Petani Desa: Ilmuwan Lokal yang Dipinggirkan

sumber ilustrasi: unsplash

Oleh: Untoro Hariadi

Dalam arus modernisasi yang semakin deras, manusia desa sering dipandang sebelah mata. Mereka dianggap kurang terdidik, tertinggal, dan minim kontribusi terhadap pembangunan bangsa. Padahal, jika ditelaah lebih dalam, manusia desa adalah ilmuwan lokal sejati yang bekerja tanpa pengakuan formal. Mereka adalah peneliti yang melakukan observasi empiris selama puluhan tahun dengan metode yang tidak kalah valid dibandingkan metode ilmiah modern. Perbedaannya hanya pada dokumentasi dan formalisasi. Ilmuwan kampus mendokumentasikan temuannya dalam jurnal, sementara ilmuwan desa mewariskannya melalui praktik dan tradisi lisan yang berkelanjutan.

Karya Nyata

Petani tradisional telah mengembangkan sistem klasifikasi tanah yang sangat kompleks. Mereka mampu membedakan puluhan jenis tanah berdasarkan tekstur, warna, bau, dan kemampuan menahan air – parameter yang serupa dengan yang digunakan ilmuwan tanah modern. Perbedaannya adalah petani menggunakan terminologi lokal dan pengalaman langsung, bukan analisis laboratorium.

Masyarakat adat di berbagai wilayah Indonesia telah menerapkan sistem pengelolaan hutan berkelanjutan jauh sebelum konsep “sustainable forestry” populer di kalangan akademisi. Di Kalimantan, sistem “tembawang” memungkinkan masyarakat Dayak menanam dan mengelola ratusan spesies pohon buah-buahan, obat-obatan, dan kayu dalam satu kawasan hutan. Sistem ini menciptakan keanekaragaman hayati yang tinggi sekaligus memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa merusak ekosistem.

Sementara proyek kehutanan modern sering menggunakan pendekatan monokultur yang justru meningkatkan risiko hama dan penyakit, sistem tradisional ini telah terbukti lebih tangguh menghadapi perubahan iklim dan gangguan ekologis lainnya.

Ilmuwan desa memiliki sistem peringatan dini berbasis observasi lingkungan yang kompleks. Di Nias, masyarakat tradisional dapat memprediksi tsunami dengan mengamati perilaku hewan dan perubahan arus laut. Di Jawa, petani menggunakan kalender “pranata mangsa” yang mengintegrasikan pengamatan astronomi, meteorologi, dan biologi untuk menentukan waktu tanam optimal.

Proses fermentasi dalam pembuatan makanan seperti tempe, tape, dan berbagai jenis asinan merupakan contoh bioteknologi tradisional yang dikembangkan oleh masyarakat desa. Mereka telah memanipulasi mikroorganisme untuk menghasilkan makanan bergizi dan tahan lama tanpa memahami konsep “mikrobiologi” secara formal. Pendekatan trial-and-error yang dilakukan selama berabad-abad ini sebenarnya adalah metode eksperimental yang valid, menghasilkan produk yang kini menjadi subjek penelitian ilmiah di universitas-universitas terkemuka.

Epistemologi

Perbedaan mendasar antara ilmuwan desa dan ilmuwan formal adalah pada epistemologi – cara memperoleh dan memvalidasi pengetahuan. Ilmuwan modern menggunakan metode eksperimental dengan kontrol ketat dan analisis statistik. Ilmuwan desa menggunakan observasi jangka panjang dan validasi intergenerasional.

Kedua pendekatan ini memiliki kekuatan dan kelemahan masing-masing. Metode ilmiah modern unggul dalam menghasilkan pengetahuan universal yang dapat diaplikasikan di berbagai konteks, sementara pengetahuan lokal unggul dalam pemahaman mendalam terhadap kondisi spesifik suatu ekosistem.

Bukan kebetulan bahwa banyak obat modern berasal dari pengetahuan tradisional tentang tanaman obat. Para tabib desa telah mengidentifikasi efek farmakologis ratusan spesies tumbuhan jauh sebelum sains modern memahami mekanisme kerjanya pada tingkat molekuler.

Marginalisasi ilmuwan desa terjadi secara sistemik melalui beberapa mekanisme. Sistem pendidikan formal sering memisahkan anak-anak dari pengetahuan lokal dengan mengajarkan bahwa satu-satunya pengetahuan yang valid adalah yang berasal dari buku teks dan guru. Kurikulum nasional jarang mengintegrasikan kearifan lokal, membuat generasi muda desa merasa bahwa pengetahuan leluhur mereka “primitif” dan tidak relevan.

Kebijakan pertanian nasional sering mengabaikan varietas lokal demi mendorong penggunaan bibit unggul yang seragam. Meskipun varietas lokal sering lebih adaptif terhadap kondisi setempat dan memiliki ketahanan terhadap hama lokal, varietas ini diabaikan karena tidak cocok dengan paradigma industrialisasi pertanian.

Di Kalimantan Timur, petani lokal telah mengembangkan puluhan varietas padi yang dapat tumbuh di lahan gambut tanpa perlu dikeringkan – praktik yang jauh lebih berkelanjutan dibandingkan dengan pembukaan gambut untuk pertanian intensif yang menyebabkan kebakaran dan emisi karbon masif.

Produk dan praktik tradisional sering tidak mendapat tempat dalam rantai nilai ekonomi modern. Obat tradisional, misalnya, sulit mendapatkan sertifikasi karena proses standardisasi yang mahal dan paradigma pengujian yang tidak cocok dengan sifat holistik pengobatan tradisional.

Reintegrasi

Untuk memberikan tempat yang layak bagi ilmuwan desa, diperlukan pendekatan yang menghormati dan mengintegrasikan pengetahuan mereka. Akademisi dan ilmuwan desa perlu berkolaborasi dalam mendokumentasikan pengetahuan lokal dengan cara yang menghormati konteks budayanya. Dokumentasi semacam ini bukan sekadar pencatatan, tetapi proses dialog yang mengakui validitas epistemik pengetahuan lokal.

Universitas di Indonesia dapat mengembangkan pusat studi etnoscience yang mendokumentasikan, menguji, dan mengembangkan pengetahuan lokal dengan melibatkan pemegang pengetahuan tradisional sebagai mitra penelitian setara.

Sistem pendidikan perlu direformasi untuk mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam kurikulum formal. Sekolah di daerah pertanian, misalnya, dapat mengembangkan kurikulum kontekstual yang memadukan ilmu pertanian modern dengan praktik pertanian tradisional.

Perlindungan hak kekayaan intelektual komunal perlu dikembangkan untuk memastikan bahwa masyarakat desa mendapat manfaat ekonomi dari pengetahuan yang mereka kembangkan. Sistem benefit-sharing yang adil dapat mendorong pelestarian dan pengembangan pengetahuan lokal.

Pengakuan terhadap ilmuwan desa bukan sekadar masalah keadilan sosial, tetapi juga kesempatan untuk memperkaya khazanah ilmu pengetahuan manusia. Integrasi pengetahuan lokal dengan ilmu modern dapat menghasilkan inovasi yang lebih berkelanjutan dan kontekstual.

Di tengah krisis lingkungan dan iklim global, kita perlu mengakui bahwa paradigma ilmu dan teknologi modern memiliki keterbatasan. Pengetahuan ekologi yang diwariskan oleh masyarakat desa yang telah hidup berkelanjutan selama berabad-abad menawarkan wawasan berharga untuk mengatasi tantangan keberlanjutan.

Penutup

Manusia desa adalah ilmuwan dengan laboratorium terbesar – alam dan lingkungan hidup mereka sendiri. Penelitian mereka berjalan selama generasi dengan metodologi observasi partisipatif yang mendalam. Hasil karya mereka adalah sistem pertanian, perikanan, kehutanan, dan pengobatan yang telah teruji waktu. Sudah saatnya kita mengakui kesetaraan epistemik mereka dan memberi tempat yang layak dalam lanskap ilmu pengetahuan nasional.

Dr. Untoro Hariadi
Dosen Fakultas Pertanian Universitas Janabadra

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *