrasi ke kota. Desa kehilangan tenaga produktifnya dan tersisa mereka yang tak lagi punya energi untuk menghidupi desa dalam perubahan ekonomi yang drastis. Pada titik ini, desa menjadi korban ganda: tertinggal dari arus disrupsi dan tidak cukup kuat menghadapi krisis pekerjaan.
Apakah masih ada harapan bagi desa? Atau, bagaimana desa membentuk harapan di tengah perubahan tersebut?