sumber ilustrasi: freepik
Desanomia [6.4.2025] Di distrik Mbale, Uganda, yang terkenal dengan produksi kopi arabika, masalah kantong plastik yang dikenal dengan nama buveera mulai merambah ke daerah pedesaan, melebihi kota-kota besar seperti Kampala, ibu kota Uganda. Fenomena ini telah menjadi masalah besar di banyak wilayah di Uganda, yang selama bertahun-tahun telah terbiasa dengan dampak buruk plastik yang mencemari lingkungan sekitar. Sekarang, plastik ini juga ditemukan di ladang-ladang pertanian yang lebih terpencil. Beberapa petani bahkan melaporkan bahwa plastik ini juga turut mencemari proses pertanian mereka, termasuk plastik tebal yang digunakan dalam pembibitan kopi.
Di Kampala, plastik buveera sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, menyebar di jalanan dan menutup saluran air. Namun sekarang, plastik ini muncul di ladang-ladang pertanian yang jauh dari keramaian kota. Wilson Watira, ketua dewan budaya masyarakat Bamasaba yang terkenal sebagai penghasil kopi, mengungkapkan bahwa banyak petani yang mulai mengeluhkan keberadaan plastik ini. Menurut Watira, mereka yang memahami dampak buruk plastik terhadap tanah mulai khawatir tentang efek jangka panjangnya.
Sampai sekarang, plastik masih menjadi masalah yang terus berkembang di seluruh dunia. Dalam bidang pertanian, plastik sering kali digunakan untuk berbagai tujuan, termasuk untuk melindungi tanaman dari cuaca ekstrem dan untuk membantu irigasi yang lebih efisien. Namun, seiring dengan perubahan iklim yang semakin drastis, ketergantungan terhadap plastik pertanian kian meningkat. Di sisi lain, penelitian yang terus berkembang menunjukkan bahwa mikroplastik, yang merupakan partikel plastik sangat kecil, dapat merusak ekosistem dan akhirnya masuk ke dalam tubuh manusia. Para ilmuwan, petani, dan konsumen semakin cemas mengenai dampak buruk mikroplastik ini terhadap kesehatan manusia. Sementara itu, ahli industri mengatakan bahwa meskipun ada berbagai program daur ulang dan upaya penggunaan kembali plastik, sulit untuk mengetahui ke mana plastik tersebut berakhir atau menghentikan penyebarannya secara keseluruhan.
Berdasarkan laporan PBB tentang plastik dalam pertanian pada tahun 2021, tanah menjadi salah satu tempat utama di mana plastik pertanian ditemukan. Beberapa studi bahkan menunjukkan bahwa tanah kini lebih tercemar oleh mikroplastik dibandingkan laut. Mikroplastik sendiri, yang menurut National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) didefinisikan sebagai partikel plastik yang lebih kecil dari lima milimeter, telah ditemukan di hampir setiap ekosistem di bumi. Bahkan beberapa studi awal menunjukkan bahwa mikroplastik dapat menyusup ke dalam tanaman di darat atau plankton di laut, yang kemudian dikonsumsi oleh hewan dan manusia. Penelitian lebih lanjut mengungkapkan bahwa mikroplastik yang ditemukan dalam tubuh manusia dapat berhubungan dengan sejumlah masalah kesehatan, termasuk penyakit jantung dan kanker.
Meskipun masih banyak yang perlu dipelajari mengenai dampak jangka panjang mikroplastik terhadap manusia, sejumlah temuan awal menunjukkan adanya hubungan yang mengkhawatirkan antara partikel-partikel plastik ini dengan beberapa kondisi kesehatan yang serius. Menurut Lev Neretin, kepala lingkungan di FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian PBB), meskipun masih banyak celah dalam penelitian mengenai efek mikroplastik di rantai makanan darat, bukti-bukti yang ada sudah cukup untuk menimbulkan kekhawatiran yang besar.
Selain masalah mikroplastik, perubahan iklim juga memperburuk ketergantungan terhadap plastik dalam pertanian. Seiring dengan meningkatnya suhu global, banyak petani yang bergantung pada plastik untuk melindungi tanaman mereka dari cuaca yang semakin ekstrem. Di antaranya, mereka menggunakan terpal, rumah hoop (struktur penutup tanaman), dan berbagai teknologi lainnya untuk menciptakan kondisi yang lebih baik bagi tanaman mereka. Namun, dalam banyak kasus, mereka juga bergantung pada bahan kimia seperti pestisida dan pupuk untuk mengatasi masalah cuaca yang tidak stabil dan serangan hama yang semakin intensif.
Dalam beberapa dekade terakhir, penggunaan plastik global telah meningkat pesat. Plastik kini telah menjadi bahan yang sangat umum dalam kehidupan sehari-hari dan dalam pertanian, terutama untuk kemasan dan perlindungan tanaman. Namun, hanya sedikit dari plastik ini yang didaur ulang. Sebagian besar berakhir di tempat pembuangan sampah, mencemari lingkungan atau dibakar. Menurut data, kurang dari 10% dari plastik yang digunakan di dunia ini didaur ulang. Sementara itu, sebagian besar plastik digunakan dalam kemasan produk sekali pakai, seperti kemasan makanan dan minuman.
Salah satu tantangan besar yang dihadapi oleh para petani adalah ketidakmampuan mereka untuk menghindari penggunaan plastik, meskipun mereka sangat menyadari dampaknya terhadap lingkungan. Banyak petani yang bergantung pada plastik murah untuk mendukung kegiatan pertanian mereka, seperti plastik tipis yang digunakan untuk pembibitan. Di Uganda, misalnya, para petani di daerah pedesaan tidak mampu membeli wadah bibit yang layak, sehingga mereka menggunakan kantong plastik murah untuk menumbuhkan bibit kopi. Jacob Ogola, seorang agronomis independen di Uganda, menyebutkan bahwa kendala ekonomi menjadi faktor utama mengapa petani tidak dapat mengganti plastik dengan alternatif yang lebih ramah lingkungan.
Sementara itu, di tingkat global, pemerintah dan organisasi internasional telah berupaya mengatasi masalah pencemaran plastik. Baru-baru ini, para pemimpin dunia berkumpul di Korea Selatan untuk merumuskan perjanjian global pertama mengenai pencemaran plastik, meskipun mereka belum mencapai kesepakatan. Proses negosiasi akan dilanjutkan pada bulan Agustus mendatang. Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) telah mengeluarkan kode etik sementara yang bersifat sukarela mengenai pengelolaan plastik dalam pertanian, namun tanpa adanya perjanjian formal, banyak negara yang belum memiliki insentif untuk mengikuti pedoman tersebut.
Selain itu, ada beberapa upaya yang sedang dilakukan untuk mencari solusi terhadap masalah limbah plastik ini. Salah satunya adalah eksperimen yang dilakukan oleh Boluwatife Olubusoye, seorang kandidat Ph.D. di University of Mississippi, yang sedang menguji apakah biochar — sisa-sisa bahan organik dan limbah tanaman yang dibakar dalam kondisi terkontrol — dapat menyaring mikroplastik yang tercemar dari ladang pertanian dan masuk ke saluran air. Meskipun eksperimennya masih pada tahap awal, Olubusoye percaya bahwa biochar bisa menjadi salah satu solusi untuk masalah mikroplastik di lingkungan pertanian, terutama di negara-negara berkembang.
Namun, meskipun ada upaya-upaya ini, tantangan besar tetap ada. Banyak petani yang kesulitan untuk mengurangi penggunaan plastik dalam kegiatan pertanian mereka, karena keterbatasan dana dan akses terhadap teknologi yang lebih ramah lingkungan. Sebagai contoh, petani kopi di Uganda yang paling terpengaruh oleh perubahan iklim, sangat bergantung pada plastik murah yang sering kali mencemari tanah. Innocent Piloya, seorang pengusaha agroekologi yang menanam kopi di Uganda, mengatakan bahwa bagi para petani kecil, pertempuran melawan produsen plastik adalah perjuangan yang berat.
Buah Pikiran
Masalah plastik dalam pertanian dan lingkungan global semakin memburuk. Meski plastik memberikan solusi jangka pendek bagi petani, kenyataannya dampak jangka panjangnya sangat merusak, baik bagi tanah, ekosistem, maupun kesehatan manusia. Tindakan nyata untuk mengurangi penggunaan plastik dalam pertanian sangat penting, namun hal ini memerlukan komitmen global yang lebih kuat, baik dari sektor pemerintah, industri, dan masyarakat. Program daur ulang dan penggunaan kembali plastik memang penting, namun pendekatan yang lebih holistik, seperti inovasi bahan ramah lingkungan dan perbaikan sistem pertanian yang lebih berkelanjutan, sangat diperlukan untuk memitigasi dampak buruk plastik yang semakin mengkhawatirkan ini. (NJD)
Sumber: apnews